Thursday, July 15, 2021

Kampungku

KALAU ada yang tak ingin kumelihatnya berubah, sungguh itu bukanlah dirimu. Bukan pula kalian. Bukan kampung lor, kampung wetan, kampung kidul maupun kampung kulon. 

Aku menikmati saat melihat dan merasakan kemajuan kampung serta daerah bahkan negara² lain. Luar biasa. Mereka mampu bertransformasi dgn sangat baik secara fisik dan mental. China misalnya, begitu cepat telah bermetamorfosis menjadi kapitalis tanpa harus membuang komunismenya. Sebaliknya, berapa banyak negara sosialis lainnya yang dirundung perang saudara lalu kolpas akibat perubahan itu.

Aku beruntung pernah merasakan jejak perubahan² itu. Mengarungi separuh lebih keliling Bumi, menginjakkan kaki di Amerika. Pernah pula merasakan dinginnya negeri² subtropis lainnya. Namun, apa pun hebatnya daerah dan negeri² itu, tidaklah sehebat kampungku.

Karena itu, kalau ada yang tak ingin kumelihatnya berubah, itu hanyalah kampungku. Kampung kelahiranku. Satu²nya tempat di muka Bumi ini yang masih menyimpan banyak cerita lama dan kenangan.

Jangan tanya betapa besar hasratku untuk bisa pulang kampung. Sekedar menapak tilas, mungkin. Sekedar agar aku dianggap orang perantauan yang berhasil, mungkin. Sekedar bisa bersapa dengan kawan² sepermainan semasa sekolah dulu. Mungkin sekali. 

Mungkin aku egois. Ingin perubahan di kampung lain kenapa tidak ingin melihat yang sama di kampung sendiri. Kali ini harus kubilang, iya! Jahat, mungkin. 


***

DULU, di pojok gang itu, aku biasa bermain bentik. Ada pula lapangan badminton, tempat kami bermain, merasakan ghirah nasionalisme. Terutama saat² demam Liem Swie King.

Kemana semua bangunan itu? Mana pula teman2 sepermainan yang dulu sering kami mencuri mangga mbok Sirab?

Tak ada lagiah jejakku yang tertinggal di sini?

Aku bertanya² dan terus mengusikku, hingga terdengar adzan Shubuh dari Mushola Jabal Tsur. Astagfirullah, rupanya aku tengah bermimpi.

Tak henti aku mengucap syukur masih diberikan mimpi indah. Setidaknya aku masih memiliki kampung halaman, meski mungkin tersisa hanya dalam mimpi. Aku bersyukur masih memiliki kenangan indah yang tersimpan lama di kampung yang lama tak pernah kuinjak lagi.


Air Hitam, 15 Juli 2021


Tuesday, July 13, 2021

Bintang Itu

 #3of3 last notes. It's a special for the 24th wedding anniversary









BINTANG ITU


Kamu tahu

Aku bukanlah Sang Penunggang Cahaya

Tak mudah bagiku menggapai semua

Bentang sayapku tak sepanjang dan selentur mimpi²ku 

Tapi percayalah aku kan terus berusaha meraih bintang yang dulu pernah kujanjikan untukmu

Dia tersembunyi kuncup di pinggiran lubang hitam

Masih ingin kugapai meski terlalu tinggi kudaki

Masih ingin ketembus meski dinding ruang waktunya terus menebal dan mengembang

Mungkin tajam belatiku akan mampu mengikisnya

Kalaupun menjadi tumpul kukan kembali mengasahnya bersama helaan nafasku tersisa



Kamu tahu

Kini pun ia masih terus berpendar indah menggoda di semesta yang luas

Beriak suaranya menaik-turun bersama hembusan angin tropis

Mengalun merdu bak simponi yang tak henti memanggil-panggil kita 

Lihat ia kadang menggeliat ala tarian supernova 

Lincah tak pernah kehabisan pesona

Mungkin ia juga sedang menanti kita jamah bersama



Mungkin nanti

Saat anak² besar dan khatam yang akan berganti melantunkan simponi lebih merdu

Mengorkestrasinya dan menggapai bintang itu untuk kita

Kini tiuplah dulu lilin ini dan nikmatilah apa yang dianugerahkan kepada kita 

24 years together, happy anniversary


Air Hitam, 13 Juli 2021



Monday, July 12, 2021

Terpapar Wabah Belanda, Sanggupkah Kaltim Berkelit dari Kutukan?

'Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kalian akan melihat: minyak akan menghancurkan kita … Minyak adalah kotoran Iblis".

— Juan Pablo Pérez Alfonso, politikus Venezuela dan salah satu pendiri OPEC 


MERAH itu menyolok. Sama seperti angka merah di rapor sekolah. Itulah yang terjadi pada Kaltim, fluktuatif sejak enam tahun terakhir. Maka, ketika Kepala Bank Indonesia Kaltim harus membuka angka-angka pertumbuhan ekonomi regional ke dalam sebuah peta warna, spektrumnya pun dengan mudah menjadi gamblang kentara. 

Simak pula kabar paradoks dari kekayaan minyak yang dikelola Pemkab Kutai Kartanegara. Kejati Kaltim menersangkakan Dirut Perusda PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM) berinisial IR terkait pengelolaan hasil saham migas, Kamis (18/2/2021). Kukar diketahui telah menjadi bagian dari pengelola Blok Migas, menyusul didapatnya jatah saham participant intersest (PI) bersama Pemprov Kaltim 10 persen atas blok tersebut.

Blok itu sempat selama 50 tahun dikelola penuh oleh kelompok usaha besar migas dari Perancis, PT Total Indonesie yang kemudian dinasionalisasikan kepada BUMN PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Maka, sejak 2018 hingga 2020, PT MGRM berhak menerima dana bagi hasil pengelolaan Blok Mahakam dari PHM sebesar Rp 70 miliar. Sebagian dana itulah yang diduga dikorupsi, dengan menggunakannya untuk membangun tangki timbun di Cirebon, Balikpapan, serta Samboja (Kompas, 18/2/2021). Proses persidangannya kini masih berjalan.

Berbagai persoalan ini membuat saya makin dikejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama didengungkan para pengamat ekonomi dunia: apakah industri tambang memang benar-benar sebuah kutukan? Saya ingin tidak mempercayai prediksi itu. Akan tetapi, berbagai kasus yang terjadi di negara-negara dan daerah kaya minyak di dunia menunjukkan indikasi ke arah itu.

Kasus dan ketimpangan yang terjadi di kabupaten terkaya di Indonesia -- dengan APBD pernah mencapai Rp 9,24 triliun pada tahun 2013 -- dan Kaltim, misalnya, makin menguatkan justifikasi teori "Dutch Disease" (Penyakit Belanda) dan "Resource Curse" (Kutukan Sumberdaya Alam).

"Is mining a curse?" tanya Roerick G Eggert, seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines.

Riset sejumlah peneliti menunjukkan indikasi tidak ada korelasi antara kekayaan SDA dengan sebuah kemakmuran. Justru negara atau daerah-daerah dengan keberlimpahan SDA itu ternyata jadi kawasan paling awal terpuruk, lagi dalam.

Menariknya, dalam ekonomi terdapat sebuah fenomena ironis yang dikenal dengan istilah "kutukan sumber daya alam " yang menyatakan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama yang tak terbarukan seperti minyak bumi dan hasil tambang, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara yang terbatas sumberdaya alamnya.

Dalam peta yang diilustrasikan BI Kaltim tadi terlihat Provinsi Kaltim ternyata satu-satunya provinsi yang berwarna merah. Warna ini sangat mencolok. Artinya, daerah ini menjadi satu-satunya wilayah  dengan pertumbuhan ekonomi minus saat itu. Paling jeblok se-Indonesia. Di dalam peta itu, Kaltim menjadi yang paling gampang dikenali karena daerah lainnya tampil dengan warna cerah seperti hijau (tumbuh 4-6 persen) dan biru (6-8 persen).

Tak ada yang berapor merah, kecuali Kaltim. Loh kok bisa? Bukankah Kaltim selama bertahun-tahun sejak dilakukan desentralisasi memiliki APBD cukup besar? Bukankah migas, mineral, hutan dan SDA lain yang dimilikinya telah menjadikannya sebagai daerah kaya?

Rupanya, kekayaan sumberdaya alam yang selama beberapa dekade itu menopang begitu tinggi pertumbuhan ekonominya tak lagi bertuah. Justru itulah yang membuatnya terpuruk. Bandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang tidak banyak memiliki kekayaan bahan tambang dan ekstraktif lainnya. Mereka ternyata malah mampu bertahan menghadapi badai global, melalui ekonomi kekuatan kerakyatan dan manufakturnya.

Sebenarnya, bukan kali itu saja Kaltim mendapat rapor merah. Tahun sebelumnya juga pernah merah, meski ironinya pernah bertengger di puncak klasemen dengan pertumbuhan fantastis. Itulah zaman keemasannya saat harga migas dan mineral global dunia sedang baik-baiknya. Lalu bagaimana tahun 2017 dan seterusnya? 

BI memroyeksikan, untuk setahun berikutnya akan ada tanda-tanda membaik. Tetapi masih belum akan benar-benar mampu keluar dari zona merah. Artinya,  masih akan minus. Maka, ini benar-benar menjai hattrick bagi Kaltim.

***

GEJALA memburuknya ekonomi Kaltim sebenarnya sudah bisa terbaca sejak 2013. Saat itu, bersamaan dimulainya periode kedua kepemimpinan Gubernur Awang Faroek Ishak, Kaltim sudah mengalami tingkat pertumbuhan terendah se-Indonesia. Memang belum minus. Hanya 1,59 persen. Tapi angka itu jauh di bawah rerata nasional yang masih tumbuh 5,78 persen.

Tak sedikit provinsi lain yang tidak mengandalkan tambang, terbukti ekonominya masih mampu tumbuh enam persen seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali. Kalimantan Barat yang tambangnya tidak terlampau besar, juga masih mampu tumbuh lima-enam persen. Ketergantungan terhadap tambang inilah yang menjadi bumerang, dan sejauh itu belum dapat dihilangkan oleh Kaltim secara signifikan. 

Di atas kertas,  pemprov memang telah menyusun roadmap berbagai rencana aksi menuju hilirisasi industri dan pengembangan pertanian dalam upaya mengurangi ketergantungan dan menghilangkan kutukan SDA. Sayangnya, implementasinya sangat lamban. Alokasi dana untuk pengembangan pertanian modern kenyataannya selalu di bawah 2 persen.. Maka, gelombang PHK akan selalu menghantui ketika harga komoditi ekspor itu tiba-tiba goyang di pasar global.

Selama tahun itu saja sudah 12.000 orang pekerja dirumahkan. Angka pengangguran naik 7,5 persen. Masalah lebih terasa membelit karena pertanian dan hilirisasi industri belum kunjung siap menggantikan posisi migas dan tambang sebagai penggerak ekonomi. Orang lalu berharap kepada APBD. Tapi apa yang bisa banyak diharap kalau ruang fiskal makin sempit. 

Transfer dana bagi hasil (DBH) sumberdaya alam -- sumber utama pendapatan Kaltim -- terus menyusut. Kini jadi lebih sulit mencari pilihan akibat kondisi pandemi Covid-19 yang sudah hampir dua tahun ini terjadi. Tak ada ahli yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Mutasi virus yang lebih mematikan malah bermunculan. Dan sejauh itu para epidemiolog masih belum bisa memutuskan apakah kita sudah saatnya "berdamai" saja dengan corona. Menjadikannya sebagai endemi.

