Thursday, October 10, 2019

Hai Wakilku, Belajarlah Mendengar


SEORANG POLITIKUS yang baru dilantik menjadi anggota sebuah lembaga perwakilan rakyat duduk santai bersama istrinya. "Sayang, kamu harus menyampaikan ucapan selamat kepadaku, karena aku kini telah resmi menjadi anggota legislatif."

"Kamu sekarang tidak berbohong lagi kan?" Respon sang istri. Ia hafal betul tabiat sang suami selama ini.

"Hehehe...Aku kan sekarang sudah dilantik, jadi tak perlu membohongi orang lagi, sayang," katanya dengan senyum melebar, dagunya terangkat, seakan telah memenangkan sesuatu.

Satire itu beredar luas. Dari mulut ke mulut. Entah siapa yang memulai. Mungkin sekedar omong klobot di warung jenggo. Pun sambil nonton breaking news soal revisi UU KPK. Tapi, narasi itu punya konteks yang valid mengenai persepsi orang terhadap politikus di Senayan.

Seperti tadi malam, ya tadi malam, Rabu (9/10/2019), dua jam mata saya hampir tak berkedip dari layar televisi menyimak perdebatan di Mata Najwa. Masih soal revisi UU KPK. Kali ini bertajuk "Ragu-ragu Perppu KPK".


Tiga orang anggota DPR RI sengaja didudukkan di kanan Nana -- begitu tuan rumah Mata Najwa, Najwa Quraish Shihab, biasa disapa. Mereka adalah Johnny G Plate dari Nasdem, Arteria Dahlan dari PDI Perjuangan, dan Supratman Andi Agtas (Gerindra). 


Di sebelah kirinya juga duduk tiga orang. Hanya saja berbeda kapasitas. Ada Guru Besar UI Emil Salim, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari. Dua akademisi ini diundang Mata Najwa karena sebelumnya, Kamis (26/9/2019), bersama sejumlah tokoh lainnya, dimintai pendapat oleh Presiden Jokowi untuk cari solusi atas polemik revisi tersebut. Satunya lagi adalah Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan.

Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Kalau pun tahu sedikit lebih karena pemberitaan selama ini. Tetapi, tempat mereka duduk, entah kebetulan atau tidak, memang menunjukkan pro dan kontra terhadap revisi UU KPK, yang lalu berlanjut pada sikap mendorong dan tidak mendorong perlunya presiden mengeluarkan Perppu. 

Sehingga tampak sekali bahwa tiga orang yang duduk di sebelah kanan Nana seperti menggambarkan para anggota dewan yang pro revisi. Dan karena itu mereka selalu mengingatkan presiden untuk tidak mengeluarkan Perppu UU KPK. Saya sebut para anggota dewan karena kali ini kenyataannya seluruh fraksi sangat kompak. Malah partai yang diidentikan dalam koalisi partai pendukung pemerintah pun justru tampak garang dan bernafsu untuk melemahkan KPK.


Saya rakyat biasa. Seperti kebanyakan orang. Awam hukum. Tetapi, bukan berarti saya tidak tertarik pada KPK. Dan saya menangkap kesan revisi yang mereka lakukan itu bukannya untuk memperkuat, melainkan justru melemahkan KPK.


Kesan itu saya tangkap pada media mainstream yang ramai memberitakan kontroversi revisi UU No 30 Tahun 2002. Saya terus mengikuti isu itu, termasuk talkshow di televisi yang menghadirkan sejumlah pakar dan orang-orang yang berkompeten. Sedikit banyak akhirnya saya jadi tahu apa saja draft pasal yang dinilai melemahkan.


Mulai proses pembahasan yang ngebut lalu mengesahkannya di last minute, tanda tangan penolakan oleh ribuan dosen (termasuk guru besar) lintas universitas, hingga gelombang unjukrasa mahasiswa di depan gedung Senayan dan berbagai kota besar terhadap revisi itu.  Tentu saja termasuk  talkshow  tadi malam.


Bukan saja menjadi tahu materi kontroversi, saya juga bisa melihat bagaimana cara wakil rakyat kita itu bersikap terhadap masalah itu. Arteria Dahlan misalnya, agak menyita perhatian saya. Muda (44), energik, dan berpendidikan. Berwawasan luas. Selain menyelesaikan S1 dan S2 Fakultas Hukum UI, ia juga menamatkan S1 Teknik Elektro Universitas Trisakti.


Tetapi, bukan soal itu yang menyita perhatian saya. Melainkan cara dia berdebat dan mendebat Emil Salim, Feri Amsari, dan Djayadi Hanan. Saya cuma bisa mengelus dada. Usai nonton acara itu, saya kemudian mencoba memahami keadaan. 


Menjadi Wakil Rakyat memang tak mudah. Sehingga mungkin ada yang merasa telah mendapatkan kehormatan yang luar biasa saat berhasil memenangkan diri sebagai wakil rakyat di dapilnya. Duduk di kursi kehormatan itu. Namun lebih tak mudah lagi menjadi rendah hati. 


Saat awal reformasi, saya pernah berharap memiliki sosok wakil rakyat yang benar-benar terhormat. Ia bersahaja. Kapabel. Tak mudah ikut arus. Dalam bahasa agama kita menyebutnya sidik, amanah, fathanah, dan tablik. 


Hingga kini pun saya masih berharap. Pintar bagus. Namun jika merasa paling pintar, paling jago dan merasa paling benar? Orang tua bahari berkata, kalau pun kamu pintar, tak usahlah kamu perlihatkan sama orang. Kalau pun kamu ahli tahajud, tak perlu kamu tunjukkan kepada orang lain. Cukup orang paham dari perbuatan dan lakumu.

Pandai berdebat, bersilat lidah, it's ok. Itulah memang modal seorang wakil rakyat. Tetapi, alangkah baiknya kalau juga mau mendengar. Mendengar suara hati. Mendengar suara rakyat. Ya, belajarlah mendengar, wakilku. Itu saja!



ACHMAD BINTORO


Credit photo:
Instagram/NajwaShihab


Monday, October 7, 2019

Beralih Profesi di Ibu Kota Negara


MUNGKIN SAYA perlu beralih profesi. Bertangan dingin seperti taipan Eka Tipta Widjaja yang mengelola Hotel Grand Hyatt di MH Thamrin Jakarta lewat Sinar Mas Group miliknya. Atau sehangat jabat tangan Sukamdani Sahid Gitosardjono, yang hijrah dari seorang pamong praja kecamatan di Sukoharjo menjadi pendiri Hotel Grand Sahid di Jl Sudirman Jakarta dan 13 hotel lainnya di Indonesia.

Ya, menjadi pengusaha hotel. Bukan hotel melati. Bukan pula hotel kebanyakan. Tapi, hotel besar.

Tentu tidak harus semegah dan semewah hotel-hotel luxury di Dubai, Hongkong atau Amerika seperti The Venetian Resort di Las Vegas Strip, Nevada -- tempat saya pernah enam hari menginap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah tenggara menyusuri highway sepanjang 500 km menuju Arizona. Tak pula harus segede First World Hotel di Dataran Tinggi Genting, Malaysia dengan 7.351 kamarnya. Cukuplah kalau itu menjadi salah satu yang temegah dan terbesar di Indonesia, syukur bisa se-Asia, lengkap dengan fasilitas meeting incentive converence exhibition berkelas dunia.

Mimpi kamu! Tegur seorang kawan dengan ketawa saat saya sampaikan hal ini. Tiap hari ia melihat saya masih harus memancal motor butut antar anak ke SD Negeri. Jadi, aneh saja ketika tiba-tiba mendengar lompatan rencana saya itu. Dia tidak keliru. Kali ini saya memang bermimpi.

Ceritanya begini. Saya melihat bagaimana kerepotan yang dialami penyelenggara setiap kali harus menggelar event besar di Balikpapan. Sebenarnya tak besar-besar amat. Hanya sebuah talkshow  Kesiapan Kaltim sebagai Ibu Kota Negara. Peserta sebagian besar dari Jakarta. Esoknya berkunjung ke calon ibu kota negara baru di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Sekembali dari sana, berlanjut Dialog Nasional Membahas Rancang Bangun Ibu Kota Negara, Rabu (2/9/2019).

Seperti biasa, acara ini diinsiasi Bappenas RI. Seorang wartawan senior nyeletuk, kalau ada menteri paling disenangi Presiden Jokowi saat ini, guna membahas rencana pemindahan ibu kota negara, salah satunya adalah Bambang Brodjonegoro. Ia Menteri PPN/Kepala Bappenas RI yang smart. Guru besar yang pernah studi di University of Illinois AS ini sebelumnya menjabat Menteri Keuangan (2014-2016). Dialah sang konduktor pemindahan ini, yang secara intensif kajiannya sudah dimulai sejak dua tahun lalu.


Bambang memboyong sejumlah koleganya ke Balikpapan. Kepala BPN/Menteri Agraria Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, hingga pihak Kementerian LH. Sudah tentu hadir tuan rumah Gubernur Kaltim Isran Noor, dan Bupati PPU Abdul Gafur Mas'ud. Walikota Balikpapan Rizal Effendi turut hadir. Meski mengeluh tidak pernah dilibatkan membahas pemindahan ibu kota negara ini, Rizal menyatakan siap menjadikan kotanya sebagai penyangga.

