Tuesday, June 9, 2020

Sulitnya Memahami Aturan, Baiknya Kutidur Aja


ATURAN dibuat dengan deskripsi yang kadang  menjauhkan dari akal sehat.

"Ah, kamu aja kali lagi gak sehat. Selalu saja salah dalam melihat sesuatu. Lakas benerin tuh kacamata," sanggah seorang kawan.

Boleh jadi akalku yang kurang sehat. Maka, tak mampu lagi memahami beberapa aturan canggih yang ada.

Entahlah!!!! Mungkin saja. Aku khawatir, silogisme macam itu, hanaya akan membuatku makin terpuruk dalam kekacauan berpikir.

Kadang memang aku merasakan otakku yang tuha ini mulai hang. Prosesor yang tertanam di dalam kepalaku keluaran generasi X. Itu pun di sepertiga periode awal. Diperlukan up grade yang terus menerus untuk bisa mengikuti perkembangan high-end. Orang sudah bicara dengan generasi Intel Core i9-9980 XE yang melaju cepat, eh aku masih berkutat di prosesor generasi II.

Bagi kalian orang hukum, aturan-aturan itu (yang nanti aku berikan contoh kasusnya di bawah) boleh jadi sudah familiar. Tidak bagiku. Aku termasuk kelompok kebanyakan di negeri ini. Awam. Pun bukan orang yang beruntung bisa duduk di kelas hukum.

Repotnya, hukum tidak memandang orang berdasar tingkat pemahamannya. Aku paham atau tidak, gak urus. Masa bodoh. Semua sama derajatnya di mata hukum. Equalty before the law. Barangkali ini yang dimaksud hukum sebagai panglima.

Baik, aku akan mulai dengan cerita pertama. Rizky Prasetya mengeluhkan aturan IndiHome yang dinilainya tidak masuk akal. Gara-garanya, pengguna internet diwajibkan bayar biaya sewa modem. Sepintas sepele banget persoalan ini. Begitu sewa dibayar, akan beres bukan?

Tetapi, bukan itu masalah pokoknya. Sekali lagi ini mengenai aturan yang dibuat. Yakni aturan yang membuat konsumen suka tidak suka -- mau tak mau -- harus menerima. Kecuali ia memutuskan tidak jadi menggunakan jasa provider tersebut.

"Kalau kita pasang IndiHome, kita bakal diberi modem sama router dari pihak Telkom. Keliatannya sih gratis, tapi sebenarnya kita nyewa modem dan router tersebut. Biaya sewa modem tersebut paling murah adalah 80 ribu rupiah per bulan dan biayanya jadi satu dengan biaya sewa. Katakanlah kita bayar 300 ribu rupiah per bulan, ya itu udah sama biaya sewa modem."

Ini serius, tulisnya di mojok.co, 8 Juni 2020.

Harga router tersebut menurutnya, nggak mahal. Empat kali bayar sewa aja udah dapet itu modem, Bosku. Dan kita harus bayar biaya sewa tersebut selama memakai jasa IndiHome.

"Kalau kamu pake jasa provider plat merah tersebut selama setahun, berarti kamu udah keluar 960 ribu rupiah hanya untuk sewa modem. Berlangganan selama bertahun-tahun? Ya itung sendiri."

Bedanya lanjut dia, mungkin adalah perangkat bawaan waktu pasang IndiHome itu isinya aplikasi-aplikasi dari IndiHome.

"Tapi kalau cuma itu, ya sama aja. Aplikasi kan tinggal diunduh apa dipasang. Di- setting sebentar ya kelar itu. Macam yang paham dunia gituan cuma orang-orang plat merah aja apa."

Bagaimana kalau pengguna sudah punya router sendiri? Bisa enggak pakai modem sendiri alias hanya minta jaringan IndiHome saja?

 Tidak bisa!!! IndiHome menegaskan, semuanya sudah jadi satu. Namanya bundling.

"Kalau pun kita memaksa untuk pakai modem sendiri, ujungnya tetap kena sewa. Saya nggak terima penjelasannya, kalau memang kita punya modem sendiri, terus biaya sewa buat apaan coba? Mbaknya tetep kekeh menjelaskan kalau peraturannya kita tetap bayar sewa."

Penjelasan mbaknya membuat kita tidak punya opsi lain untuk membebaskan diri dari biaya sewa. Nggak ada opsi buyout modem, nggak ada opsi pakai modem sendiri. Selama pakai jasa Indihome, ya bakal kena sewa.

Panjang lebar Rizki melanjutkan kedongkolannya itu.

Menurutnya, kita baru bisa bebas biaya sewa kalau nggak pakai Indihome, ya iyalah. Tapi ndladuk-nya lagi, perangkat yang kita sewa hingga habis uang nggak sedikit itu ujungnya kudu dibalikin.