Kalau pun pandemi segera akan berakhir, bagi Kaltim masih banyak PR yang harus diselesaikan guna mengejar ketertinggalannya selama ini. Rapor kini sudah berhasil diperbaiki, seiring dengan kembali naiknya harga batubara di pasaran global. Sejumlah perusahaan tambang yang dulu sempat tiarap kini boleh kembali bernafas lega. Akan tetapi, sikap elite politik  yang masih lebih suka memilih cara mudah, berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan ekstraktif-eksploitatif jangka pendek, dikhawatirkan pada akhirnya hanya akan membuat Kaltim meghadapi masalah berulang. Pertumbuhan yang akhirnya menukik dan menyisakan problem lingkungan yang lebih serius.

Sikap pemerintah pusat yang kini mengambil alih semua perizinan dari pemerintah provinsi, berdasar UU Minerba No 3 Tahun 2020, dinilai sejumlah kalangan tidaklah memperbaiki keadaan. Justru hanya akan membuat daerah dirugikan dan menyisakan problem lingkungan di daerah, yang lebih sulit untuk berharap daerah akan bisa langsung mengatasinya.

***

MAKA,  kota yang terlanjur  menjadi ratusan lubang tambang akan terus begitu membiarkannya begitu. Tak tahu akan direkayasa menjadi apa agar bisa memiliki nilai lebih, tidak cuma jadi kubur bagi puluhan anak yang tenggelam.

Bahwa lubang-lubang itu telah menghasilkan orang-orang kaya baru benar adanya. Tapi hanya segelintir. Selebihnya adalah bonus kerusakan lingkungan. Jejak kekayaan semacam inikah yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita?

Mis-manajemen oleh penyelenggara negara atau daerah semacam itu, di kalangan ekonom, dikenal  sebagai Dutch Disease. Terminologi ini kali pertama diperkenalkan oleh majalah ekonomi berpengaruh, The Economist  pada tahun 1977 ketika industri manufaktur (pertanian) di Belanda hancur setelah negeri itu menemukan cadangan gas alam dalam jumlah besar di Laut Utara tahun 1959.

Ternyata, bukan kesejahteraan yang didapat warga Belanda. Justru kemelaratan. Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan kondisi perekonomian suatu wilayah setelah tidak memiliki lagi sumber kekayaan alam yang dieksploitasi. 

Buku "Escaping The Resource Curse" makin membuka mata kita betapa selama ini kita telah menyia-nyiakan momentum emas.  Lihat saja. Sudah mengalami tiga periode keemasan pun -- periode banjir kap, bonanza minyak, dan batubara -- Kaltim belum juga mampu menghasilkan apa-apa, Nyaris tak ada jejak kemakmuran yang tertinggal.

Istilah resource curse kali pertama dikenalkan oleh Richard M. Authy pada 1993 dalam disertasinya "Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse.  Ini secara luas digunakan untuk menjelaskan kegagalan negara-negara kaya sumber alam dalam mengambil manfaat dari berkah kekayaan yang mereka miliki. Sebaliknya, banyak negara kaya sumber alam yang lebih miskin dan lebih menderita dibanding negara-negara yang kurang beruntung mendapat kelimpahan yang sama. Gambaran ini terpampang jelas di Afrika. Kongo, Angola dan Sudan diguncang perang saudara.

Sedangkan Nigeria menderita akibat wabah korupsi. Lain hal dengan negara-negara yang minim sumber alam dan sama melaratnya seperti Burkina Faso dan Ghana, bisa hidup damai dengan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi.

Ini memang sebuah paradoksal. Paradoks keberlimpahan.

Ah, jangan-jangan kita pun sudah mulai tertular Wabah Belanda itu. Mungkin selama ini kita tak mau belajar dari sejarah. Sedikit berbeda dengan di Belanda, dimana penemuan gas alam di Laut Utara negeri itu telah mengakibatkan memburuknya kinerja sektor manufaktur, di Kaltim yang yang terjadi adalah mulai tergerusnya  sektor pertanian. Sawah-sawah hancur oleh eskavator batubara, hingga ketergantungan terhadap beras dan pangan lainnya dari provinsi lain pun semakin melebar. Tapi intinya sama, hilangnya kekuatan ekonomi yang rill dan berkelanjutan untuk menopang suatu daerah atau negara.

Mungkin masih akan ada harapan sekali lagi. Setidaknya itu harapan kita. Ya, hanya sekali bagi Kaltim. Setelah tiga peluang lalu tak diraih, kini dengan akan dipindahnya ibu kota negara (IKN) RI dari Jakarta ke Kaltim, bisa jadi sekaligus menjadi peluang baru bagi daerah ini untuk berkelit dari Kutukan SDA. Mengobati penyakit wabah Belanda yang menjangkitinya.

Awal yang bagus bahwa Gubernur Kaltim Isran Noor sudah mengambil langkah berani dengan menyatakan kesiapan masyarakat Kaltim sebagai IKN baru. Lokasi IKN itu diusulkannya bernama "Sepaku Nagara" karena terletak di kawasan Sepaku (PPU) dan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Isran juga meyakini dengan dipindahnya IKN, akan membuat Kaltim bisa lebih mudah mengejar ketertinggalannya selama ini. Daerah-daerah lain di Indonesia terutama kawasan tengah dan timur juga akan bisa lebih terpacu.

Ia meyakini pula Kaltim akan mampu mencapai pertumbuhan 7 persen. Selaras itu, ia meminta 59 persen dana APBN sebaiknya dikelola oleh daerah. Desentralisasi yang digulirkan selama ini ia nilai belum memenuhi rasa keadilan. Daerah memang diberikan kewenangan oleh pusat. Tapi sebagian besar dananya ternyata masih digandoli. Oleh karena desentralisasi tak membuahkan percepatan  pembangunan seperti ekpektasi di awal.[]

Air Hitam, 12 Juli 2021

Tuesday, June 15, 2021

Gugatan Arbitrase, KPC Kerahkan 20 Pengacara Internasional

Laporan Wartawan Tribun Kaltim Achmad Bintoro dari Singapura



SINGAPURA, TRIBUN – Dengan total kekuatan sebanyak 20 pengacara kelas dunia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), Rio Tinto dan Beyond Petroleum bahu-membahu melancarkan serangan kepada Didi Dermawan, pengacara Pemprov Kaltim, dalam sidang kedua arbitrase International Centre for Settlement of Investement Disputes (ICSID), Rabu (27/2) di Singapura.


Namun penjelasan Didi yang santun, merendah, dan argumentatif kemarin mampu menangkis serangan-serangan itu. Bahkan mengundang senyum anggota Tribunal dan tepuk tangan pengunjung sidang. Didi mendapat kesempatan untuk meyampaikan opening statement pada akhir sidang, setelah sidang berjalan sekitar lima jam.

Selama dua jam lebih ia membeberkan kejanggalan-kejanggalan dan tidak etisnya KPC dalam persoalan divestasi saham. Ia menekankan bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi divestasi saham KPC. Apa yang disebut divestasi oleh KPC dan para pihak tidak lebih sebagai akal-akalan guna mengindari hilangnya dominasi kepemilikan saham.

Didi mengawali orasinya dengan ucapan terimakasih kepada Tribunal yang telah menerima permohonan gugatan yang ia masukkan pertengahan 2006 lalu. Tribunal terdiri Prof Dr Gabriel Kaufhman (Ketua), Michael Hwang dan Albert Van Deberg (anggota). Secara khusus ia juga menyampaikan salam kepada para pengacara KPC dan para pihak yang disebut Didi sebagai pengacara-pengacara hebat. 

“Anda semua adalah para pengacara hebat, berbintang tujuh. Saya bangga bisa berhadapan dengan Anda,” kata Didi.

“Juga kepada Pak Todung Mulya Lubis yang tak bukan adalah dosen pembimbing skripsi saya ketika saya masih menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UI dulu. Dan salam hormat saya kepada warga Kaltim yang merelakan waktu, tenaga dan biaya untuk tiba di persidangan ini,” tambahnya.

Sekitar 40 warga Kaltim menghadiri sidang itu datang dengan pakaian adat masing-masing suku. 

Mereka duduk di bagian belakang ruang sidang di gedung Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Pihak SIAC yang memberikan fasilitas tempat terpaksa menambah kursi untuk mereka. Ketua Tim Penyelesaian Divestasi Saham (TPDS) KPC Laden Mering misalnya, tampil dengan topi dan pakaian adat Dayak Kenyah. Begitu pula Abraham Ingan (sekretaris), Yulianus Henock. Ada pula yang berpakaian adat Jawa, NTB, Bugis, Gamis, Batak, dan lainnya.


Kedatangan dan tampilan mereka sempat menarik perhatian Tribunal maupun puluhan pengacara KPC yang sebagian besar orang Barat. Gabriel menyatakan, untuk kali pertama sidang arbitrase dihadiri oleh warga biasa. 

Sedianya, sidang ini akan digelar di Washington DC, AS, sebagaimana kebiasaan selama ini. Namun karena permintaan Didi Dermawan, dan atas kesepakatan dengan lawyer lainnya, sidang kedua ini digelar di Singapura.

“Ini surprise. Terimakasih atas kedatangan bapak-ibu. Tapi kami harap anda semua bisa mengikuti aturan yang berlaku di dalam ruang sidang,” ujar Gabriel.

Hadir dalam sidang antara lain Michael P Lennon, ketua tim pengacara KPC, bersama delapan anggota timnya dari firma hukum dari Inggris, Baker Botts. Sedang dari pihak Rio Tinto/Beyond Petroleum dipimpin Todung Mulya Lubis mengerahkan 12 anggota timnya. Todung bersama timnya duduk di bagian tengah. Di sebelah kanan mereka, Didi Dermawan bersama tiga anggota timnya.

Sejak awal sidang, baik Lennon, Todung dan anggota timnya, Mattew Weinier dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, terus mempertanyakan kewenangan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim dalam menggugat mereka di ICSID. Mereka meminta Tribunal untuk menolak gugatan Didi.

Lennon misalnya, menggunakan kalimat penegasan yang diulang-ulang bahwa Pemprov bukanlah peneken kontrak PKP2B. Sehingga tidak semestinya dibolehkan menggugat di arbitrase. Begitu pula Mattew, dengan bersemangat ia mencoba menjelaskan mengenai sistem perundangan di Indonesia dengan menyitir Pasal 1 (1) UUD 45, di mana Presiden adalah pihak yang berhak untuk urusan antarnegara.

Namun Lennon seketika terdiam ketika anggota Tribunal, Albert Van Denberg dari Belanda, memintanya untuk menunjukkan bukti apakah ada aturan yang secara tegas melarang pemprov untuk maju dalam arbitrase ICSID.

“Anda dari tadi berkali-kali menyatakan bahwa pemprov tidak berwenang karena tiada surat kuasa dari pemerintah Indonesia. Sekarang tolong tunjukkan kepada kami apakah ada aturan yang melarang maju dalam arbitrase,” tanya Albert.
Sesaat lamanya Lennon terdiam. Begitu pula delapan anggota timnya yang duduk di kanan Tribunal. Sempat ia membuka-buka berkas di depanya yang tebal. Kemudian ia berkata pelan: “Tidak ada, Tuan.”

Didi dalam akhir sidang menyatakan, sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pemda, pemda memiliki kewenangan besar, kecuali atas beberapa hal. Yakni pertahanan/keamanan, agama, dan keuangan/fiskal. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim mengajukan gugatan arbitrase kepada KPC yang dinilai telah banyak melakukan pelanggaran hukum dan etika bisnis. Sidang masih akan berlanjut hari ini, Kamis (28/2) untuk menentukan jurisdiksi (hearing on jurisdiction). 