Saya tak melihat Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah hadir di ballroom Novotel. Kemana dia?
Bappenas kabarnya sudah melayangkan undangan. Rupanya Edi tidak bisa datang. Ia sudah memiliki jadwal untuk membuka MTQ di Kecamatan Tabang,  dan kemudian mewakilkannya kepada Kepala Bappeda Kukar.

Dialog kali ini melibatkan beberapa kementerian dan pemda. Ratusan tamu dari ibu kota hadir. Bisa dimengerti kalau hotel-hotel berbintang di Balikpapan umumnya kebanjiran pengunjung. Novotel dan Grand Senyiur misalnya fully booked sejak Senin. Saya beruntung masih dapat kamar bagus di Blue Sky. Ini semata karena kebaikan seorang kawan di gubernuran.

Saya sehotel bersama Sayid Alwy Alaydrus. Ia sesepuh jurnalis Kaltim, pendiri SKM Mimbar Masyarakat Samarinda -- tempat Dahlan Iskan pertama kali melabuhkan diri menjadi wartawan. Selebihnya merupakan tamu dari Jakarta. Tak sedikit yang terpaksa berpencar di hotel-hotel sekitarnya. Hanya beberapa jam sebelumnya, di hotel ini juga, Gubernur Isran dan Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK menyambut rombongan para menteri negara tetangga sebelah, Sabah, yang dipimpin Ketua Menteri Sabah Yang Amat Berhormat Datuk Seri Panglima Haji Mohammad Shefie Bin Haji Apdal.

Bisa dibayangkan bagaimana akan lebih repotnya mereka saat ibu kota negara sudah harus dipindah ke Kaltim. Presiden menargetkan tahun depan pembangunannya bakal dimulai, dan paling lambat tahun 2024 sudah harus pindah. Itu artinya, Istana Presiden berikut gedung-gedung lembaga tinggi negara dan kementerian yang dibangun di ibu kota negara baru, termasuk gedung DPR/MPR/DPD RI sudah harus diisi.

Di Samboja atau di Sepaku? Sejauh ini pemerintah belum mengumumkan pilihan titik koordinatnya. Isran pun mengunci rapat saat beberapa kali ditanya wartawan asing yang sengaja mewawancarai di ruang kerjanya.

"I will not inform you about that for the real coordinate. That is my agreement with my president," tegas Isran ketika dibujuk Raheela Mahumed, wartawan Al Jazeera. Ia sengaja terbang dari Doha, Qatar untuk melihat kondisi calon ibu kota negara.

Pada konferensi pers beberapa waktu lalu, Jokowi hanya bilang pindah ke Kaltim, calonnya berada di dua kabupaten, Kukar dan PPU.

Tetapi saya akhirnya menjadi mafhum, ketika panitia mengarahkan kunjungan lapangan hanya pada satu titik yakni di Sepaku. Tidak berlanjut ke Samboja di Kukar. Agaknya, pilihan sudah ditetapkan, meski belum diumumkan resmi. Puluhan longboat disiapkan di Pelabuhan Semayang Balikpapan untuk mengangkut rombongan yang ingin melihat langsung kondisi titik calon ibu kota negara itu ke arah barat laut.

Mungkin ini sinyal bahwa titik pembangunan Istana Presiden berikut kementerian, lembaga-lembaga negara akan berada di Sepaku. Boleh jadi.

Yang pasti, saat perpindahan itu terjadi, akan ada sekitar 800.000 ASN (termasuk personil TNI/Polri) yang harus ikut boyongan. Ditambah dengan keluarganya, setidaknya ada 1,5 juta jiwa. Balikpapan  akan menjadi daerah penyangga utama. Keluar masuk ibu kota negara akan melalui kota ini karena di sini terletak bandara internasional.

Itulah kemudian kenapa saya ingin menjadi pengusaha hotel. Pasar jelas. Peluang terbuka. Akan ada banyak kementerian dan lembaga tinggi negara di ibu kota negara.

Istana Presiden dan kantor-kantor mereka boleh saja di Sepaku, di IKN baru. Tetapi, Bagaimana pun mereka tetap akan perlu hotel-hotel berkelas untuk mewadahi seabrek kegiatan seperti seminar, rapat koordinasi, eksibisi, focus group discussion, sosialisasi, bimtek, dan semacamnya. Kadang pula harus menggelar even nasional, bahkan internasional.

Jadi, terlebih dulu saya akan mencari lahan strategis di Balikpapan. Lalu saya bangun hotel besar dan mewah. Sekelas Four Season, Borobudur, Mulia atau Ritz Cartlon bolehlah. Namun saya ingin lebih besar dari hotel-hotel itu. Ada penthouse di rooftop dan president suite-nya tentu, yang bisa menjadi tempat rehat nyaman bagi orang-orang kaya baru, atau bagi pemimpin negeri lain yang datang mempererat hubungan bilateral, multilateral.

Saya akan hire orang-orang profesional di bidangnya. Ambil manajer andal dengan list pengalaman segudang. Para pelanggan hotel akan saya manjakan lidah mereka dengan masakan dari chef-chef terkenal. Kalau pun Jean Goerges enggan saya bajak dari hotelnya, The Mark Hotel New York -- 15 menit timur laut dari markas besar harian New York Time, saya pikir masih ada chef lain peraih bintang Michelin seperti Giuseppe Lanotti, yang mungkin mau saya ajak.

Jangan harap bisa menjadi excetive chef di hotel berbintang papan atas jika Anda bukan orang Swiss, Perancis, Italia, Belgia atau Jerman. Begitu ungkapan yang sering saya dengar. Tidak dipungkiri sejauh ini mostly executive pastry chef adalah orang bule. Masih ada sedikit racism sehingga orang Asia, apalagi Indonesia, umumnya sulit menembus jajaran itu. Perlu saya tegaskan bahwa itu tidak akan berlaku dalam kebijakan hotel saya. Sepanjang jago, dari mana pun Anda, akan kami terima dengan senang hati.

Bahkan, saya akan bujuk chef Budi Setiyono untuk pulang ke Tanah Air dan berkarir di hotel mewah yang saya bangun di Balikpapan. Ia tak kalah kesohor dengan mereka. Sudah melanglang benua dari satu hotel ke hotel mewah lainnya di Texas, Kanada hingga Karibia. Saat ini ia menjadi Executive Pastry Chef di Waldorf Astoria Hotel & Resort, salah satu hotel mewah di kawasan Palm Jumeirah, Dubai. Ini merupakan hotel papan atas di bawah jaringan kelompok Hilton.

Dengan menjadi pengusaha, saya akan memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Saya juga akan turut mempercepat pertumbuhan ekonomi Kaltim. Saat ini ekonomi Kaltim nyaris stagnan, hanya sekitar 2,7 persen. Paling rendah dibanding daerah lain di Indonesia.

Bambang Brodjonegoro mengatakan, pertumbuhan rendah itu terjadi karena Kaltim selama ini selalu menumpukan diri pada eksploitasi kekayaan sumberdaya alam. Mengekspor semua barang mentah itu ke luar. Tapi begitu ekonomi global limbung, harga anjlok, efeknya seketika menimpa Kaltim. Ia berharap provinsi ini bisa belajar dari pengalaman tersebut dan segera melakukan diversifikasi.

Hadirnya IKN sudah pasti akan membantu percepatan peningkatan ekonominya. Dalam kalkulasinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi Kaltim akan melonjak menjadi 8-9 persen. Itu akan terjadi selama masa konstruksi dan operasi. Akan ada uang bergulir sangat besar, Rp 466 triliun selama masa pembangunan dan pemindahan IKN. Sebuah angka yang tidak kecil yang tentu bakal memberikan damak ekonomi positif bagi berkembangnya sektor jasa.

Sebagian dana itu sudah akan mulai bergulir pada semester dua tahun 2020. Jokowi minta bergerak cepat, bisa rampung dalam lima tahun.

Sudah ada contohnya. Brazil misalnya, hanya perlu waktu lima tahun untuk memindahkan ibu kota negaranya dari Rio de Janeiro ke Brazilia. Hampir mirip bahkan kondisinya. Brazil memindahkannya dari kawasan pantai jauh ke dalam belantara Amazon. Indonesia memindahkannya dari Jakarta, ke Kalimantan. Sebuah pulau terbesar ketiga dunia yang selama ini diidentikkan sebagai paru-paru dunia, sehingga mendapat julukan Jamrud Khatulistiwa.

"Yang pasti akan ada kontraktor, sub kontraktor dan pekerjanya. Nah, hendaknya oppurtinity ini bisa dimanfaatkan dengan baik. Apakah Kaltim akan menjadi kontraktornya, sub kontraktor atau hanya pekerjanya?" tutur Bambang.

Itu semua, menurutnya, sangat tergantung bagaimana kesiapan Kaltim. Penyiapan itu harus dimulai dari sekarang. Jangan nanti mengeluh dan merasa Kaltim hanya menjadi penonton. Mene=geluhkan pekerjanya kebanyakan dari Jawa. Kok Jawa lagi yang datang padahal mayoritas penduduk Kaltim suku Jawa.