"Kurang mangkelin apa coba? Modem harga 200-400 ribu dipaksa nyewa sampe abis jutaan, kalau kelar kudu balikin."

IndiHome, pikir dia, mestinya kudu ngasih opsi beli modem ke mereka, selain ngasih opsi sewa. Setidaknya itu bisa mengurangi beban biaya yang harus ditanggung pelanggan.

"Maksud saya, apa ya nggak cukup status mereka sebagai penguasa jaringan di Indonesia sampe kudu bebanin biaya sewa semahal itu.

***

Add caption
CERITA lain datang dari seorang kawan. Rumahnya kebobolan pada sore yang cerah, pekan lalu. Warga sekitar heboh dan cemas mengingat ini bukan kasus pencurian pertama di komplek ini. Dan tak pernah bisa tertangkap pelakunya.

Sore itu wajah pelaku terekam kamera CCTV warga. Mereka berempat dengan dua sepeda motor. Tak cuma wajah. Plat nomor kendaraan dan jenis motornya pun jelas. Setelah nomor itu di-tracking dengan data base pembayar pajak kendaraan bermotor, muncullah nama dan alamat.

Korban bersama pengurus warga kemudian melaporkan kejadian itu kepada kantor pihak berwenang. Respon mereka cepat.  Malam itu juga dilakukan olah TKP.

Semua bukti rekaman CCTV diserahkan. Ibarat kata, tinggal ciduk saja.

Sehari berlalu. Dua tiga hari masih tanpa kabar penangkapan. Bahkan, lima hari kemudian juga disampaikan kepada petugas rekaman CCTV terbaru hasil tracing warga. Guna memperkuat. Pelaku dengan jumlah, topi dan bodi yang mirip dengan pelaku sebelumnya, kembali beraksi. Kali ini menggasak sepeda lipat di rumah komplek tetangga.

Seminggu kemudian, akhirnya ada kabar. Petugas mengaku tidak bisa melakukan upaya paksa terduga pelaku tanpa melalui prosedur penyidikan yang benar. Artinya, bukti-bukti rekaman CCTV itu tidak serta merta bisa dijadikan alat untuk menciduk dan menginterogasi terduga pelaku.

Apa maksudnya?

Usut punya usut, kawan saya bercerita, terlebih dulu ia harus menyertakan bukti kepemilikan barang yang hilang. Misalnya, kwitansi pembelian. Kalau tak ada, cukuplah kotak barangnya. Apesnya, laptop yang digondol pencuri itu adalah barang lama. Ia tak tahu lagi harus mencari di mana. Seisi rumah sudah diubek-ubek masih gak ketemu.

"Tak ada (kwitansi mauoun kotak). Tercecer entah di mana. Saya rela saja kalau pun barang itu gak kembali. Yang penting, pelakunya kali ini bisa dibekuk. Setidaknya ada efek jera, agar kapok masuk ke rumah-rumah warga," katanya.

Harapan korban dan juga warga perumahan di awal kejadian, bahwa pelaku kali ini akan lebih gampang dicari dan ditangkap, seketika sirna. Rasa cemas kawanan pencuri akan beraksi lagi masih terus membayangi. Sumpah serapah terhadap pelaku menggema.

Suka tidak suka, kami harus paham dengan kesulitan yang dialami petugas. Meski itu membuat kami makin tak paham.

***

INGATANKU melayang pada kisah Sarimin. Kakek berusia 68 tahun itu pernah ditahan di Lapas Kelas IIA Pematangsiantar selama dua bulan empat hari karena memungut getah karet seberat 1,9 kg seharga Rp 17.000. Getah itu milik perusahaan perkebunan..

Hasil penjualan getah itu ia gunakan untuk membeli rokok. Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara dua bulan empat hari -- hingga membuatnya langsung menghirup udara bebas -- dengan UU No 39/2014 tentang perkebunan. Sumiati, istri Samirin, langsung menangis begitu mendengar vonis itu. Nenek 12 cucu itu menyeka air matanya dengan kerudung yang ia kenakan.

Kisah itu mestinya hanya terjadi di dunia sinetron. Saat seperti ini, satu-satunya pemahaman yang lebih mudah untuk kupahami adalah kebenaran saran seorang kawan mengenai nikmatnya tidur.

"Buat saja tidur, nanti kamu akan paham dengan sendirinya," sarannya.

Baikkah. Aku akan tidur. Setidaknya itu bisa membuatku berhenti berpikir. 🥱🥱🥱

Air Hitam, 9 Juni 2020

Sumber: 
Gambar 1: https://mojok.co/rzp/ulasan/pojokan/kita-kudu-bayar-biaya-sewa-modem-indihome-dan-itu-nggak-masuk-akal/
Gambar 2: WhatsApp Group
Gambar 3:  https://twitter.com/GiseliSamarinda/status/1269548940082307072?s=20