Dicecar Pertanyaan

Mantsn Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen ESDM Simon Felix Sembiring dicecar pertanyaan oleh Didi Dermawan dan Tribunal terkait surat yang dikeluarkannya. Surat tertanggal 10 Agustus 2006 itu intinya menegaskan bahwa Pemprov Kalim tidak berhak dan berwenang terkait dengan PKP2B, termasuk untuk mengajukan gugatan arbitrase.
Sembiring adalah satu-satunya dari tiga saksi yang hadir dalam sidang arbitrase. Dua saksi lainnya, Sekjen Departemen ESDM Waryono Karno dan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim tidak terlihat hadir.

Pertanyaan Didi terkait dengan dua surat yang dikeluarkan Sembiring yang dianggap saling bertentangan. Satu surat tertanggal 10 Agustus 2006, Sembiring menegaskan tidak ada hak dan wewenang bagi Kaltim untuk membeli saham KPC, termasuk dalam penuntutan arbitrase. Namun pada suratnya yang lain, Maret 2004, ia menyatakan setuju atas pembelian saham KPC 18,6 persen oleh Pemkab Kutim. Jual beli itu, menurut dia, selaras dengan PKP2B.

“Kalau dasarnya PKP2B, kenapa terhadap Pemprov Kaltim Anda tidak katakan setuju dan selaras. Bukankah kedudukan Pemprov dan Pemkab sama dalam hal ini” tanya Didi.

Mendapat pertanyaan itu, Sembiring tidak memberi jawaban tuntas dan memuaskan. Didi dan Tribunal berulangkali meminta penjelasannya secara jelas. Namun Sembiring hanya mengatakan bahwa dirinya setuju Pemkab Kutim membeli saham itu, karena transaksi jual beli saham itu hanya melibatkan KPC dan Kutim.

“Kalau begitu saya rasa Anda telah keliru memahami PKP2B. Anda tidak memiliki pemahaman yang utuh,” katanya.


Berpeluang Diterima ICSID

Gugatan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim terhadap PT KPC dan para pihak dinilai memiliki peluang besar diterima oleh International Centre for Settlement of Investment (ICSID). Ini terlihat dari reaksi Tribunal saat hearing on jurisdiction selama dua hari, 27-28 Februari di Singapura.

Pendapat tersebut dikemukakan Fauzan Zidni, peneliti pada Center for Indonesian Regional and Urban Studies kepada wartawan Tribun Kaltim, Achmad Bintoro di Singapura. Fauzan secara mendalam mengamati proses di balik upaya Pemda Kaltim dalam berjuang mendapatkan hak pembelian 51 persen saham divestasi KPC. Ia membuat studi khusus tentang divestasi saham ini untuk tesisnya di Fisipol UI Jakarta.

Saat digelar sidang ICSID di gedung Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Fauzan juga tampak hadir. Ia kembali melakukan studi untuk objek yang sama pada Lee Kuan Yew of Public Policy National University of Singapore. “Saya diskusi dengan teman-teman. Saya pikir peluang (Kaltim) cukup kuat. Ini terlihat dari reaksi Tribunal di sidang kemarin,” kata Fauzan di Singapura, Minggu (2/3).

Selain fakta yang terungkap di persidangan, hal lain yang menguntungkan Kaltim adalah, dalam Pasal 25 ICSID Constituent dinyatakan, bahwa “constituent subdivision” dari suatu negara, oleh ICSID dianggap sebagai bagian yang sama dari negara tersebut.

Kadang-kadang justru ICSID menggunakan istilah “state” atau “government”. Tapi kedua istilah itu, sambung Fauzan, dalam hukum pertanggungjawaban negara (law on state responsibility — masih berupa draft article tetapi sudah mengikat karena sudah menjadi kebiasaan hukum internasional), departemen atau pemda dianggap sebagai “negara”.

Pada sidang, baik Michael P Lennon maupun Todung Mulya Lubis, masing-masing pengacara KPC dan Rio Tinto/Beyond Petroleum, berpendapat bahwa Pemprov Kaltim tidak berhak untuk mengajukan gugatan di ICSID. Ini karena pemda bukan sebagai pihak yang meneken Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Penambangan Batu Bara (PKP2B). PKP2B tersebut diteken pemerintah Pusat dan KPC. Sehingga kalau pun bisa maju, harus ada surat kuasa dari pemerintah pusat, Menteri Pertambangan (ESDM).

“Sejauh ini surat kuasa itu tak pernah ada,” kata Lennon dari kantor firma hukum kesohor dunia, Baker Botts yang bermarkas di London, Inggris. Ini diperkuat dengan kesaksian Simon Felix Sembiring, Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral yang kini menjadi Dirjen Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM, yang membeberkan surat yang dibuatnya pada10 Agustus 2006 bahwa, pemerintah RI tidak pernah memberikan kuasa kepada Pemprov Kaltim berkaitan dengan PKP2B.

Todung juga mendesak Tribunal untuk menolak gugatan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim yang diajukan oleh Didi Dermawan. Terlebih, kata Todung saat sidang, gugatan Pemprov sebelumnya sudah pernah ditolak oleh PN Jakarta. Sehingga mestinya, gugatan ke ICSID pun harus ditolak karena tiadanya kewenangan dan hak.

Namun Albert Vandem Berg, anggota Tribunal yang dipilih KPC, justru mempertanyakan alasan yang dikemukakan oleh pengacara tergugat. Kepada Lennon ia balik bertanya. “Dari tadi Anda selalu mengatakan bahwa Pemprov Kaltim tidak berhak maju di ICSID, sekarang tunjukkan apa ada aturan yang tegas melarang pemda untuk maju di ICSID,” tanya Albert yang kemudian oleh Lennon dijawab, tidak ada.

Lenon juga balik bertanya kepada Todung. Menurut dia, PN Jakarta wajar menolak gugatan pemda karena ia mengacu pada PKP2B. Ia merasa tidak berwenang. “Kalau di PN ditolak, lalu di ICSID pun Anda meminta agar kami menolaknya, lalu akan kemana mereka (pemprov) mencari keadilan?” katanya.

Menurut Fauzan, yang menjadi masalah justru di Kaltim sendiri. Ia melihat ketidakstabilan politikdan ketidakbersamaan elite-elite lokal maupun nasional. Ini yang malah akan membuat masalah divestasi saham KPC semakin berlarut.(bin)

Bangun Dulu Mangkrak Kemudian

Empat tahun setelah Stadion Utama Palaran, Samarinda menjadi saksi tempat kemeriahan upacara pembukaan PON XVII-2008,  The Economist menurunkan laporan berjudul: "Power to the people! No, wait ..."

The Economist adalah majalah  -- produk cetaknya berbentuk majalah di kertas art paper, meski selalu menyebut dirinya sebagai surat kabar -- berpengaruh yang berbasis di Inggris dengan tiras 1,4 juta eksemplar di seluruh dunia. Tak ada perpustakaan besar di Indonesia, dan hampir tidak seorang pun ekonom, para kepala negara, para pengambil kebijakan nasional, mapun para "think thank" di Jakarta, yang tak melangganinya.

Majalah yang dewan redaksinya disesaki para wartawan bergelar doktor itu menyatakan,  desentralisasi mengakibatkan pemborosan dana publik yang luar biasa. Ia menyebut Stadion Palaran sebagai salah satu contoh. Ada kebanggan yang membuncah dari warga Kaltim, juga gubernur, saat ribuan kembang api terlontar di udara dan menerangi langit di atas Palaran yang selama ini gulita. 

Tetapi, mengingat peristiwa olahraga yang jarang sekali terjadi di daerah ini, pembangunan stadion empat tingkat berkapasitas 50 ribu penonton pada lahan seluas 46 hektare, di tengah rakyat yang masih terbelakang dan terbelit kemiskinan itu, menurutnya, merupakan wujud proyek mercusuar yang mubazir.

"The governor himself takes pride in it. But a pitchside inspection tells a sadder story. A weary groundsman is attacking knee-high weeds with a flymo under the hot sun," tulis The Economist.

Pemprov Kaltim, tambahnya, harus merogoh dana Rp 5 triliun lebih untuk membayar kebanggaan tersebut. Sayangnya, kemampuan pemprov membangun stadion megah itu tak diikuti dengan kemampuan untuk memanfaatkannya secara maksimal.  Terakhir kali  pertandingan sepak bola besar dimainkan di sini pada Mei 2010.

Pada medio 2010 itu, Tribun juga pernah menurunkan laporan berjudul "Kemegahan Stadion Utama Palaran Tidak Tampak Lagi." Pemprov boleh dibilang lebih pandai membangun ketimbang memelihara. Rumput ilalang dibiarkan tumbuh subur di halaman luar dan dalam pagar. Beberapa bangunan pun retak tak terurus. Upacara pembukaan dan penutupan PON XVII-2008 silam, agaknya menjadi klimaks dari semua upaya dan daya yang dimiliki Pemprov. Begitu pesta usai, berakhir pula perhatian terhadapnya.

Menyaksikan bangunan itu sekarang, mungkin tak pernah tergambar dalam benak orang bahwa ini adalah bangunan stadion yang diklaim paling megah di Indonesia. Tingginya setara dengan bangunan gedung bertingkat 20 lantai.

Tiga tahun kemudian, kondisinya masih tak berubah. Stadion itu masih merana. Bahkan meski pengelola, UPTD Pengelola Komplek Stadion Utama Madya (PKSUM), sudah menggratiskannya. Karena itu tak berlebihan kalau Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo pun turut menyindir saat meresmikan Graha Pemuda di Samarinda, 28 April 2014.

"Jangan sampai gedung yang megah seperti ini (Graha Pemuda) tak maksimal penggunaannya. Lihat Stadion Palaran, sayang sekali. Mestinya bisa dikembangkan maksimal," kata Roy.


Kondisi Hotel Atlet di komplek Stadion Madya Sempaja nyaris setali tiga uang. Sudah satu tahun, sejak Gubernur Awang Faroek meneken nota kesepahaman dengan PT Bakrie Nirwana Semesta (BNS), 24 Juni 2013 lalu, hotel itu tidak kunjung diremajakan. Perusahaan milik kelompok Bakrie ini adalah pemenang tender pengelolaan hotel tersebut, dan rencananya akan berganti nama menjadi Grand Elty Atlet Hotel.

Hotel delapan lantai tersebut dibiarkan  kusam tidak terawat. Banyak perabot berserak dan terpreteli. Beberapa kamar juga tak lagi berpendingin udara, entah kemana AC-nya. Hanya satu kawanan yang kini betah bersarang di dalamnya, serangga. Pada penghujung Maret 2012 lalu, sekitar 600 penghuni kamar hotel ini dibuat geger ketika menemukan sejumlah serangga mirip tomcat. Petugas Dinkes dan Pertanian pun dikerahkan untuk mensterilkan hotel tersebut.

"Saya juga tak tahu persis apa masalahnya kok belum jalan. Itu kini (urusan) Pemprov," kata Ednindar S Samad, Kepala UPTD PKSUM saat itu.

***

Berapa banyak proyek di Kaltim yang sempat mangkrak kelanjutannya, tak terurus, dan pemanfataannya tidak maksimal? Ternyata bukan cuma Stadion Palaran, dan Hotel Atlet. 

Lihat Jembatan Mahakam Kota II Samarinda. Sudah di-groundbreaking namun hinga 10 tahun kemudian pun waktu itu bentangnya belum tersambung.  Lihat pula Jembatan Kembar (sebelah Jembatan Mahakam Samarinda) yang digadang-gadang bisa segera mengurai kemacetan, baru satu setengah pilon yang tertanam di sungai sudah tertunda kelanjutannya. Ia dikalahkan oleh proyek lain. 