"Janga ada kesan itu. Ini harus dinetralkan. Harus benar-benar disiapkan dan dipastikan bahwa tenaga kerja yang dilibatkan adalah mereka yang memiliki ketrampilan, pun pengusahanya," kata Menteri PPN.

Dengan peluang besar seperti itu, tidak ada salahnya kalau saya perlu pindah jalur. Pindah profesi jadi pengusaha. Biarlah kawan-kawan lain yang berebut kue jasa untuk membangun infrastruktur di lokasi IKN. Bagi saya, cukuplah kalau bisa bergelut di bidang ini, menangkap peluang yang ada, tanam duit di bisnis perhotelan ini.

"Hei, bangun! Bangun! Sudah selesai nih."

Teriakan seseorang seketika membangunkan saya dari mimpi. Astaga, rupanya saya tertidur selama dialog. Ballroom tinggal beberapa orang. Narasumber sudah bubar. Para peserta pun sudah kembali ke hotel masing-masing.

Berjalan perlahan, saya meninggalkan Novotel sambil mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah saya mimpikan tadi. Alamak ternyata... Saya tersenyum pahit mengingatnya. Balik menuju Blue Sky, saya pun melanjutkan mimpi.

ACHMAD BINTORO

Credit photos
1. Bapenas RU
2. Fachmi Rachman/TribunKaltim.co

Thursday, September 12, 2019

Assalamualaikum Pak Erte




KUNCINYA SEDERHANA saja. Saya tidak pernah membawa masalah pekerjaan ke rumah. Sehingga saya tidak terbebani oleh hal-hal yang tidak perlu. Saya menjadi bisa tidur lebih cepat  dan pulas,  lalu nanti bangun lagi  jam tiga untuk tahajud.

Saya masih mengingat pesan di atas. Pesan itu disampaikan Pak Haji Santo – begitu Susanto Asmoro Dewo biasa disapa – saat menjawab pertanyaan saya tentang tips kebugarannya, Minggu (7/7/2019). Pagi itu saya duduk bersebelahan dengannya. Bersila, sambil kami menyantap sarapan yang tersaji.

Dua bulan kemudian, Rabu (11/9/2019) malam, saya kembali melihatnya.  Kali ini ia jadi pusat perhatian. Berpuluh pasang mata yang merapat di Warung Ayam Geprek Pojokan, menatapnya. Dari ujung rambut (gak terlihat karena bersongkok) hingga mata kaki.

Warung ini sejatinya sebuah bangunan berlantai dua, berupa rumah yang cukup besar dan megah. Oleh pemiliknya, Pak Agung Sukaca, rumah itu dijadikan sekaligus tempat usaha. Bermacam menu makanan dan minuman tersedia. Menu andalannya adalah Ayam Geprek. Banyak anak sekolah melangganinya, mampir terutama saat rehat siang.  

Bisa dibayangkan penuh sesaknya. Hanya sekitar 100 meter berdiri sekolah favorit, SDIT-SMPIT Cordova. Di depan sekolah itu ada SMPN1 dan SMAN 1 Samarinda. Mungkin karena lokasinya di pojokan jalan blok perumahan, ia lalu menamakan warungnya dengan sebutan “Warung Pojokan”.

“Inilah calon Ketua RT 20,” kata Haji Musadi membuka pertemuan dengan memperkenalkan Pak Santo kepada kami. Ia mengaku didaulat menjadi ketua tim sukses.

Tentu saja tidak sulit bagi Pak Musadi untuk mempromosikan calonnya. Ia sudah terbiasa menggalang massa dalam jumlah yang lebih besar, dari pileg hingga pilkada. Lagi pula, calon yang diusungnya kali ini memang sudah dikenal oleh hampir seluruh warga RT 20.

Namun karena pertemuan ini dimaksudkan untuk meminta dukungan warga, ia merasa perlu untuk tetap memperkenalkan kiprah Pak Santo selama ini. Termasuk visi misinya. Panjang lebar ia membeber calonnya.

Pak Santo tergolong penghuni pertama Perumahan Kehutanan.

“Awalnya, banyak yang tak mau tinggal di sini.  Jalan akses masih setapak. Sulit. Saya masuk tahun 1986, hanya tiga rumah, dan langsung didaulat jadi Ketua RT. Padahal, warganya cuma tiga orang. Masak jadi RT kok ngurusin hanya tiga orang warga,” tutur Santo geli mengenang masa itu.

Sekarang RT yang dihuninya sudah jauh lebih ramai.  Akses jalan mulus dua jalur tersedia dari selatan, di Flyover Kadrie Oening. Begitu pun dari utara, bisa dijangkau melalui ringroad Jl HM Ardans. Di dalamnya, berjubel sekolah-sekolah favorit-unggulan. PAUD, TK, SD, SMP, SMA hingga Akademi ada. Sebuah SMK Kesehatan nongol di seberang mulut perumahan, berjejer dengan deret ruko, hotel, dan pusat grosir asal Korea. Jumlah warga sudah bertambah. Meliputi dua perumahan, Kehutanan dan Wartawan.  Totalnya 887 jiwa (237 KK).

“Pak Haji Santo baru berumur 27 tahun,” kelakar Pak Musadi.

Yang ia maksud dan ingin ia tunjukkan bahwa dalam usianya yang sudah kepala tujuh dan buntut dua tahun, Pak Santo masih terlihat fresh. Bugar.  Langkah kakinya masih mantap. Ia menyalami kami yang duduk bersila, satu per satu. Tanpa kesulitan ia lipatkan lutut untuk peluk cium pipi saya, dan kemudian berdiri lagi menghampiri yang lain.

Bicaranya runtut dan tegas. Intonasi jelas. Menandakan tak ada saraf wicara dan motorik yang pernah terganggu.

Pak Santo mengaku ingin membuat pemukiman ini menjadi lebih baik. Secara lahiriah maupun batiniah, dan terjalinya silaturahmi yang guyub antarwarga. Meski sebagai pendatang, termasuk hampir semua di antara kami, ia merasakan kecintaan yang sama dengan yang warga setempat terhadap tanah yang kini dipijaknya.

“Karena itu akan kubangun, kubela, dan kujaga selalu,” serunya bertekad.

Panjang lebar ia membeber jargonnya itu. Anggota timses lainnya, seperti Pak Haji Rusdianto dan Pak Haji Yusuf Mulyana, ikut memperkuatnya.  Warga lainnya menyampaikan secuil harapannya. Intinya, bagaimana menjadikan RT 20 sebuah kawasan yang green, friendly, pro-tourism, dan smart. Menjadi sebuah RT yang dikenal luas, mempermudah pelayanan warganya, membuat warganya merasa betah, ramah, aman, dan nyaman.

Kampanye tidak terbatas dengan menggelar pertemuan langsung. Seruan, ajakan dan imbauan gencar pula disuarakan melalui percakapan di Whatsapp Group.

“Mari sukseskan pemilihan Ketua RT 29 TGL 15 September 2019, dengan memilih sesepuh kita H Susanto Asmoro Dewo,” tulis Pak Rusdi esoknya di percakapan WAG Perum PWI. “Bersama H. Susanto Asmoro Dewo, menuju Smart RT 20,” tambahnya.

Saya baru sekali dan tadi malam itu pertama mengikuti proses Pemilihan Ketua RT.  Tak menduga bahwa prosesnya akan berjalan seperti pilkada. Ada yang bertindak sebagai panitia pemilih layaknya KPU. Mereka ini yang beriniasi dengan memasang pengumuman , termasuk melakukan verifikasi syarat calon dan warga yang punya hak pilih.

Ada timses. Mereka yang mengetuk pintu dari satu rumah ke rumah lain.  Mereka pula yang membuat dan membagikan leaflet calon yang diusung. Layaknya pilkada atau pileg, leaflet itu tertulis jargon, visi, dengan kalimat “Mohon Doa Dan Dukungannya”. Tentu saja lengkap dengan foto terbaik sang calon.

Pendek kata, seru!

Pak Santo kenyang di dunia pemerintahan. Pengalamannya segudang. Berkarir lama di Dinas Kehutanan, Provinsi dan Pemkab Kutai Timur, menjadikannya sosok yang dikenal luas. Pensiunan Pejabat Eselon II (terakhir sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kutim ) ini, bahkan pernah bertarung di Pilkada Kutai Timur periode 2011-2016.

Saat itu ia belum beruntung.  Dalam pencoblosan suara pada 27 November 2010, ia bersama wakilnya, Abia Kamba dikalahkan Isran Noor-Ardiansyah Sulaiman. Sekarang, Isran Noor bersama pasangannya, Hadi Mulyadi memimpin Provinsi Kaltim untuk periode 2018-2023.

Bagaimana kali ini?

Seluruh anggota timses meyakini Pak Santo akan terpilih.  Menurut mereka, Pak Santolah satu-satunya tokoh erte yang memiliki waktu, dan kemauan untuk mengabdi. Dia juga punya keinginan dan kapasitas untuk menjadikannya sebagai Smart RT.

Impian sebagai Smart RT, menjadi harapan yang mengemuka. Ini bisa dimengerti. Sebagian dari kami -- bahkan mungkin sebagian besar penghuni RT 20 -- adalah Generasi X. Generasi ini meski lahir sebelum era digital, tetapi mereka mengalami langsung transformasi dari era manual. Sehingga mau tidak mau harus melek teknologi, melalui anak-anak mereka yang lebih adaptif. Bukankah sekarang ini hampr tak ada lagi di antara kita yang tidak terhubung lewat smartphone, terhubung ke jagad yang lebih luas?

Maka, cara kita berinteraksi pun akan mengalami pergeseran. Tak bisa kita paksakan harus seklasik dulu. Era kini menuntut serba cepat dan memudahkan. Apalagi bagi yang bermukim di perumahan kota atau kluster.  Itu hanya mungkin jika semuanya sudah berbasis digital. Banyak aplikasi open source yang bisa dimanfaatkan. Mulai DPT, data kependudukan, program kerja, hingga soal yasinan.

Pemilihan akan digelar pada hari Minggu (15/9/2019).  Lurah Air Hitam, Pak Suyanto, kabarnya akan turun langsung mengawasi prosesi pemilihan ini.  

Entah kenapa tidak banyak yang berminat menjadi Ketua RT.  Sejak rampungnya pengabdian Pak Soleh beberapa waktu lalu,  praktis kami tanpa pemimpin. Warga terpaksa langsung ke Kantor Desa Air Hitam untuk meminta surat pengantar terkait urusan mereka. Sejauh ini hanya dua orang yang menyatakan minatnya. Selain Pak Santo, satunya lagi adalah Pak Sutapa.

Mungkin yang lain tak punya banyak waktu. Dan kita beruntung masih ada warga yang peduli, ikhlas, dan bersedia mengabdikan diri. Meskipun cuma dua.

“Ini bentuk pengabdian di sisa umur saya,” aku Pak Santo.

Sejenak saya tercenung untuk memahami kata-kata itu. Kalau kalimat semacam ini dikemukakan oleh calon kepala daerah atau legislatif, saya mungkin masih akan mendebatkannya.  Tetapi,kali ini,  kalimat ini diucapkan langsung oleh calon Ketua RT. Bukan oleh calon Bupati!      

Jadi, bentuk pengabdian apa lagi yang lebih berharga dan tulus, kalau bukan untuk mengabdi kepada warga sebagai erte. Mereka bersedia untuk mencurahkan pikiran, tenaga, bahkan finansial barangkali untukmemperlancar keperluan warga, dan membenahi lingkungan menjadi lebih baik. 

Mereka tidak digaji. Hanya sebuah panggilan kesayangan dan kehormatan yang mereka dapat dari warganya: “Assalamualaikum Pak Erte. Terimakasih Pak Erte.”(achmad bintoro}

Tuesday, August 13, 2019

Sang Wakil Rakyat


WAJAH GANTENG dan bodi atletis tidak selalu jadi pilihan. Kalau pun masih memberi pengaruh, yakinlah itu bukan variabel utama.

Sani Bin Husain satu contoh. Wajahnya biasa-biasa saja. Hidung tidak tinggi. Kulit coklat tua, agak legam. Khas wajah ndeso, seperti saya. Pun sedikit tambun.

Tapi, banyak orang terpikat kepadanya. 

Padahal gambarnya tidak berhambur di daerah pemilihan, Samarinda Ulu. Para tetangga saja baru tahu ia nyaleg saat seorang kawan share posternya di WhatsApp Group.

"Saya malu," akunya.

Setelah dapat sedikit dorongan dari beberapa pendukung, barulah kemudian ia tergerak memasang poster. Itu pun jumlahnya sangat sedikit. Tak lebih dari 10 jari di tangan, dan relatif kecil. Hanya seukuran televisi 32 inch.

Dua gambar dipasang di tepi kiri jalan Anang Hasyim, menghadap perumahan. Barangkali orang akan melihat posternya saat keluar dari perumahan atau ketika putar balik mengantar anak ke sekolah. Satu menghadap keluar.

Malam itu Sani sedang menyiapkan sejumlah poster yang akan dipasangnya. Sendirian. Tanpa tim sukses.

"Maaf bapak2 ibu kalau dengar ribut suara," ujarnya kepada seorang tetangga yang melewati depan rumahnya.

Tangan kanannya mengayunkan palu pada paku di ujung poster di atas sebuah kayu reng. Saat itu pukul 22.40.




BANYAK ORANG  memanggilnya ustadz. Lengkapnya Ustadz Sani bin Husain. 

Ia memang seorang mubaligh muda. Pernah mengajar di SDIT Cordova Samarinda. Ia kini mengajar di beberapa perguruan tinggi.

Sani dikenal ramah dan baik sama tetangga. Berpapasan dengannya, ia akan menyapa. Tersenyum. Menganggukan kepala dari balik kaca helm yang menutupinya.

Ia juga setia kepada sepeda motornya. Kemana pun pergi di kota ini. Ke kampus, masjid, maupun acara tausiah. Saat berceramah, ia akan bersarung. Lengkap dengan kopiah, jubah putih dan sorban. Dengan motor itu pula sekedar membeli gula dan keperluan dapur lainnya. Saat begini, Ustadz Sani cukup berkaos oblong.

Murah senyum. Mudah bergaul. Sederhana. Apa yang diucapkan selalu memberi manfaat. Bahkan, dalam canda pun tak harat. Ditambah cakrawala keislaman yang kaffah itulah yang barangkali membuat banyak orang memilihnya.

Kebetulan saya pernah satu tim ronda dengannya di kampung.

Ia nyaris tak pernah absen. Kalau pun pernah telat 1 jam, misalnya karena sudah terlanjur janji berceramah, biasanya ia akan berulang-ulang meminta maaf kepada kami. Lalu menambah satu jam jaga hingga pukul 24.00.

Kami bilang tak perlulah sampai begitu. 

Tapi, ia keukeuh. Sedetik kemudian ia bungkus rapat kepalanya dengan kupluk. Melanjutkan jaga. Sendiri. Benar-benar sendiri. Seember jagung rebus panas yang ia bawa dari rumah sudah ludes kami santap. 

"Kebetulan tadi di L2 ada yang bawain jagung," kata Ustadz Sani.

Ia kerap membawakan jagung rebus ke pos ronda. L2 adalah daerah transmigran bedol desa di Kutai Kartanegara, sekitar 30 Km dari kota Samarinda.

Rumah saya berjarak hanya tiga blok dari Ustadz Sani.

Salah satu ceramah bakda subuh yang masih saya ingat adalah irisan. Islam itu menurut Ustad Sani, merupakan irisan dari tiga unsur. Yakni keindahan, kebenaran, dan kebaikan.

Indah saja tak cukup. Kebaikan juga tak cukup jika tanpa proses yang benar. Menyumbang masjid misalnya, itu baik. Tapi jika didapat dari hasil korupsi? 

Tak boleh kita membawa bendera Islam jika tidak mencerminkan ketiga unsur tersebut. Kurang satu saja tak boleh.

“Keindahan itu menghasilkan kelapangan. Kebenaran akan membuat kita bersabar. Kebaikan akan menjadikan kita mudah bersyukur. Muara dari ketiga irisan itu adalah bahagia,” katanya.

Jadi, jika ada orang Islam hingga kini masih merasa belum bahagia, berarti ada yang salah dengan tiga proses itu. Mungkin satu, dua, atau tiga unsur tadi yang dilewati. Saatnya me-review.




PROSES PENGHITUNGAN suara di TPS 20, 44, dan 54 RT 20 masih berjalan sore itu. 

Ustadz Sani sempat mengintip sekilas dari depan pintu. Ketiga TPS yang terletak berdampingan itu merupakan ruang kelas di SDIT Cordova. 

Ketua RT 20 Muhammad Soleh sengaja meminjamnya agar tidak perlu lagi mendirikan tenda jika itu dilakukan di ruang terbuka seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.

"Terimakasih untuk dukungannya," ucapnya dengan menyalami erat sejumlah tetangga yang masih meriung di luar menunggu hasil.

Kebanyakan orang menunggu hasil pilpres. Jokowi atau Prabowo.

Mereka tidak terlalu peduli dengan hasil perolehan suara caleg. Bahkan, sebenarnya banyak caleg tidak mereka kenal meski ada yang perolehan suaranya terus bertambah.

Seorang caleg DPR RI dapil Kaltim misalnya, sempat membuat penasaran sejumlah warga siapa dia ketika namannya sering disebut petugas dalam penghitungan suara. 

Nama itu, belakangan memang unggul. Ia termasuk satu dari delapan orang caleg yang mewakili Kaltim di Senayan.

Akan halnya Ustadz Sani – yang dikenal sebagai seorang ulama -- ternyata benar-benar unggul.

Rapat pleno rekapitulasi suara oleh KPU Samarinda, Selasa (7/5/2019), menunjukkan suaranya paling tinggi di dapil itu di lingkup PKS, sebanyak 2.104 suara.

Selisih dua digit saja dari Mursyid, caleg petahana separtai di daerah pemilihan yang sama. Mursyid sudah dua kali menjadi anggota DPRD dari Dapil 4. 

Penghitungan kursi suara caleg 2019 kali ini berbeda. Tidak seperti pemilu lima tahun lalu, Bilangan Pembagi Pemilih. (BPP). Melainkan menggunakan metode Sainte Lague. Dengan sistem baru ini, total suara tiap partai akan dihitung lebih dulu untuk menentukan berapa jumlah kursi yang didapat. 