Bandara Samarinda Baru (SBS) Sei Siring -- Bandara APT Pranoto -- pun begitu. Bertahun-tahun sempat terseok-seok, tak kelar ditangani Pemkot. Diambil alih Pemprov Kaltim, tidak lantas menjadi jaminan lebih cepat selesai. Sisi darat sudah rampung, sisi udaranya tak kunjung terbangun. 

Sampai-sampai sempat muncul gurauan, jangan-jangan saat sisi udaranya selesai, giliran bangunan darat yang harus dipermak lagi karena terlalu lama tidak difungsikan. Jika demikian, berapa lagi dana publik yang bakal mubazir? Untunglah keadaan berubah lebih baik setelah Gubernur Awang Farouk Ishak (saat itu) bertekad menyelesaikannya sendiri dengan APBD.

Kekhawatiran akan adanya proyek lain yang terbengkelai pun menular bagai virus. Jangan-jangan pula, gedung serbaguna (convention hall) yang megah di komplek Stadion Sempaja  bakal mengalami nasib serupa. Sudah selesai dikerjakan dengan dana Rp 256 miliar, tetapi tidak dapat difungsikan. 

"Perlu ratusan miliar lagi untuk bisa difungsikan. Masih perlu desain interior, mebeler, taman dan parkir," kata Muhammad  Taufik, Kepala Dinas PU Kaltim di era itu. Gedung itu sedianya akan diresmikan Presiden SBY bersama 28 proyek MP3EI lainnya di Kaltim, akhir Juni.

Sudah bertahun-tahun kita juga menyaksikan Terminal Angkot Bukit Pinang dan Termimal Barang di Seberang mangkrak. Di Kota Bangun, Kutai Kartanegara, kita melihat jembatan Ing Martadipura yang dibangun pada era Bupati Syaukani HR, tidak bisa difungsikan karena tiadanya jalan pendekat.

Ledekan publik sebagai jembatan Abunawas masih melekat hingga kini, sebagai satire terhadap proyek jembatan lain yang sudah tersambung namun belum dapat segera difungsikan karena belum adanya jalan pendekat. Sepertinya, virus Abunawas masih menular ke jembatan PPU.


Penyelesaian jalan tol Balikpapan-Samarinda juga sempat  jadi tanda tanya. Sudah habiskan sedikitnya Rp 2,5 triliun dari APBD Kaltim, tetapi, sekedar pondasi atau badan jalannya saja belum tersambung antarsegmen. Total kebutuhan dana yang pada awal proyek dikatakan "hanya" Rp 6,2 triliun, ternyata membengkak hingga dua kali lipat. Konsultan perencana mungkin salah menghitung. Agaknya, saat itu sedang terburu-buru sehingga tidak teliti melihat kondisi riil di lapangan.

Proyek sempat mangkrak, tertunda bertahun-tahun. Berbagai fasilitas tak bisa dimanfaatkan secara maksimal, menunjukkan lemahnya perencanaan dan lemahnya manajemen kontrol. Acapkali kita begitu bernafsu membangun proyek-proyek besar, tanpa melihat prioritas. Dengan total APBD terbesar kedua di Indonesia, kita sering bersikap seolah-olah memiliki dana tak terbatas. Padahal, kenyataannya terbatas.

Walikota Samarinda (era Syaharie Jaang) misalnya, tiba-tiba berpikiran ingin membangun jembatan mahakam yang kelima (tembus Jalan Awang Long) dengan anggaran Rp 716 miliar. Padahal, dua jembatan yang ada saja ketika itu belum tuntas. Jembatan Mahulu pun entah kenapa dibikin sempit, sehingga ketika trailer lewat kendaraan dari lawan arah harus menunggu. 

Rencana membangun Tepian Mahakam, yang diharap dapat melepaskan  dahaga masyarakat kota terhadap hadirnya obyek wisata yang membanggakan, masih sebatas konsep dan desain apik yang tersimpan di laci. Entah kapan baru dapat diwujudkan oleh walikota periode berikutnya?

Otonomi daerah, yang diikuti dengan melimpahnya dana besar ke Kaltim, rupanya membuat banyak elit menjadi "mabok". Lazimnya orang mabok, ia sulit fokus. Rencana dibuat tanpa perlu mengetahui apa yang diinginkan rakyat. Bermanfaat atau tidak nantinya bagi banyak orang, bisa difungsikan atau tidak, bukan lagi urusannya. Ia tidak memiliki sedikit pun rasa bersalah. Namanya juga mabok.

Tetapi, bagi yang elit yang berpikiran luas dan bervisi ke depan  -- dan itu masih ada -- akan beranggapan implementasi otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No 32/2004 itu masih setengah hati. Apa yang oleh pusat disebut bahwa dirinya telah menggelontorkan dana besar bak air terjun Niagara, sesungguhnya belumlah seberapa dibanding apa yang telah mereka ambil selama ini dari Kaltim. 

Belum lagi bicara mengenai konsep keadilan yang diterapkan pusat terhadap daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam yang masih harus mengejar ketertinggalannya. Maka, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kaltim (PPU) seharusnya menyadarkan kita semua bahwa itu sekaligus untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik dan berkeadilan.*** 

Air Hitam, 15 Juni 2021


 

Sunday, June 13, 2021

00126, Namaku


BEN datang tergopoh saat menyadari dipanggil menghadap Manajer Personalia. Sebelumnya, dua kali dipanggil ia cuma tolah-toleh. Celingukan kiri-kanan. Turut mencarinya. 

"Orang itu pasti sudah tuli." Makinya daam hati.

Sejumlah pelamar lain yang menunggu giliran tak kalah gusarnya. Seorang cowok berkaca mata tebal, di sampingnya, duduk menggigil di ruang tunggu berpendingin amat rendah. Berkali-kali ia mengumpat dengan suara tertahan. Ia tampak tak sabar, berharap untuk segera dapat panggilan. Mungkin dengan begitu bisa cabut dari ruangan yang mirip bekas master control room televisi itu.

Sepintas pria berkemeja blue navy dengan bretel itu mirip Larry King. Mungkin "Larry King" pengidap urtikaria. Ah, entahlah. Nobody knows. Mestinya, dia dan yang lainnya bisa lebih rileks dan angkat topi terhadap Willis Carrier yang berjasa menemukan mesin pengatur udara itu. 

Bagi Ben, bisa berlama-lama di ruang ber-AC justru sebuah kemewahan. Serasa menikmati kembali kesejukan Kaliurang. Bedanya, di sana ia biasa menikmatinya dengan nyeruput wedang anget sambil bertafakur terhadap alam. Maka, ia akan mencoba memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dengan bersabar menunggu. 

Kesehariannya selama ini sudah lebih dari cukup berjemur di terik matari. Terlalu biasa pula ia harus mengantre, di mana pun. 

"Sekali lagi, panggilan terakhir, nomor 00126!" 

Suara perempuan itu merdu. Tapi cara dia mengeja dan memainkan tekanan, semua mafhum bahwa ia tak sedang main-main. Ben terperanjat. Astaga! Bukankah itu dirinya?! Jadi, orang yang ia maki-maki di dalam hati tadi... Oh, tidak!!!

Seketika ia teringat identitas baru yang ia dapatkan begitu lolos tahapan tes tertulis, dua hari lalu. Juga di ruang ini, Lt 16 Gedung Apigon Jakarta. Terlambat menyadari sepersekian detik saja, mungkin akan lain jalan ceritanya. Wassalam, barangkali. 

Banyak orang cerita inilah tahapan seleksi yang sesungguhnya, setiap kali holding perusahaan terbesar di bidang informasi ini melakukan rekruitmen. Usahanya telah menggurita pesat di berbagai bidang dan negara. 

Kalau mau sekedar lolos pada ujian tertulis, itu gampang. "Jangankan kamu, anak fresh graduate yang lulus terseok-seok macam Togar pun pasti bisa," jelas Pardi saat mentraktir di warteg langganannya di Tebet Timur.

"Sarjana TMI, IPK 3,4 mau daftar posisi ini, Anda yakin?" tanya dia dengan mata menyelidik.

Manajer personalia itu seorang perempuan. Berkemeja putih dipadu blazer abu-abu, amat wel groomed. Semampai. Berhidung tinggi. Kacamata tipis. Ia tampak menawan. Tapi Ben tak melihatnya seperti itu. Di matanya, ia orang yang berkuasa, yang akan menentukan.

Ia tahu ini pertanyaan konyol. Personalia itu mungkin beranggapan kenormalan adalh sesuatu yang harus linear. Orang dengan pendidikan ilmu pasti nantinya harus bekerja dalam bidang yang pasti-pasti saja. Seorang teknik sipil maka bekerja pada bidang konstruksi. Seorang dokter kerjalah pada bidang kesehatan.

Tapi betapa banyak di antara kita yg bekerja tak sesuai ijasahnya. Barangkali hanya profesi dosen saja yang masih setia pada garis turunan ilmunya. Itu pun dosennnya pernah berpesan bersikaplah lebih adaftif. Ia mengingatkan spirit fisika dasar tentang gaya dan ketertarikan yang diampunya: Logic will get you from A to B - Imagination will take you everywhere. Nalar hanya akan membawa Anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawamu ke manapun.

"Konyol memang," maki Ben lagi pada maajer di depannya. Tentu saja ia hanya berani di dalam hati.

Sekonyol dirinya yang tetap mendaftar sebagai analis informasi. Jauh sekali dengan apa yang ia pelajari selama ini di Jogja. Memang ia pernah ikut nebeng di Balairung. Saat itu diajak kawan sesama aktivis untuk mengikuti pelatihan menulis. Tapi hanya sampai di situ. Sedikit pun tidak tersirat keinginan untuk mencoba dunia ini, apalagi menekuninya. Tidak! Tidak...

[more...]

Air Hitam, 13 Juni 2021

#StoriesWeekly



Friday, June 11, 2021

The Kalimantan Dream

SEPERTI umumnya para pendatang di daerah ini -- kampung Bentian Besar di hulu Sungai Lawa -- Joko Sudiran pun menaruh harapan tinggi terhadap lahan baru yang ia pijak. Lahan sepetak yang ia harapkan suatu saat bisa turut menjadi miliknya. 

Dari situlah ia berangan kelak akan mampu membangun gubuk untuk keluarga. Tempat ia bisa berhuma. Menanam ubi jalar, jagung, talas, dan sekedar sayuran. Tempat yang pasti tak akan lagi digusur² oleh aparat pemerintah.

Rumah orang tua di kampung sudah lama tak bersisa. 

Sebuah panggung besar depan rumah, dengan kelir warna warni, telah dirobohkan. Rata dengan tanah. Di usianya yang masih ingusan, ia cuma bisa menangis dn menangis saat menyaksikan puluhan petugas bersepatu laras berderap merobohkan rumah-rumah dan panggung yang biasa digunakan ayahnya untuk pentas ludruk. Tempat ayahnya sekaligus menghabiskan siang dengan menghisap rokok klobot sambil mempersiapkan script.

Pohon asem dan mahoni di kiri panggung tempat sejumlah temannya sering mengintip pentas tak luput dari sasaran. Gergaji mesin sebentar saja menumbangkannya. Berubah menjadi bangunan mentereng SDN Inpres, lengkap dengan lapangan bolanya. Lahan yang terletak persis di depan kuburan, pinggir jalan raya pantura itu memang milik pemerintah. Selama puluhan tahun orang-orang kampung begitu saja mematok dan membangun rumahnya.