Kita tahu, metode penghitungan ini sempat menjadi perdebatan utama dalam pembahasan RUU Pemilu oleh para wakil rakyat di dewan karena terkait dengan kursi mereka di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Saat itu, para wakil rakyat dihadapkan pada dua pilihan utama berdasar opsi yang disebutkan dalam naskah akademis. Yakni metode Kuota Hare dan metode Sainte Lague.

Kuota Hare, lazim diistilahkan dengan metode BPP, menitikberatkan pembagian kursi berdasarkan jumlah total suara sah (v atau vote) dibagi jumlah kursi (s atau seat) yang disediakan dalam suatu distrik. Menentukan dulu harga satu kursi di dapil dengan rumus v/s. 

Lalu, menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing parpol dalam satu dapil dengan cara jumlah perolehan suara partai di dapil dibagi dengan hasil hitung harga satu kursi. Misalnya, ada sembilan parpol di satu dapil memperebutkan enam kursi. Maka, dihitung dulu total suara di dapil tersebut, katakanlah 9.000 suara. Hasilnya, 9.000/6 = 1.500, itulah BPP-nya. 

Jika diketahui, partai yang mendapatkan suara melebihi BPP hanya dua parpol, yakni Partai C = 1.640 suara, dan Partai F = 1.590 suara. Tujuh partai lainnya tidak mencapai BPP. Sebut saja, Partai A dapat 1.320 suara, Partai B dapat 1.100 suara, Partai D meraih 1.010 suara, Partrai E dapat 815 suara, Partai G dapat 714 suara, partai H mendapat 612, dan Partai I meraih.499 suara..

Cara mengkonversi suara tersebut menjadi kursi di parlemen akan dilakukan melalui dua tahap. Pertama, yang mendapatkan kursi di dapil tersebut sudah pasti adalah dua partai yang perolehan suaranya di atas BPP, yakni Partai C dan Partai F. Artinya, masih ada empat kursi lain yang bisa diperebutkan.

Keempat kursi itu akan menjadi hak partai yang memperoleh suara tertinggi berikutnya, yaitu Partai A, Partai B, Partai D, dan Partai E. Partai H dan Partai I dengan sendirinya tidak mendapatkan jatah kursi.

Sedangkan Sainte Lague lebih menekankan bilangan pembagi dimulai dengan bilangan ganjil 1,3, 5 dan seterusnya. Kedua opsi ini disukai para partai kecil karena dianggap lebih menguntungka mereka, namun akhirnya mereka memilih Sainte Lague.

Metode Sainte Lagfue diadopsi dari nama pencetusnya, Andre Sainte. Ia seorang metematikawan asal Perancis. Di Amerika, metode serupa dikenalkan oleh Daniel Webster, negarawan cum senator. Maka, di sana lazim disebut metede Webster saat diterapkan kali pertama tahun 1842 untuk membagi kursi parlemen di kongres AS.

Di sejumlah negara di Eropa metode Sainte Lague sudah jamak dilakukan. Sejak dipakai di Perancis tahun 1910, beberapa negara seperti Swedia, Norwegia, Kosovo, Latvia, Herzegovina, Bosnia, dan Jerman juga memakainya. Bahkan, di belahan dunia bagian selatan, New Zeland,pun ikut memakainya.

Indonesia menggunakannya pada Pileg 2019 setelah DPR RI mengesahkan UU Pemilu No 7/2017. Ini merupakan perbaikan dari tiga undang-undang yang pernah berlaku, yakni UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, dan UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif.

Dalam UU No 7/2017, Pasal 414 ayat 1, itu ditegaskan partai politik harus memenuhi ambang batas parlemen  (parliamentary threshold) 4 persen dari total suara. Setelah lolos ambang batas, barulah metode Sainte Lague dipakai untuk mengkonversi suara menjadi jumlah kursi d DPR RI.

Bagaimana caranya? Pasal 415 ayat 2 mengaturnya. Setiap partai yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bialngan ganjil 3,5,7 dan seterusnya.

Begini simulasinya:

Apabila di suatu daerah pemilihan tersedia 6 kursi, dimana Partai A mendapat total 24.000 suara. Dikuti Partai B sebanyak 15.000 suara, Partai C mendapat 9.000 suara, dan Partai D meraih 5.000 suara.

Untuk menenukan kursi pertama, maka masing-masing partai akan dibagi angka 1. Hasilnya adalah Partai A 24.000/1 = 24.000, Partai B 15.000/1 = 15.000, Parati C 9.000/1 = 9000, dan Partai D 5000/1 = 5.000.

Terlihat bahwa yang mendapat kursi pertama adalah Partai A. Dan nama caleg di Partai A yang boleh menduduki kursi tersebut adalah yang mendapatkan suara individu paling tinggi di partai tersebut. Lalu, bagaimana menentukan kursi kedua?

Berhubung Partai A sudah mendapat kursi pada pola pembagian 1, maka untuk menentukan kursi kedua, Partai A pembagiannya angka 3. Partai A 24.000/3 = 8.000. Sedangkan Partai B, C, dan D dibagi angka 1. Jadi, Partai B 15.000/1 = 15.000, Partai C 9.000/1 - 9.000, dan Partai D 5.000/1 - 5.000. Sehingga, kursi kedua diraih oleh Partai B dengan perolehan suara minimal 15.000 suara.

Bagaimana menentukan kursi ketiga?

Mengacu pada pola pembagian itu, maka Partai A dan Partai B akan dibagi dengan angka 3. Partai A 24.000/3 = 8.000. Partai B 15.000/3 = 5.000. Sedang Partai C dan D dibagi angka 1, yakni Partai C 9.000/1 =.9.000, dan Partau D 5.000/1 = 5.000.

Maka, jelas yang mendapatkan kursi ketiga adalah Partai C, dengan perolehan 9.000 suara. Begitu pula dalam penentuan kursi keempat, kelima, dan keenam akan mengikuti pola pembagian ganjil berikutnya.

Sehingga meski memiliki dua caleg yang mendapat perolehan suara cukup besar, total suara PKS hanya mampu raih satu kursi saja di Dapil Samarinda Ulu itu. Dan kursi itu hanya dapat diberikan kepada suara tertinggi di partai tersebut.

Samarinda membagi dirinya dalam lima dapil, dengan total 45 kursi. Khusus Dapil 4 ada 7 kursi tersedia. 

Mereka yang berhak antara lain Celni Pita Sari (Nasdem) 3.541 suara, Sani Bin Husain (PKS), dan dr Sri Puji Asturi (Demokrat) 4.781 suara. 

Kursi lainnya diraih Damayanti (PKB), Muhammad Rudi (Gerindra), Sugiono (PDIP) 2.969 suara, Muhammad Novan  Syahronny Pasie (Golkar) 1.823 suara.

Mohon do'anya Bapak dan Ibu semua. Semoga saya istiqomah dalam kebenaran, dan diberikan Allah kekuatan untuk memperjuangankan kepentingan rakyat banyak. Aamiin ya Rabb,” tulis Sani usai penetapan rekapitulasi suara.

Menjadi Yang Terhormat mungkin mimpi banyak orang. Tapi, berapa banyak yang mampu terpilih? Berapa banyak yang sudah mencoba setiap lima tahun, dan setiap itu pula gagal?




BEBERAPA PEKAN sebelum pencoblosan. Datang orang terhormat ke rumah saya. Tokoh muda. 

Ia mantan aktivis kampus. Pernah lima tahun duduk di kursi kehormatan Karang Paci, DPRD Kaltim.

Sudarno namanya. Saya menyebutnya Kang Darno.

Wajahnya lebih mudah ditemui. Ada di spanduk. Di poster besar. Ada di banyak tempat.

Berkemeja putih ia tersenyum, menatap warga dari balik kacamatanya di ketinggian baliho Tepian Mahakam, pertigaan Jl Pangeran Antasari.

Kemarin ia terlihat meriung di angkringan di kawasan kampus di Jl M Yamin Samarinda. Esoknya sudah jagongan di teras rumah seorang warga di Jonggon, Kukar. Ditemani pisang rebus, singkong bakar, dan kopi hitam. Entah besok akan ada di mana lagi.

Pun sore itu, ia datang dengan sebungkus besar tas kresek hitam. Isinya kacang kulit. 

"Oleh-oleh dari kampung, kang," katanya.

Entah dari mana ia tahu kacang kulit yang digoreng pasir itu camilan favoritku. Terlebih kacang Tuban. 

Kacang itu bercap Blora, meski tanamnya di wilayah Tuban. Kang Darno berasal dari Jatirogo, Tuban. Tapi kalau pulang kampng ia jarang melewati kota.

Dari Surabaya, ia lebih suka memilih jalur Bojonegoro lalu lurus menuju desanya di Jatirogo. Jatirogo terletak di barat-selatan, sekitar 54 kilometer dari kota Tuban. Ia harus memutar lebih jauh jika melewati Kota Tuban.

Jatirogo lebih dekat dengan Blora, berbatasan langsung. Tiga kabupaten secara geografis maupun kandungan alam juga sama: berupa tegalan, sawah, bukit kapur, banyak gua, dan minyak bumi.

Bedanya, Tuban (bagian utara dan kota) terletak di pinggir pantai. Pantura (Pantai Utara), begitu orang sering bilang. Ia merupakan kota wali. Memiliki Masjid Agung (dulu bernama masjid Jami) yang dibangun abad 15, saat bupatinya mememluk Islam.

Landmark Kota Tuban
Masjid itu pada zaman Majapahit menjadi pusat syiar oleh Sunan Bonang, satu dari sembilan orang penyebar Islam di Pulau Jawa.

Di samping masjid, di kampung Arab Kutorejo, terdapat situs makam Sunan Bonang. Hingga kini masjid itu tak pernah sepi dari para peziarah.

Kacang Tuban memiliki bentuk fisik kecil dan panjang. Ditanam di lahan kering tegalan merah. Dikenal kualitasnya. Disukai oleh industri-industri besar di Tangerang hingga para penjual nasi pecel.

Boeyatin adalah salah seorang penggunanya. Saya pernah mampir di warungnya. Warung Nasi Pecel Ponorogo Boeyatin terletak di pinggir Kali Mas Surabaya.

”Dari dulu kami pakai kacang Tuban untuk buat pecel karena rasanya renyah dan gurih,” kata Boeyatin membuka sedikit resep rahasia pecelnya.

Jarak Surabaya-Tuban hanya dua jam, melewati Gresik dan Lamongan. Biasanya seminggu sekali Boeyatin belanja bahan pecel di Kota Wali itu.

Kadang tak perlu harus sampai ke Pasar Baru. Pasar induk itu dibangun di atas Goa Akbar, sebuah goa terbesar di tengah kota yang di dalamnya terdapat masjid. Dalam perjalanan, sering kali Boeyatin mendapati petani menjajakan langsung kacang hasil panen dari ladangnya.

Pecel Boeyatin digemari karena rasanya yang khas. Cita rasa ini dihasilkan oleh racikan kacang Tuban yang disangrai (bukan digoreng) dengan aneka bumbu, seperti gula, garam, cabai, kencur, dan jeruk purut.

Layaknya ketemu kawan lama, kami pun akrab bercerita. Tentang banyak hal. Ia mulai dengan mengisahkan perjalanannya pulang kampung.

"Saya ini termasuk orang yang manut dengan opo ngendikane ibu. Kalau ibu bilang "Le, nang mulih". Ya, sudah saya akan segera pulang, meski ga punya duit ya saya usahakan. Apalagi ibu wis sepuh," tutur dia.
  
Maka, baginya, pulang kampung bukanlah ritual setahun sekali seperti saat jelang lebaran. Kapan pun ia mau dan ibunya kangen, ia akan mudik.

Tentu saja kami juga bercerita soal politik. 

Ia singgung konsep Trias Politica-nya John Locke dalam bukunya Two Treatises on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut.

Menurut kawan saya ini akan sia-sialah pemilahan, pemisahan, dan pembagian kekuasaan itu ketika dalam prakteknya pengawas dan aparat hukum justru ikut bermain menyalahgunakan kekuasaan.

Saya lebih banyak mendengar. Ia seorang praktisi pada bidang ini.

Aku ingin menimba ilmu darinya. Kalau pun ada satu dua pertanyaan saya lontarkan, lebih utk menjaga bahwa ini bukan monolog. Sekedar memberikan perimbangan.

Kekuasaan memang cenderung korup, sudah lama saya dengar ungkapan itu. 

Sejarawan Inggris Lord Acton tentu sudah melihat bagaimana bobroknya praktik panjang penyalahgunaan kekuasaan kala itu, 300-200 tahun silam, sebelum menyatakan tesisnya: Power tends to corrupt.” 

Begitu yakinnya Acton pada tesisnya sampai ia tegaskan lagi dalam frasa berikutnya: "and absolute power corrupts absolutely."

Tapi bukan ini yang membuat saya tertarik ngobrol lebih jauh dengannya. Kawan saya ini enak diajak diskusi. Apa pun tema nyambung. Ia juga tidak pelit informasi.

He's struggling to tell the story behind drama panjang perebutan 51 persen divestasi saham sebuah perusahaan tambang PKP2B, khususnya terkait janji kompensasi kepada Pemprov Kaltim.

Kang Darno bercerita soal janji yang tak pernah terwujud. Yakni janji perusahaan itu untuk memberikan kompensasi Rp 285 miliar ke Pemprov Kaltim, hingga seseorang yang terus menekannya dengan berbagai cara untuk menggagalkan upayanya membentuk Pansus KPC.

Orang itu menelikungnya dari dalam, lewat tangan-tangan kekuasaan di partai. Ia pun terlempar.

Lima tahun tak dipakai. Dicopot dari seluruh jabatan di partai. Toh begitu ia tetap setia. Tetap enggan loncat partai. Militansi ini mungkin terwarisi dari keluarga. Ayahnya seorang nasionalis di zamannya.




SORE. USAI PENCOBLOSAN.

“Alhamdulilah kita “kalah”, “tulis Kang Darno dalam status akunnya di Facebook , 11 Mei 2019.

Kabar ini sebenarnya sudah menggelinding beberapa hari usai pencoblosan. Ini menguatkan anggapan umum bahwa popularitas caleg memang berpengaruh besar terhadap tingkat keterpilihan. Tetapi, tidak selalu linear. Ada faktor-faktor lain yang berpengaruh. 

Ada seorang caleg lain yang cukup populer. Sering diminta jadi narasmber di layar televisi. Memiliki sudut pandang relatif obyektif terhadap suatu soal. Pemikiran yang mencerahkan. Namun, dia kalah dari caleg lain yang tidak bersuara.

Ada pula caleg lainnya. Petahana. Memiliki basis suara. Memperoleh suara lumayan tinggi. Bahkan lebih tinggi jika dihadapkan antarmuka dari suara yang diraih rekannya terpilih dari pertai lain. Tetap saja, tidak membuat caleg itu terpilih. Ini karena total suara partainya tidak mampu meraih kursi.

Tak semua orang mampu menerima kekalahan. Hingga membuat seseorang berubah sikap. Tidak lagi ramah menyapa warga. Tak lagi aktif dalam kegiatan bersama. Sebagian lain malah harus ditangani ahli khusus karena tak kuat menanggung kenyataan yang dihadapi.

Beruntunglah bagi yang masih kuat hati menerima kekalahan. Dia akan belajar dari kekalahan itu untuk berlaga di pemilu berikutnya.
“Alhamdulillah dan terima kasih buat seluruh pemilih Sudarno, SE DPD RI no 44 se Kalimantan Timur.Hasil Pleno KPU Kaltim smalam, no 44 belum memenuhi syarat suara tuk melangkah ke DPD RI mewakili rakyat Kaltim.”
Menurutnya, yang masih membuat ia bangga adalah ia bisa meraih suara 33.000-an suara di Samarinda. Tanpa politik uang (money politics). Itu berarti kedua setelah perolehan yang diraih nomor urut 24, Awang Ferdian Hidayat.
Awang Ferdian pernah menjadi anggota DPD RI (2009-2014). Meski sama-sama memiliki kantor di Gedung Senayan, senator yang kita adopsi dalam sistem perpolitikan di Indonesia tidak diberikan wewenang untuk pengesahan anggara (fungsi budgeting) seperti DPR. Ia lalu memutuskan pindah haluan. Berlaga menjadi anggota DPR RI melalui PDI Perjuangan.

Ferdi -- begitu ia disapa -- terpilih kembali (2014-2018). Ia bersama tujuh orang lain dipercaya jadi wakil rakyat Kaltim di DPR RI. Perubahan lembaga dari DPD ke DPR RI ini juga dilakukan Luther Kombang, melalui Partai Gerindra.

Dalam perjalanan, tahun 2018 lalu, putra sulung Awang Faroek Ishak (tahun terakhir di periode kedua Gubernur Kaltim) itu maju menjadi Cawagub Kaltim mendampingi Syaharie Jaang. PDIP menilai pencalonan cawagub itu tidak berdasar perintah partai.


Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, Rabu (28/2/2018) mengungkapkan, partai telah mengambil sikap atas masalah ini. Melalui rapat yang dipimpin Ketua Umum Megawati, PDIP akhirnya memecat Ferdi dari partai.

"Siapa yang tidak taat pada perintah partai, lebih baik keluar dari partai, oleh sebab itu DPP memutuskan memecat Awang Ferdian," tegas Hasto di Balikpapan.

Ferdi menghindari untuk disandingkan dengan Safaruddin. Safaruddin orang baru. Keberadaanya di Kaltim karena menjadi Kapolda Kaltim. Sehingga masyarakat luas belum mengenalnya. Upaya tokoh PDIP untuk mengontak Ferdi tidak membuahkan hasil. Pada last minute Ferdi mendadak tidak bisa dihubungi. 

Ia lebih memilih Syaharie Jaang. Jaang hampir 20 tahun berkuasa memimpin Samarinda. 10 tahun sebagai wakil walikota mendampingi Achmad Amins (2000-2005 dan 2005-2010). Selanjutnya jadi Walikota bersama Nusyirwan Ismail (2010-2015 dan 2015-2018). Ferdi tahu akan risiko pilihannya dengan tidak mau disandingkan dengan Safaruddin. Ia harus menanggalkan baju kebesaran warna merah yang dipakainya.