*** 

TAK ada panggung, maka tak ada pentas. Tak ada lagi guyonan khas jula-juli "Cak Kenthus" -- yang biasa diperankan ayahnya saban malam. Hilang pula mata pencaharian. Sejak itulah ayahnya jadi pendiam. Sesekali terdengar parikan dan tembang macapat dalam kesendiriannya, hingga penyakit tua menggerogoti tubuh ayahnya. 

Joko sadar ini tak mudah. Bekal yang ia bawa dari kampung bisa jadi tak cukup. Itu pun jika tekad masih layak disebut sebagai modal. Tapi ia bertekad untuk mencapai impian itu. Seberat apa pun rintangan yang ia akan hadapi. Biarlah ini menjadi dendam yang mengakar dalam dirinya, "The Kalimantan dream".

***

ITU pulalah yang merasuki Joseph Donelly dan Shannon Christie saat nekat meninggalkan tanah kelahiran di Irlandia, menuju Oklahoma, jauh di padang savana benua AS. Wilayah yang kini berjuluk "city of legends" di selatan-tengah AS itu awalnya merupakan belantara sub-tropis, padang rumput luas yang oleh pemerintah setempat kemudian dipetak² dan dibuka peluang pada siapa pun untuk memilikinya secara gratis.

Amerika memang dikenal sebagai tempat pembauran etnis. Sejak imigran asal Inggris mendirikan koloni pertama di Jamestown, Virginia, pada tahun 1607, para imigran terus berdatangan. Baik dari kelompok aristokrat kaya maupun rakya kebanyakan yang papa. Periode puncaknya terjadi 1880-1920. Sebagian besar adalah orang Eropa Selatan dan Eropa Timur. Banyak pula bangsa kulit kuning dari China.

Gelombang awal imigran dari China berlabuh di San Fransisco. Kota ini berkembang menjadi pelabuhan masuk tidak resmi bagi imigran China yang melarikan diri dari kekacauan ekonomi politik pada abad pertengahan 1800-an.

Mereka berbondong berjuang untuk meraih harapan dan masa depan yang lebih baik. Luasnya wilayah koloni jadi salah satu alasan. Kesempatan masih terbuka. Terlebih pemerintah setempat memberikan peluang kepada imigran untuk mendapatkan petak-petak "land run" tahun 1893.

Joseph terngiang pesan mendiang ayahnya, sesaat sebelum meninggal, untuk tidak melepaskan mimpinya memiliki tanah sendiri suatu hari nanti. Sebagai petani miskin ia merasakan betul kesewenangan tuan tanah dan penderitaan karena tak memiliki tanah.

"Tanah adalah jiwa seorang manusia," kata bapaknya, sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir dalam "Far and Away".

Saat menjadi imigran, Joseph dan Shannon tidaklah berawal sebagai sepasang kekasih. Joseph punya dendam terhadap ayah Shanon. Rumah keluarganya dibakar habis oleh anak buah tuan tanah Daniel Christie, ayah Shannon, karena tiga bulan sewa yang belum terbayar. Joseph begitu marah, dan berencana membunuhnya. 

Berbekal amarah dan bedil tua, satu²nya harta keluarga yang tersisa, ia pun menuju kediaman Daniel. Tetapi, saat bedil dikokang justru melukai dirinya sendiri. Nora, istri Daniel, merawat lukanya dengan niat orang akan lebih mudah nanti menggantungnya. 

Shannon diam² datang membujuk. Ia ingin Joseph menemaninya berlayar naik kapal ke Amerika. Ia tahu Joseph juga mendambakan tanah. Sebuah guntingan iklan mengenai adanya lahan di benua yang "far and away'" akan diberikan gratis di sana, sangat mengobsesi dirinya. Terbayang olehnya rumah impian dengan landscap padang rumput hijau yang luas. 

Ia pikir dengan cara itu dirinya akan bisa terbebas dari tekanan kolot keluarga yang terus mendesaknya  menikah dengan pemuda (manajer ayahnya) angkuh yang tidak dicintainya.

***

MAU ke Kalimantan atau berlayar jauh mengelilingi lebih separuh Bumi di Amerika, para pendatang selalu membawa spirit yang kurang lebih sama: ingin sukses, masa depan lebih baik. Gambaran ini juga yang ditangkap Prof Dr Kutowijoyo. Dosen UGM Yogyakarta ini memotret 30 keluarga Indonesia yang hijrah di Amerika dalam American Dream.

Ia lakukan itu di sela-sela kesibukannya menyelesaikan studi Ph.D-nya di Universitas Colombia, AS. Ini merupakan sebuah universitas "Ivy League" di Manhattan, pusat kota New York. Kampusnya yang terletak di Morningside Heights selalu menarik para pelajar dan turis yang berkunjung ke NYC. Hanya sekitar 20 menit dari tempt-tempat wisata di kota Big Apple ini dengan naik subway seperti dari Times Square, Patung Liberty, dan Rockfeller.

Di depan anak tangga menuju Low Memorial Library -- sebuah gedung perpustakaan kampus pusat yang sangat besar, nyaman dan megah bergaya arsitektur neoklasik -- berdiri patung Alma Mater dewi Yunani-Romawi. Patung pahatan Daniel Chester ini dianggap identik dengan karakter dan semangat Universitas Colombia. Konon terdapat burung hantu, simbol pengetahuan dan pembelajaran, yang tersembunyi di lipatan jubah Alma Mater dekat kaki kirinya.

***

American Dream merupakan istilah yang merujuk pada cita-cita banyak peduduk dunia yang ingin hijrah an hidup lebih baik di Amerika. 

Banyak orang dari berbagai belahan Bumi dari Eropa, Afrika, Asia -- termasuk sebagian kecil dari Indonesia -- menjadikan benua ini sebagai tempat tinggal baru. Lahan pijakan baru bagi diri dan anak-cucu mereka. Senyum mereka akan langsung mengembang begitu kapal-kapal para imigran itu lepas jangkar di pelabuhan New York, seolah menandakan akan datangnya kebebasan. 

Tak berlebihan kalau "Lady Liberty" raksasa dibangun di Pulau Liberty, muara Sungai hudson di New York Harbor. Ini patung paling ikonik di NYC, bahkan Amerika. Sebagian orang beranggapan belum benar-benar ke Amerika kalau belum pernah mengijakkan kaki di Patung Liberty. Sama kalau Anda ke Singapura. Dulu, dianggap belum sah jika tidak berfoto di Patung Merlion. Kini patung ikonik itu telah dibongkar. Pemerintah Singapura menjadikannya jalan raya bagian dari proyek wisata Sensoryscape.yang menghubungkan Pulau Sentosa bagian selatan dan utara.

Apa yang aebenarnya begitu didambakan oleh para pendatang itu? 

Menurut Kuntowijoyo, Impian Amerika adalah kebebasan (belenggu menjadi kemerdekaan), mobilitas ekonomi (kemiskinan menjadi kelimpahruahan), mobilitas sosial (karyawan menjadi majikan) dan mobilitas budaya keterbelakangan menjadi kemajuan. 

"Dari sejumlah harapan orang itu yang tersisa barangkali hanya kebebasan (termasuk kebebasan untuk rusak, kafir, dan mati)," katanya.

Orang-orang datang ke New York City dengan cita-cita dan latar belakang berbeda. Namun masing-masing orang itu tertarik ddengan Amerika karena mereka punya "Impian Amerika". Maka, yang akan terjadi bisa saja berupa gegar budaya. 

Simak misalnya kisah Soleman. Ia orang Madura. Jangan lupa nulisnya es-ou-el-em-are-en. Ke mana pun pergi ia selalu bilang dirinya orang Madura dengan kebanggaan tertentu, sekali pun semua orang di NYC tahu dia dilahirkan di Surabaya. Soleman manikah dengan Mary, orang barat, bukan Maryam atau Marhamah. Tapi itulah jodoh. 

Cerita berpuncak saat prosesi penguburan Soleman. Anak-anaknya sempat bingung karena sang ayah berpesa ingin dikubur di Madura. Akhirnya datanglah anak laki-lakinya yang bertubuh gempal -- mungkin menurun dari ibunya, bekerja di kapal,dan tangan penuh tato.

"Stop that bullshit. Ayah akan dikubur di sini," kata anak itu.

Orang semua heran, bagaimana Soleman bisa punya anak sekasar itu. Ibunya sampaimemperingatkan, "Jangan kasar-kasar di depan keranda ayahmu!". Tapi anak itu menjawab, "Kata ayah yang tak boleh itu hanya menyekutukan Tuhan, membunuh, berzina, minum alkohol, dan makan babi."

"Ya, benar. Tapi jangan omong kasar di depan kita yang terhormat. Ayo minta maaf pada semua orang!"

"Ya, Mom. Ladies and gentlement I am sorry." Sambil berbisik dia bilang pada ibunya, "Kata ayah, semua orang itu sama. Tidak ada orang terhormat an tidak. Yang ada hanyalah orang yang percaya dan tidak percaya."

Ibunya bilang, "Ah, kau stubborn seperti ayahmu!" Kemudian perempuan tua itu menghapus  air matanya.(***)

Air Hitam, 11 Juni 2021


Tuesday, March 16, 2021

Pulang

Sebelum waktuku tiba, aku ingin sudah bisa menyelesaikan tulisan ini. Tulisan sederhana. Sangat tidak penting. Tapi entah enapa aku begitu terobsesi untuk membuatnya. Sebenarnya ini ambisi lama. Tiga dekade terkubur dalam rutinitas. Naik turun di sela sepi, gerimis, hujan, dan alunan gending tayub yang membius bersama semilir angin segara. Tidak benar-benar mati.

Aku ingin kelak ini akan menjadi tulisan terbaik yang pernah kubuat selama hidupku. Tulisan pamungkas. Namun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Jemari tanganku selalu kaku setiap kali mencoba merangkai kalimat kedua dan seterusnya. Sempat aku berpikir ulang: mungkin ini berlebihan dan ambisius.

"Bukankah itu tulisan yang simpel. Siapa pun akan bisa melakukannya," kata Ben, karibku. "Tapi kamu tahu belum pernah aku bikin tulisan macam ini sebelumnya", debatku.

"Baca saja buku-buku atau tulisan-tulisan lain yang sejenis, mungkin akan bisa menginspirasimu." 

Aku memang baca. Hampir semua tulisan sejenis. Aku baca "Pulang" karya Leila S Chudori. Kubaca pula "Pulang" Tere Liye. Ada belasan bahkan puluhan cerpen berjudul "Pulang. Aku mau kisah berbeda. Tak pernah ditulis oleh orang lain. yang sama, seperti yang mereka tulis. Aku yakinkan pada diriku bahwa tulisan yang akan aku buat ini 

Ben tersenyum getir. Ia seperti menertawai ketidakberdayaanku. Hampir tiga dekade jadi wartawan. Sudah pula terbang ke sejumlah negara. Mengelilingi separuh belahan bumi, dan selalu tahu jalan untuk pulang. Tapi tidak mampu menulis buku yang simpel begitu. Mengangkat kedua bahu, lalu ngeloyor pergi di simpang lorong. Meninggalkanku. Sendiri.

Aku menghela nafas dalam. Mataku tetap terpatri pada satu kata di notes hp, dan sejauh ini aku masih belum menemukan kalimat-kalimat berikutnya. Sungguh, ini pekerjaan tersulits. Tap biarlah. Setidaknya aku sudah memulai dengan kalimat pertama: "Pulang". Aku berharap masih ada waktu untuk menyelesaikannya. Mungkin besok, lusa, minggu depan atau... 