Sementara maju di Pilgub Kaltim 2018-2023, Ferdi juga mendaftar menjadi anggota DPD RI 2019-2024.
Itu sekedar jaga-jaga kalau kalah. Ternyata ia kalah. Yang terpilih dan dilantik menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Kaltim adalah pasangan Isran Noor-Hadi Mulyadi.
Kalah di Pilgub Kaltim, Ferdi beruntung masih ada cantolan di jalur politik lainnya. Ia kembali terpilih menjadi anggota DPD RI dapil Kaltim 2019-2024. 

Bahkan, total suaranya paling tinggi. Tercatat 345.628 suara. Ia bakal mewakili Kaltim bersama tiga tokoh lainnya di DPD RI, yakni Mahyuddin 147.483 suara, Aji Mirni Mawarni 120.338 suara, dan Zainal Arifin 78.725 suara.
“Ke 2 stelah no.24. Bravo tuk warga Samarinda pemilih no.44 yg sudah mengikhlaskan suaranya tanpa di bayar dengan janji2 dan money politics,” tulis Sudarno.
Tentu saja yang dimaksud Sudarno soal angka perolehan suaranya itu adalah khusus wilayah kota Samarinda. Dan semua paham suara yang diraih oleh keempat senator di atas adalah total suara dari  seluruh kabupaten/kota di Kaltim

Kalah tapi bangga. Bangga karena puluhan ribu suara yang ia peroleh, meski tidak membuatnya  menjadi caleg terpilih, akunya tidak perlu didapatkan dengan cara kotor, money politics.

Itulah yang kini dirasakan Kang Darno. Bangga mungkin karena tidak pakai politik uang. Juga karena memperoleh dua suara terbesar di kota Samarinda, di bawah putra gubernur.



Syarifuddin latihan pelantikan anggota DPRD
Kutai Kartanegara 2019-2024 - FB
SUKA TIDAK SUKA, politik uang masih ada di Pemilu 2019.

Politik uang merupakan bentuk pemberian atau janji menyuap. Baik supaya seseorang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu saat pemilihan umum.

Pemberian tentu bisa berupa uang atau barang.

Yakin, masih ada?

Sangat naif kalau saya bilang tidak ada. Syarifuddin, biasa disapa Udin, seorang caleg di Dapil Kukar 6 (Muara Badak, Marangkayu, dan Anggana) bercerita soal ini.

"Berat persaingan kali ini. Ini seperti menafikan apa yang sudah kami lakukan selama ini langsung ke masyarakat," jelasnya.

Bersama kawan separpol berlambang matahari terbit yang menjadi caleg petahana di Karang Paci, ia memang sering keluar masuk desa-desa di dapilnya. Ia kerap menyambangi warga. Empat tahun!

Beruntung Udin terpilih di tengah persaingan yang ketat itu. Dan tanpa politik uang! Meski jumlah suara yang ia peroleh menurutnya jauh dari ekspektasi pribadi, namun ia mengantongi suara paling tinggi di partainya. Itu artinya, 1 kursi untuk parpolnya tetap menjadi haknya.

Dengan upaya yang sungguh-sungguh dalam mendekati masyarakat seperti itu, maka wajar kalau ia turut geram jika ada yang bermain tidak fair dalam pileg kali ini. Begitu pun Baharuddin Demmu, caleg petahana tersebut.

Udin pernah aktif sebagai wartawan sebuah harian di Kaltim. Cukup lama ngepos di lembaga DPRD Kaltim. Kemudian berubah haluan menjadi penyiar Swara Samarinda, mengasuh rubrik komunitas berbahasa Bugis. Daeng Syarif, nama udaranya.

Ia nyambi berpolitik, sebuah dunia yang memang tidak asing baginya saat sebagai reporter. Banyak pejabat, anggota legislatif, dan relasi yang ia kenal. Menjadi kader dan pengurus DPW Partai Amanat Nasional Kaltim di bawah kepengurusan Darlis Patalongi, caleg untuk DPR RI.

Saat Bahar duduk menjadi anggota legislatif provinsi, Udin berkawan dekat dengannya. Ia lalu ditunjuk menjadi Staf Ahli Fraksi PAN DPRD Kaltim. Empat tahun terakhir Udin sering menemani Bahar menemui warga di daerah pemilihannya. Daerah pemilihan Udin di Dapil Kukar 6 kebetulan beririsan dengan daerah pemilihan Bahar.

Ini terlihat dari akrabnya hubungan sosialnya dengan warga setempat. Saya menyaksikan bagaimana orang-orang yang hilir mudik menjawab sapaan Udin dengan ramah sekali ketika ia mampir rehat di teras rumah seorang warga di desa Kutai Lama. Kutai Lama termasuk desa yang yang menjadi dapil-nya bersama Bahar. Sering ia kunjungi dan menjadi salah satu basis perolehan suaranya.

"Baji-baji ji," jawab orang tersebut dengan perlahan mengendarai motornya. Ia tersenyum ramah. Menganggukkan kepala. Begitu pula seorang ibu yang diboncengnya.

Ia mengenal hampir semua orang di desa itu. Begitu sebaliknya.

Warga Kutai Lama umumnya bermata pencaharian nelayan. Desa itu memang berada di muara anak sungai, Sungai Mahakam. Hanya beberapa menit, dengan kapal dongfeng, mereka sudah bisa menjangkau laut lepas di Selat Makassar. Saat tidak musim ikan, warga biasanya akan mengurus kebunnya.

Beberapa orang yang mampu, akan berbudidaya sarang burung walet. Membangun rumah sarang walet di sekitar kediaman maupun dataran tinggi lainnya. Menarik hasilnya. Satu kilogram bisa terjual Rp 15 juta sampai Rp 17 juta. Untuk rumah walet yang sudah dipenuhi sarang, bisa menghasilkan 2-5 kg sarang per bulan. Pengepul komoditi ekspor itu biasanya akan datang ke desa.

"Kalau mau cari ikan segar, tidak berformalin, di sinilah tempatnya. Murah pula," kata Udin tentang desa itu kepada saya.

Seorang anggota BPD (Badan Perwakilan Desa) Kutai Lama bercerita, politik uang masih marak di Kutai Lama dan desa-desa sekitar. Sulit dibuktikan. Orang yang terlibat tidak mau bicara per kasus. Tapi mereka bisa merasakannya.

Lucunya, kata dia, tak jarang antar-tim itu bertemu di jalan atau lorog desa justru saat pemberian "serangan fajar". Artinya, yang main politik uang sebenarnya tidak satu-dua caleg. Karenanya bukan tidak mungkin, beberapa rumah yang sudah dimasuki tim dari caleg tertentu, lalu dimasuki lagi oleh tim dari caleg lainnya.

Dobel yang mereka terima. "Kalau sudah mereka terima, ya saya hanya bisa bilang terserah kalian (siapa yang akan dipilih)," jelasnya.

Tapi, sejauh ini tidak pernah ada laporan soal itu ke Bawaslu.

Bahar tegas terhadap masalah politik uang. Bahkan, dalam video kampanyenya, ia sengaja mewanti-wanti masalah ini.

"Kalau ada yang bagi uang tangkap, lalu viralkan. Karena kalau tidak diviralkan dia akan duduk di Karang Paci (DPRD Kaltim) pasti dia akan menjadi politisi yang tidak baik," tegas Bahar dalam video.

Video kampanye berdurasi 60 detik itu saya tonton di akun Facebook Syarifuddin Habiburahman. Video berisi visi dan aktivitasnya selama menjadi anggota DPRD Kaltim 2009-2014 itu berjudul "Menyempurnakan Pengabdian".

"Izinkan saya menyempurnakan pengabdian di periode akan datang. Untuk DPRD Kaltim, Dapil Kutai Kartanegara," ucapnya dalam video tersebut.

Memang banyak cara untuk bisa dipilih menjadi sang wakil rakyat. Salah satu cara yang selalu ia lakukan bersama Bahar adalah dengan bertemu warga. Keduanya berkomunikasi langsung agar bisa menangkap aspirasi dan memberikan jalan keluar yang dihadapi warga.

"Kurang dari Rp 10 juta, kami habiskan Rp 600 juta untuk membantu mereka, misalnya membeli kapal dongfeng, membuat keramba, pelatihan dan sejenisnya. Barang-barang itu akan bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan warga," kata Syarifuddin.

Uang sebanyak itu tidak semua milik pribadi. Sebagai anggota DPRD Kaltim, Baharuddin memiliki akses terhadap sumber-sumber dana APBD Kaltim yang bisa digunakan untuk membantu warga di daerah pemilihannya.

Tetapi, ada pula caleg yang menggunakan cara-cara pintas mendekati warga.

"Bertemu warga saja tidak pernah, eh dapat suara banyak," kata Syarifuddin tanpa menunjuk siapa nama caleg yang ia maksud.

Bahar pernah menjadi Kepala Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kukar (2006). Suami Haris Retno, pengajar di Fakultas Hukum Unmul, ini dikenal sebagai aktivis lingkungan. Pernah menjadi Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim 2002-2004.

Kemudian beralih menjadi politikus dan memulai sebagai Anggota DPRD Kutai Kartenaga (2004-2009).  Lima tahun berikutnya di DPRD Kaltim, dan saat ini ia kembali terpilih di Karang Paci (2019-2024). Cara terakhir ini ia sebut untuk 'menyempurnakan pengabdiannya'.