Air Hitam, 16 Maret 2021

Sunday, March 14, 2021

Gamaresyeh

Kangen juga denger suaranya. 

by #UmarJawwas #Link video FB-nya gamaresyeh



Sy ga bisa tarian Arab. Tapi anehnya kok bisa saja menikmati irama padang pasir macam gini. Entah kenapa kalau disuruh menari, seluruh anggota tubuh sy kontan gak bisa kompromi. Kaku. Sangat kaku. Lebih kaku dari robot.

Kadang ini yg membuatku iri dengan Atlas -- sebuah robot humanid buatan Boston Dynamics -- yg begitu lincah menari mengikuti lagu "Do You Love Me?" Mungkinkah sang koreografer Monica Thomas bisa melatihku sebagaimana ia mengajarkan gerakan² itu kepada Atlas? 😏😭

Apa boleh buat. Sy hanya bisa melompat² bak pocong hidup saat "dipaksa" menari mengikuti samrah usai ijab qabul di Palu.

Sungguh jadi geli sendiri kalau ingat malam itu. Konyol sekali. Dan sy suka, sangat menikmati kekonyolan itu. Mungkin itu kekonyolan paling terkonyol yg pernah sy lakukan.

Umar Jawas pernah ke Samarinda. Ia tampil beberapa kali bersama kelompok gambus milik keluarga habib Al-Hasani di Seberang. Hingga kini, tradisi hadrami itu masih mereka pelihara kuat. Akan selalu ditampilkan setiap mereka menggelar hajat perayaan.

Ia bersuara merdu. Pandai bergaul. Humble. Pandai pula menghibur. Penampilannya tak kalah dari Mustofa, vokalis Balasyik Jember. Sy pernah diajak "pacar" melihatnya ketika live di Samarinda. Saat itu sedang diundang Nasir Badjuber.

Kebetulan, Umar Jawas terhitung masih adik ipar dari istri. Adik perempuan istri, kawin dgn kakaknya, Noval Jawas. Tiga (laki², sebab ada pula perempuan) bersaudara keluarga Jawas ini memang hebat. Semuanya bisa nyanyi. Dan tentu saja pandai menari. Sepertinya,  hampir semua orang Arab yang saya kenal memang bisa menari irama samrah. Baik yg saya kenal di kampung, Tuban maupun di Palu.

Sang kakak, Noval -- akrab disapa Opa -- meski bisa menyanyi namun ia memilih berkarir sbg abdi negara. Ia PNS di Disperindagkop Sulteng. Adiknya, Fahmi Jawwas memilih jalur sbg ustadz. Ia diundang ke sana kemari berceramah. Gaya dia berceramah dan kontennya sangat membumi. Ia menyelesaikan S1 dan S2-nya di Mesir.

Akan tetapi baiknya sy tidak berpanjang² utk bercerita. Sebab utk dapat menikmati memang tak dibutuhkan membaca. Tak pula harus memiliki kemampuan menari. 🎶🎶🎶🎵🎵🎵

Air Hitam, 13 Maret 2021

#JustStories #YassalamMusicPalu

Saturday, February 27, 2021

A Whiter Shade of Pale

INI memang tembang jadul. Sangat jadul. Bisa dimengerti kalau generasi now tidak familiar. Saya sendiri belum lahir saat vokalis Procol Harum, Gary Broker menyanyikannya pertama kali tahun 1967. Lagu ini sempat lama bertengger di posisi #1 BBC. Juga di AS, di posisi #5.

Tetapi, kalau Anda pernah jatuh cinta, lagu ini pasti masih selalu evergreen. Saya yakin Anda pun akan merasakan apiknya sentuhan organ Matthew Fisher berkomposisi dengan melodi Ray Royer dan lirik metaforik yang dirajut oleh Keith Reid. Begitu psikedelik. Merasakan ikut hanyut dalam kepedihan yang dialami dua insan muda itu. 

Frasa-frasa liriknya memang kurang lazim pada era itu. Banyak kritikus yang menilainya sebagai karya progresif. Penafsirannya pun menjadi beragam. Ada yang menafsir bahwa lagu ini sebenarnya bercerita mengenai kepedihan cinta yang dialami sepasang kekasih pada detik-detik kapal Titanic menabrak gunung es pada 14 April 1912 pukul 23.00.

/We skipped the light fandango// 



Frasa ini disebut-merujuk pada suasana malam kemeriahan pesta di kapal itu. Tak pernah mereka duga kapal super mewah yang mereka naiki dari pelabuhan Southampton, Inggris ke New York City akan mengalami naas di pelayaran perdananya, bencana setragis itu. Fandango merupakan tarian bersama yang sangat populer di Spanyol. Sering pula dibawakan para Spanish America yang tengah kasmaran. 

Ada beberapa momen dramatis yang tersaksikan sebelum kapal patah dan akhirnya tenggelam di dinginnya dasar samudra Atlantik pada pukul 02.20 tanggal 15 April 1912. Tentu saja, tafsiran setiap orang bisa berbeda, dan tidak harus seperti itu. Penikmat lagu ini bisa menafsir sesuai kemampuan dan pengalaman kisah cintanya.

Dalam sebuah wawancara dengan Uncut Magazine, Keith Reid mengaku tak menduga akan muncul begitu banyak tafsir atas lirik lagu yang ditulisnya. "Ini sebenarnya semacam film, sungguh, mencoba membayangkan suasana hati dan menceritakan sebuah cerita. Tentang sebuah hubungan. Ada karakter, lokasi, ada perjalanan."

Bagi saya, jawaban Reid tetap samar. Masih ada teka-teki setting yang entah kenapa ia sembunyikan. Dan ia tak menampik anggapan itu. 

"Saya membuat teka-teki yang sesuai dengan bagian yang Anda miliki. Anda tinggal mengisi gambar itu, menemukan sisanya yang cocok dengan bagian itu." 

Apa pun itu saya juga tak mau ambil pusing dengan beragam tafsiran atas lagu itu. Saya juga tak mau terjebak dalam silang sengkarut royalti yang diperebutkan. Cukuplah kalau saya mengalami efek psikedelik ini. Merasakan haru biru hati saat mendengar kembali lagi itu dalam scene akhir film "The Net" yang dibintangi Sandra Bullock. Aransemen baru yang dibawakan Annie Lennox membuat saya semakin hanyut. Lagi-lagi hanyut deh...


Air Hitam, 27 Pebaruari 2021

 #StoriesWeekly

Saturday, February 6, 2021

Dalam Diam Aku Berputar

JUDUL itu bukan kalimat Albert Einstein. Tapi saya menjadi tergelitik setelah tertarik membaca beberapa buku karyanya serta astrofisikawan lain, lalu menuliskan judul itu sebagai tesis tentang apa yang saya pahami.

Dulu, waktu di bangku sekolah, saya beranggapan profesor berambut jabrik dan wajah golliwog itu
hanya sebatas persamaan sederhana E=mc2. Ya, itu saja. 

Sejalan dengan ketertarikan saya terhadap jagad raya secara amatir, saya pun tergoda untuk mencari tahu lewat buku-buku fisika modern. Saya mencoba memahami, meski tergagap. Saya mengalami disleksia. Tapi masa bodoh. Tetap saja saya nekat membacanya. 

Saya pikir Tuhan memang sengaja menggunakan bahasa yang universal -- bahasa matematika -- untuk berkomunikasi dengan mahluk-Nya, agar kita mau berpikir.

Saya lalu mengenal teori relativitasnya, kendati cuma sebatas kulit ari. Yang bersama dengan mekanika kuantum menjadi dasar untuk bisa lebih memahami jalan pikiran sejumlah ilmuwan mengenai semesta. Termasuk jalan pikiran Stephen Hawking yang begitu terobsesi menemukan satu teori tunggal -- theory of everything guna menjelaskan semua fenemona yang terjadi di jaga raya -- yang membuatnya bahkan berpikir lebih radikal: "... dengan begitu kita akan tahu nalar Tuhan."

"If we discover a theory of everything... it would be the ultimate trimph of human reason - for then we would truly know the mind of God," tulisnya dalam buku "The Brief History of Time: From Big Bang to Black Hole".

Saya mencoba ikut memahami awal kelahirannya, proses tumbuh besar hingga bagaimana kematiannya kelak. Saya coba memahami diasporanya. Dari nol waktu (imaginary time, lebih tepatnya) yang dulu hanya sekumpulan partikel seukuran satu atom tunggal (subatomik) tapi dengan tingkat kerapatan, temperatur dan tekanan yang tak terhingga. 

Fenomena singularitas ini yang diyakini memunculkan big bang, yang dengan hentakannya yang sangat kuat membuat jagad raya ini terus berkembang begitu meluas. Dari kejadian itu lalu muncul ruang. Ada ruang, maka konsekwensinya muncul pula waktu. 

Pengukuran terakhir melalui metode Cosmic Microwave Background (CMB) atau mikro gelombang kosmik milik Badan Antariksa Eropa yang dirilis Live Science (17/7/2020) berjudul Oldest Surviving Light Reveals the Universe's True Age menyebut alam semesta ini telah berusia 13,77 miliar tahun plus minus 40 tahun tahun.

Einstein telah banyak menelorkan teori,hukum fisika dan pernyataan filosofis yang dijadikan rujukan banyak orang. Tapi, dari sekian banyak ungkapan filosofis itu, ada satu yang memaksa saya terjeda. Saya merasa perlu berdiam diri dulu sejenak. Merasakan harmoni atom dan molekul oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen dan berbagai molekul organik lainnya yang terus begerak setengah abad lebih dalam tubuh saya. Tanpa henti.

"Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving" Begitu pesan Einstein yang disalin oleh Walter Issacson dari bahasa aslinya. 

Ungkapan itu saya baca di buku "Einstein: His Life and Universe" yang ditulis Walter Isaacson. Dia menulis buku setebal 675 halaman itu dengan sangat memikat. Bahkan lebih memikat menurut saya ketimbang biografi untuk Steve Jobs. 

Risetnya terhadap ribuan sumber arsip yang telah berserak di sejumlah negara, termasuk terhadap arsip yang tidak di-publish, menunjukkan ketekunan dan kedalamannya. Sehingga ia mampu menyajikannya secara utuh, dalam perspektif yang lebih obyektif.

Penting sekali saya kira bahwa buku biografi mestinya memang tak cukup hanya berisi selebrasi atas pencapaian seseorang. Pada sosok yang sudah melegenda seperti Einstein, acapkali penulis mudah terjebak dan lupa bahwa sebesar apa pun sosok itu, dia adalah orang yang sama seperti kita: seseorang yang juga diwarnai dengan kisah tragedi.

Di atas ungkapannya itu, Issacson memasang gambar hitam putih Albert Einstein sedang mengendarai sepeda onthel. Ia tampak agak oleng mengendarainya. Mungkin akan segera jatuh ke kiri kalau saja ia tidak terus berusaha memancal pedal sepedanya.

Kalimat itu terlacak dalam surat yang ditujukan untuk anaknya, Eduard. Surat yang kini tersimpan di Universitas Hebrew (Ibrani), Jerusalem itu dikirim pada 5 Pebruari 1930. Saat itu, anak lelaki keduanya menderita skizofrenia, sejak usia muda. Sejumlah referensi menyebut gejala itu ia alami saat jatuh cinta kepada wanita yang lebih tua di universitasnya.

Eduard mewarisi kecerdasan ayahnya. Ia mempelajari ilmu kedokteran dan terobsesi menjadi psikiatri seperti Freud. Nilainya cumlaude di semua pelajaran. Namun siapa sangka bukannya mengobati pasien, malah ia sendiri yang perlu bantuan dan harus ditangani tim psikiater di sanatorium Burghozi, Zurich. Ada memang yang beranggapan Eduard hanya mengalami disleksia, seperti pernah dialami ayahnya saat kanak-kanak, toh ia tetap dirawat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya hingga matinya di klinik itu.

Einstein menulis surat itu dalam bahasa Jerman. Aslinya berbunyi: "Beim Menschen ist es wie beim Velo, Nur wenn er fachrt, kann er bequem die Balamce halten". Barbara Wolff, petugas arsip di universitas tersebut, membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris yang jika diindonesiakan berarti: "Seperti orang bersepeda. Hanya dengan terus mengayuhlah seseorang dapat mempertahankan keseimbangannya dengan baik."

Tetapi yang kemudian muncul di buku Issacson, entah kenapa berubah menjadi kalimat lebih ringkas seperti yang saya nukil di awal. Ada sedikit perbedaan penerjemahan dari bahasa asli jika dibandingkan dengan versi Roger Highfield, editor sains di London Daily Telegraph. Highfield dalam biografi dengan subyek yang sama berjudul "The Private Lives of Albert Einstein" (1994) juga menggunakan kutipan itu dalam bukunya.

Namun ia lebih mengutamakan kata 'people', bukan 'life' seperti pada buku Issacson. Ungkapan dalam sepucuk surat Einstein itu sejatinya memang berisi nasihat tentang pekerjaan kepada Tete -- panggilan sayang ayahnya untuk Eduard. Ia sebut, obat terbaik bagi perasaan melankolis adalah dengan bekerja keras. Einstein berharap dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan akan membuat anaknya tidak terus-terusan tenggelam dalam dunia lain.

"Betapa bermanfaatnya pekerjaan bagimu. Bahkan seorang jenius seperti Schopenhaeur jadi tidak bermakna tanpa pekerjaan". 

Ia kemudian melanjutkan pesannya bahwa hidup itu seperti sebuah sepeda. Karena seseorang akan dapat menjaga keseimbangan hanya jika dia terus bergerak. Kata 'seseorang' dalam kalimat itu mengarah kepada 'people', sekali lagi bukan 'life' seperti ditulis Issacson. Tapi di buku yang saya nukil di awal, Issacson menerjemahkannya dari bahasa asli ke bahasa Inggris dengan mengubahnya menjadi: "Life islike riing a bicycle, to keep your balance, you must keep moving" - Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Agar tetap seimbang, kamu harus tetap bergerak.

Versi Issacson menggunakan kata 'life' atau kehidupan sebagai subyek. Bukan 'people" (seseorang). Adanya dua versi kutipan ini terkadang membingungkan. Tetapi, apa pun itu, pesan Einstein menyentuh ke skala yang lebih luas. Bukan cuma terhadap seseorang. Melainkan pada seluruh atmosfer kehidupan jagad raya.

Tidakkan kita semua memang sejatinya sedang dan terus bergerak? Berputar!!! 

Bumi bersama planet lainnya berputar mengelilingi pusat tata surya, matahari. Tata surya bergerak dan berputar mengelilingi galaksi Bimasakti. Galaksi Bimasakti dan galaksi lainnya berotasi dan berevolusi terhadap black hole.

Dalam skala mikrokosmos pun begitu. Sebuah partikel kecil subatomik. Elektron misalnya sains telah membuktikan ia berputar-putar mengelilingi inti atom. Adanya medan elektromagnetik yang kuat dan berinteraksi sehingga menyebabkan gerakan elektron ditambah oleh tarikan dari inti atom, maka bakal menimbulkan gerakan berputar. 

Dan karena kita mengandung unsur atom dan molekul, maka saya dan Anda semua yang kelihatan diam, sejatinya sedang berputar. Berputar kemana? Mengikuti poros perputaran Bumi. Bumi kita tahu berputar pada poros dengan kecepatan 1600 km/jam. Jadi, meski kelihatan diam, tubuh kita sedang dan terus bergerak berputar dengan kecepatan minimal segitu. 

Sebagai gambaran, pesawat lebar Boeing 747 400 atau jombet jet yang biasa dipakai melayani penerbangan jarak jauh ke Amerika, hanya mampu terbang paling cepat 909 km (0,85 mach). Anda bisa bayangkan, betapa cepatnya tubuh kita selama ini telah bergerak.

Dan tidak satu pun mahluk di jaga raya ini yang bergerak lurus. Kita naik pesawat lurus menuju timur, terus dan terus.Ternyata kemudian kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita terbang ke AS, mau lewat barat maupun timur tetap akan sampai tujuan juga. 

Tergantung maskapai apa yang akan kita pilih. Kalau naik maskapai Eropa kita akan diajak lewat barat. Jika kita naik maskapai Jepang, Korea, China, Australia atau China biasanya kita akan diajak lewat timur, menyeberangi samudra Pasifik. Artinya apa? Ini melojikkan bahwa Bumi itu memang bukan datar.   

Begitulah, dalam diam kita, manusia sejatinya terus berputar. Dan itulah keseimbangan. Karena itu penting bagi kita untuk terus bergerak. Sebab saat kita benar-benar "diam", maka itulah awal kejatuhan kita.

Air Hitam, 6 Pebruari 2021

#WeekendStory #StayAtHome #AlbertEinstein #DalamDiamManusiaBerputar #AlamSemesta

Wednesday, February 3, 2021

Menjadi Terhormat


"Ingin menjadi orang terhormat? Jadilah anggota Dewan Perwakilan Rakyat!"

BrE mungkin sembarang klaim ketika menuliskan cuitannya itu di akun Twitter-nya. Sekedar berseloroh. Ia memang senang bercanda. Kami kawan seangkatan di Taman Kanak-kanak di kampung. Lama tak bersua setelah kami berpisah pulau dan berbeda profesi. Terakhir kali bertemu dalam reuni. Tidak ada yang keliru dengan kicauannya. Sudah dua pariode ini ia menyandang label Yang Terhormat itu.

Suka tidak suka, memang inilah satu-satunya lembaga di negeri ini yang memberikan atribut "Yang Terhormat" bagi para anggotanya. Silakan cek, adakah pekerjaan atau bentuk pengabdian lain yang dapat pengakuan lugas setinggi itu? Gak ada! 

Profesi semulia guru saja tidak pernah disebut sebagai Yang Terhormat. Pun presiden. Orang nomor satu. Penguasa negeri ini. Presiden beserta para punggawanya harus berjuang lagi dengan sangat keras jika mau mendapat pengakuan itu. Mungkin akan dapat nanti, saat anumerta. Saat banyak orang merasa kehilangan. 

DPR sangat menghargai kerja keras para anggotanya. Mereka sangat mafhum. Bahwa tak mudah bagi para anggotanya bisa duduk di kursi itu. Mewakili suara rakyat. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan hitam putihnya panggung politik.

Bisa lolos saja sudah perjuangan besar. Berdarah-darah. Menguras keringat, pikiran, energi. Pun kadang tak sedikit harta yang dikorbankan. Karena itu tidak pernah mempermasalahkan siapa kamu. Apa pun warnamu. Mau putih, kuning, biru,  hijau, merah, bahkan hitam sekalipun akan diterima. Lets welcome. Kamu mendapat kepecayaan langsung dari rakyat. Dan itulah kerhormatan.

Bagi sebagian wakil rakyat, panggilan Yang Terhormat akan sangat penting. Guna menjaga martabat dan marwah sebagai pejabat negara, katanya.

Pernah kolega BrE marah besar. Masalahnya mungkin tedengar sepele bagi rakyat. Tapi tidak bagi para wakilnya. Suatu hari dalam rapat dengar pendapat dengan lembaga antirasuah. Suasana gerah dan kaku. Gegara tak satu pun dari lima pimpinan lembaga antirasuah itu yang memanggil dengan sebutan "Yang Terhormat".

"Saya menunggu dari tadi, tidak pernah terucap 'Anggota Dewan yang Terhormat'. Pak Presiden saja kalau ketemu, dia katakan 'yang terhormat.' Pak Kapolri mengatakan 'yang mulia. Tapi tak satu pun dari saudara-saudari yang mengucapkan itu!."

Apakah BrE orang semacam itu?

BrE mengaku duduk di sana bukan untuk mencari label kehormatan. Tanpa label itu, toh ia sudah serta selalu dihormati oleh keluarga, kolega, dan karyawannya. Kehormatan menurutnya akan melekat pada integritas seseorang. Ketika orang berharap label itu, mungkin ia akan mendapatkannya. Tetapi ingat, di balik setiap kehormatan macam itu mengintip kebinasaan.

Ia maju kembali sebagai anggota dewan, akunya karena dorongan rakyat. 

"Sebelumnya, dengan lima perusahaan yang saya miliki, paling banter aku cuma dapat menghidupi 200 karyawan. Anggaplah mereka punya tiga anaknya, maka hanya kepada 1000 orang itu saja saya mampu berbuat," dalih BrE.

"Akan berbeda kalau kita berada di dalam, bagian dari sistem. Kita tentu akan bisa berbuat lebih besar dan untuk lebih banyak orang dengan memperbaiki sistem," kata BrE lagi bersamaan dengan standing ovation

BrE menyampaikan itu saat didaulat bicara pada temu alumni lima angkatan TK Bunga Bangsa Tuban. Taman kanak-kanak ini terletak di kampung Arab, hanya sekitar 400 meter dari pendopo kabupaten. Sekolah kami memang sangat strategis. Memandang depan akan nampak alun-alun kota yang luas dengan pohon beringin rindang di tengahnya. 

Di seberang jalannya berdiri bangunan klenteng tua dengan pantai boom yang indah. Menoleh ke kiri akan melihat keramaian. Bus-bus pariwisata berjajar parkir di depan masjid jami. Mereka menurunkan rombongan para peziarah wali songo yang berjejal menuju makam Sunan Bonang, samping belakang masjid. Karena itu banyak pejabat, camat, petinggi, kamituwo, hingga modin yang menitipkan anak-anak mereka di sini. 

BrE yang dulu pendiam, kali ini terlihat berbeda. Pandai bertutur kata. Lantang suaranya menegaskan  kesiapannya mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Ingin terus memperjuangkan nasib wong cilik seperti kebanyakan warga kampung kami yang hidup pas-pasan. Pas itu artinya gak kurang gak lebih. Kalau ternyata masih gak pas, ya harus dipas-paskan. Sebab negara kadang terlalu jauh untuk melihat kesulitanmu saat gajimu terkikis inflasi tinggi yang terus membayangi.

Beruntung sebagian besar alumni telah menjadi orang-orang sukses. Setidaknya itu terlihat dari busana yang mereka kenakan dan jenis tunggangan yang dibawa. Meski ada segelintir yang harus puas dengan hanya menjadi sekuriti gudang, seperti Ngadiran. Itulah kehidupan. Di kelas, dulu ia paling jago. Suka bikin onar. Ada saja yang dibuatnya menangis setiap hari, setiap kali ia ikut bergabung main.

Ada kawan lainnya yang memilih nganvas barang, sopir angkot, dan menjadi tukang. Tukang apa saja. Ada tukang batu seperi Suraji. Sudah 30 tahun menekuni pekerjaannya. Namun keinginannya untuk memperbaiki rumah warisan yang berdinding gedhek belum juga kesampaian. Ada pula tukang arloji, tukang kayu, hingga tukang gigi. 

"Dokter gigi Sudarso, masih inget kan?" candanya kepada saya di sela jamuan. 

Ia enggan disebut tukang gigi. Kios kecil di pasar atom miliknya sengaja tidak bertuliskan "tukang gigi" melainkan "Ahli Gigi".

Sekitar 44 tahun tak bertemu selepas wisuda TK, Darso terlihat manglingi. Lebih gemuk. Lebih berlemak, apalagi dengan tinggi cuma 155 cm. Kepalanya nyaris licin. Selicin landasan pacu Bandara Kennedy di timur Amerika saat diselimuti butiran salju. 

Tapi satu yang tak berubah darinya adalah senyumnya: masih lebar dan menghanyutkan. Ia  memang ramah kepada siapa saja. Selalu memamerkan senyum pepsodent-nya. Saat kebanyakan kami dulu bergigi keropos, hitam dan tanggal sana-sini karena doyan ngemut permen, dialah satu-satunya anak yang masih bergigi lengkap. Rapi dan putih lagi. 

Di depan kelas dulu, ia menyatakan cita-citanya ingin menjadi dokter gigi. 

"Aku juga tak tahu pasti. Entah, apa karena salah dalam memilih cita-cita atau salah ambil jurusan. Tak tahulah. Tapi tak apa. Setidaknya saya masih mampu di jalur kegigian, membantu mereka yang perlu gigi palsu. Sebuah kehormatan masih bisa berguna," kata Darso saat kutanya apa yang terjadi dengan cita-citanya dulu.

"Ada diskon besar loh. Buat alumni seperti kamu apa sih yang gak bisa. Kebetulan ini masih ada heat curing acrylic tersisa," ajaknya sungguh-sungguh. "Diskon 60 persen. Bisa diangsur!"

Kami tertawa lepas. Kali pertama dalam hidup saya bisa tertawa selepas ini. Tanpa ragu. Benar-benar lepas. Di depan tukang gigi, saya pikir tak perlu malu-malu bahwa ada dua gigi garaham saya yang copot.***

Air Hitam, 3 Pebruari 2021

#YangTerhormat #ReuniTK #WakilRakyat #Integritas



Sunday, January 31, 2021

Suara dari Talisayan: Gempa Itu...

Sebuah gempa terjadi di wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Jumat (29/1/2021) pukul 00.42 WIB. Meski terasa "lembut"-- dengan kekuatan hanya 4,1 skala richter dan berada di kedalaman 10 km -- bagi saya itu cukup mengagetkan.

Siang harinya, khotib menyinggung fenomena itu dalam kotbah jumatnya di Masjid At Taqarrub RT 20 Air Hitam Samarinda. Ia juga menunjukkan keterkejutannya. Ia melihatnya -- seraya menyitir beberapa peristiwa besar lain di Tanah Air yang menyisakan duka -- sebagai teguran cum ujian.

Lain halnya saya. Saya kaget karena itu adalah gempa pertama yang terjadi di Berau.  Sebenarnya, pada 21 Desember 2015 silam pukul 01.47 WIB, BMKG Pusat di Jakarta juga pernah mencatat adanya gempa di bagian utaranya, Tarakan. Magnitudonya bahkan lebih besar, 6,1 SR. Tetapi, lagi-lagi, karena berada jauh di kedalaman laut 10 km, maka masyarakat menganggapnya angin lalu saja.

Dua fenomena itu, terlebih yang terjadi terakhir di Berau, seketika mengingatkan saya pada kebijakan dan berbagai pernyataan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak (2008-2013 dan 2013-2018). Saya kembali teringat dengan tekadnya yang menggebu untuk membangun PLTN Talisayan. Daerah ini terletak di selatan laut, sekitar 5 jam dari Tanjung Redeb, ibukota Berau.

Dulu, saya menulis catatan kecil berjudul "Suara dari Talisayan". Catatan itu memang terprovokasi oleh ambisi Awang Faroek untuk membangun PLTN. Caranya, sesuai rekomendasi ahli BATAN, dengan membangun pusat listrik tenaga nuklir. Awalnya akan dicoba 50 MW. Begitu studi kelayakan selesai, maka akan langsung ground breaking tahun 2017 dengan funding dari luar (China).  

Tahun-tahun berikutnya akan dikembangkan lagi hingga 1000 MW yang pada akhirnya akan diharapkan bisa mengatasi byar pet listrik di seantero provinsi. Niatnya mulia. Awang Faroek yang kini anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Nasdem ingin segera menyudahi kesulitan menahun yang dialami rakyatnya. 

Sampai pada posisi itu, orang masih banyak mengamini. Akan tetapi argumen utama yang disodorokan bahwa Talisayan, Berau dan secara umum Kaltim aman dari gempa sehingga aman untuk jadi lokasi PLTN seketika memicu kontroversi baru. Pegiat ligkungan dan masyarakat sipil lainnya bersatu untuk menolak rencana tersebut.


Berikut catatan kecil saya waktu itu yang dimuat di TribunKaltim.co, Rabu (14/10/2015): 

Suara dari Talisayan

Judul itu saya adopsi dari sebuah buku nonfiksi "Voice from Chernobyl"  karya jurnalis kawakan asal Belarus, Svetlana Alexievich (67). Aslinya ditulis dalam bahasa Rusia: Tchernobylskaia, Molitva.

Terbit kali pertama tahun 1997, berkat perestroika. Namun baru diketahui dunia delapan tahun kemudian, setelah dialihbahasakan oleh Keith Gessen.

Membaca kembali buku itu saya segera teringat Talisayan, sebuah kampung di pesisir timur Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang telah dipilih sebagai tempat pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Gubernur Awang Faroek Ishak merasa haqul yakin PLTN akan aman di sana karena jauh dari jalur gempa.

Loh, kok seakan-akan ancaman itu datang hanya dari bencana alam. Kita mungkin lupa bahwa kecelakaan di Reaktor Chernobyl Unit 4 lebih karena faktor manusia. Bukan bencana alam. Dalam Seminar Nasional Keselamatan Nuklir 2009 di ITB Bandung, terungkap adanya pelanggaran prosedur kerja, keahlian operator yang  kurang memadai, dan rendahnya budaya  keselamatan di lingkungan kerja.

Awang Faroek juga mengklaim masyarakat setempat sudah setuju.

"Mulai kepala desa, warga, sampai Bupati (Berau)-nya datang memberikan persetujuan," ujarnya. "Tinggal Pak Jokowi, jika Presiden setuju maka kita langsung mulai."

Sesimpel itu?

"Suara dari Talisayan" dan "Voice from Chernobyl" memiliki kesamaan. Sama-sama bicara nuklir. Yang satu tentang rencana akan membangun energi nuklir agar menjadi solusi bagi ketersediaan listrik di Kaltim yang selama ini byar-pet.

Sedang buku Alexie bercerita mengenai kengerian dan derita yang dialami warga setempat akibat meledaknya reaktor Chernobyl, 26 April 1986.

Memang sudah banyak tulisan yang mengulas Chernobyl. Yang menarik, Alexie menggunakan genre baru dalam penulisan jurnalisme -- lazim disebut sebagai jurnalisme sastra -- untuk merangkai fakta demi fakta berikut suara-suara para korban ledakan nuklir itu. Kita layaknya sedang menikmati sebuah nobel: ada tokoh, konflik, plot, dialog, dan klimaks.

Simaklah bagaimana piawainya Alexie mengawali bukunya mengenai kengerian bencana nuklir yang disebut-sebut paling parah dalam sejarah itu. Begitu menyentuh. Ia gunakan teknik sudut pandang orang pertama untuk menguras apa yang dirasakan para korban.

Narasinya ia mulai dari kerisauan seorang istri dari pasangan muda yang bingung dan panik mendengar ledakan keras dari mes pekerja pada pukul 01.23. Ia belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia makin cemas suaminya belum juga kembali setelah beberapa jam.

Suaminya seorang anggota regu pemadam, yang dini hari itu langsung meluncur ke sumber ledakan di reaktor 4 Chernobyl.

Satu jam berlalu tanpa kabar. Dua, tiga jam menunggu seperti setahun, hingga akhirnya kabar itu baru ia terima pukul 07.45. Suaminya telah dilarikan dan diisolasi di rumah sakit!

Dalam terjemahan bebas kurang lebih begini:

"Saya tidak tahu harus bicara mengenai apa -- tentang kematian atau sekitar cinta? Atau apakah mereka sama? Mana yang harus saya bicarakan? Kami pengantin baru. Kami masih selalu berjalan dengan berpegangan tangan, bahkan jika sekedar ke toko. Lalu saya akan mengatakan kepadanya: Aku mencintaimu..."

Sayang sekali, saya belum sempat menginjakkan kembali kaki ke Talisayan untuk menggali suara warga. Info nuklir macam apa yang sebenarnya disampaikan kepada warga Talisayan hingga dengan mudah menyetujui pembangunan PLTN di kampung mereka? Apakah warga sudah mendapat informasi yang berimbang?

Boleh jadi pandangan warga akan berbeda saat mereka membaca buku Alexie itu. Atau saat mereka membaca "Hiroshima" karya John Hersey, yang pertama kali terbit di The New Yorker pada Agustus 1946.

Masyarakat Talisayan mungkin juga belum sempat menyaksikan pameran foto bertajuk '25 Tahun Setelah Chernobyl: 'Dampak Berkelanjutan Petaka Nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan' yang pernah digelar di ITB Bandung, empat tahun lalu.

Sebuah foto menampilkan gambar gadis, Ainagul. Berumur enam tahun namun memiliki tubuh anak usia tiga tahun. Caption foto menyebut pertumbuhannya terhenti akibat zat radioaktif Chernobyl. Kedua orang tuanya malu akan kondisi Ainagul, mereka mengeluarkannya dari sekolah.

Gambar lainnya, dua janin dengan kepala saling menempel dengan kerusakan pada bagian tengah tubuh. 'Di kawasan terkontaminasi ini, radiasi telah mengakibatkan mutasi genetis dan berbagai cacat lahir. Ketakutan terhadap penyakit-penyakit bawaan telah mengakibatkan banyaknya aborsi di wilayah ini.''

Sebagai perbandingan, berulangkali dan bertahun-tahun pemerintah pernah melakukan sosialisasi kepada warga Jepara ketika akan membangun PLTN di semenanjung Muria. Hasilnya nihil. Sampai detik ini sikap mereka tetap sama: menolak!

Karena itu patutlah kita acungi jempol kepada gubernur dan timnya yang telah mampu meyakinkan warganya. Tentu jika klaim itu benar.

Pro-kontra adalah kelaziman dalam demokrasi. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan informasi yang terbuka, dan sejujur-jujurnya.

Saya tak bermaksud mengurangi apresiasi terhadap para ilmuwan nuklir yang menjadikan nuklir sebagai pilihan utama untuk mengatasi kebutuhan pasokan listrik.  Tetapi, kecelakaan Chernobyl membuat kita patut bertanya kembali: sudahkah kita benar-benar siap?

Mungkin bukan hanya sekedar soal alih-teknologinya. Bukan cuma mengenai insyinyur-insinyur nuklir yang telah menimba ilmu di mancanegara. Melainkan juga sumberdaya manusia nuklir yang kompeten secara keseluruhan. Disiplinnya, standar dan budaya keselamatannya.

Adanya penolakan dan sikap skeptis sebagian masyarakat terhadap PLTN haruslah dilihat sebagai filter supaya kita benar-benar siap, dengan belajar dari pengalaman dan kegagalan negeri-negeri maju.

Ya, memang ini bikin ribet. Tak apa. Adolf Hitler dengan kemampuan orasinya yang luar biasa pun barangkali tidak akan pernah merasa ribet mewujudkan mimpinya sebagai penguasa dunia. kalau saja tidak direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan kritis sebagian warganya sendiri.

Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Dan aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah, katanya. []