Sepak terjang tentangnya banyak ditulis. Tegas, bersih dan peduli pada rakyat.

Dalam wawancara dengan Iqra Anugerah, Research Associate di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) Jakarta, Bahar mengaku menghabiskan sejumlah uang buat kampanye untuk mendapatkan kursi di DPRD Kukar. Sekitar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta.


Sedikit lebih besar untuk kursi parlemen Karang Paci, sekitar Rp 100 juta sampai Rp 200 juta.

Jika benar, tentu angka ini sangat kecil dibandingkan angka yang biasanya dihabiskan caleg lain.

Saya dengar pengakuan seorang caleg kepada kerabat dekatnya, menghabiskan sekitar Rp 2,6 miliar untuk DPRD Kaltim. Sedikit lebih besar ketimbang angka yang harus ia keluarkan lima tahun lalu untuk mendapatkan satu kursi di DPRD Samarinda.

Iqra menulis masalah politik lingkungan dan sumberdaya alam sepanjang pemilu 2019 di Indonesia. Selama seminggu ia menempel kegiatan Bahar dan menuliskannya dalam newmandala.org dengan judul "Standing for Parliement, and Againts Mining in Kalimantan". 

Peneliti ini meraih PhD dalam Ilmu Politik dan Studi Asia Tenggara dari Northen Illinois University (NIU). NIU terletak di pusat kota DeKalb yang selama beberapa bulan lalu ikut terpapar poral vortex. Udara sempat drop hingga minus 25 derajat Celcius, lebih dingin dari biasa. Sekarang sudah lebih hangat, di kisaran 19 derajat Celcius.

DeKalb sejatinya merupakan kota kecil di negara bagian Illinois, AS. Tapi karena ada NIU dengan jumlah mahasiswa sekitar 30.000 orang, di antaranya merupakan mahasiswa internasional termasuk belasan orang dari Indonesia, menjadikan DeKalb cukup ramai. Mirip di Yogyakarta sebagai college town, sepi saat musim liburan.

Ada kota besar terdekat, Chicago. Ia ibu kota Illinois. Sekitar 115 km jaraknya. Saya pernah menginjakkan kaki di kota The Windy City itu. Julukan ini mungkin karena kuatnya angin yang bertiup dari Danau Michigan. Saya menjangkaunya dari Detroit. Cukup jauh memang ditempuh dengan darat. Tapi sangat mengasyikkan sebagai orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki seperti saya. Apa lagi kondisi jalan jauh dari kamacetan, lurus dan mulus (highway), gratis lagi.

Saya sudah merasakan tiupan angin itu saat menyusurinya dari Setevenville. Sangat ideal untuk tempat tinggal pada musim panas karena anginnya yang sejuk. Namun, siapa pun yang pernah tinggal di kota ini akan merasakan betapa angin itu sangatlah menusuk pada musim dingin. Angin mengalir di antara gedung-gedung tinggi.

Dari DeKalb ke Chicago, kita menikmati pemandangan yang menyejukkan mata. Sepanjang jalan kiri kanan terdapat hamparan luas perkebunan jagung, dan kedelai sehingga perjalanan menjadi tidak bikin bete.

Kondisi Chichago melesat jauh. Tumbuh subur gedung-gedung pencakar langit seperti John Hancock Center yang ikonik. John Hancock merupakan bangunan 100 lantai dengan tinggi 442 meter di North Michigan Ave. Dari lantai 94 gedung itu, saya bisa melihat bebas keindahan kota dan panorama Danau Michigan yang hanya beberapa blok.



Abrianto Amin - Koran Kaltim
IQRA JUGA ngobrol dengan Udin. Menurutnya, penting bagi konstituennya untuk memiliki kolompok tani dan nelayan sendiri. Jika tidak, akan sulit bagi mereka mengajukan proposal untuk mendapatkan fasilitas dan sejenisnya.

"Bahar and my interlocutors claimed that by using tactics like this Bahar does not have to buy votes," tulis Iqra.

Bahar dan para pendukungnya cukup optimistis akan memenangkan pileg untuk jabatan kedua di Karang Paci.

Tetapi, pertanyaan yang lebih penting adalah apa yang akan ia lakukan untuk melawan kepentingan-kepentingan oligarkis. Oligarkis itu diuntungkan oleh pertambangan di Kaltim, sementara saat bersamaan Bahar juga harus memperjuangkan kepentingan konstituennya.

Sebagai aktivis lingkungan yang kini beralih menjadi politisi, pertanyaan demikian menjadi sangat wajar untuk disodorkan kepadanya. Publik akan menunggu aksi apa yang bisa diperjuangkan setelah ia duduk menjadi wakil rakyat yang terhormat.

Bahar sebenarnya tidak sendiri sebagai politikus yang berangkat dari aktivis. Ada nama lain seperti Abrianto Amin. Ia seorang caleg DPRD Kaltim dari dapil Kutai Kartanegara.

Awalnya, Abrianto masuk sebagai bacaleg dariPartai Golkar. Hal yang wajar. Ia memiliki jabatan tinggi di partai, Wakil Ketua DPD I Partai Golkar Kaltim. Ia pula masuk di Tim 9 yang menggodok daftar nama para caleg yang akan diusulkan mewakiliGolkar untuk kursi Karang Paci.

Tetapi, dalam perkembangan, arah angin di tubuh partai pohon beringin itu berubah. Namanya pun ikut tersingkir dari kursi bacaleg.

"Ada proses yang saya tidak mengerti di Golkar dalam kaitandengan mekanisme, terutama pada pencalegan. Saya tidak mengerti, kenapa saya sebagai Wakil Ketua Kaltim dan sebagai anggota Tim 9 yang menyusun caleg provinsi, tiba-tiba dalam rapat tim terakhir pengiriman nama ke Jakarta, nama saya tidak ada," kata Abrianto dikutip dari Koran Kaltim, 20 Juli 2018.

Sebagai kader Golkar yang berkarir sejak 1985, Abrianto Amin merasa terzalimi. Karena itu ia pun memutuskan loncat pagar. Belakangan namanya masuk di daftar caleg DPRD Kaltim dapil Kukar dari Partai Nasdem.

Abrianto berangkat dari aktivis aktivis lingkungan. Pernah menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, dua dekade lalu. Namanya sering muncul di media mainstream. Dikenal kritis terhadap kebijakan pemerintah, terutama yang berdampak pada perusakan lingkungan dan nasib rakyat kecil.

Ia kemudian menjadi Staf Ahli DPRD Kaltim. Di sini, ia makin punya jaringan yang lebih luas. Banyak politikus menjadi kawannya. Bahkan, meski sudah tidak memegang jabatan resmi di LSM lingkungan, wartawan masih sering meminta pendapatnya soal carut marut pengelolaan lingkungan di wilayah ini.

Ia bicara mengenai banyak hal dari persoalan Teluk Balikpapan, Dana Reboisasi, reklamasi, hingga tambang batubara. Wartawan mungkin melihat masih ada gairah pejuang lingkungan dalam darahnya.

Namun suara kritis itu mulai kurang terdengar setelah ia masuk ke dalam lingkaran pemerintahan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Abrianto menjadi disibukkan oleh urusan bupati di kabupaten terkaya di Indonesia itu.

Belakangan namanya muncul dalam buku "Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita". Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia bekerjasama dengan PolGov Fisipol UGM dan University of Oslo (2018).

Buku itu antara lain menggambarkan kekhawatiran warga tani Desa Sumber Sari, Kecamatan Loa Kulu di Kutai Kartanegara terhadap rencana penambangan batubara yang mencakup lahan seluas 172 hektare. Kegiatan penambangan itu akan merusak kondisi bukit. Selama ini bukit tersebut menjadi lokasi sumber air warga.

Para petani dan warga desa takut akan kehilangan sumber air yang akan mengurangi produktivitas pertanian. Sukirno, Kepala Desa Sumber Sari, lantas memimpin warganya menolak rencana yang bakal merusak lingkungan di wilayahnya itu. Sejumlah lembaga pegiat lingkungan seperti Walhi, Jatam, Pokja 30 turut melawan.

"Akan tetapi, usaha-usaha perlawanan itu berhasil dijinakkan dengan merekrut Abrianto Amin, bekas Direktur Walhi Kaltim dan KAHMI Samarinda," tulis buku dengan editor Longgina Novadona Bayo, Purwo Santoso, dan Willy Purna Samadhi itu.

Taktik ini ternyata berhasil. Masih menurut buku itu, suara-suara kritis mengenai kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri keruk batubara perlahan-lahan mulai hilang dari pemberitaan media massa.

"Atas 'prestasi' ini, Abrianto Amin diberikan posisi dan peranan penting seperti ketua tim pemenangan pada perode kedua pencalonan Rita. Selain itu, ia juga diposisikan sebagai staf khusus Bupati Rita."




RITA ADALAH putri bupati sebelumnya, Syaukani Hasan Rais. Populer dengan sebutan Pak Kaning,  bupati pertama yang dipilih langsung tahun 2005. Ia terpilih bersama wakilnya, Syamsuri Aspar. Lima tahun sebelumnya, 1999-2004, Kaning sudah menjadi bupati.

Tapi belum genap lima tahun di periode keduanya, Kaning harus berhadapan dengan KPK terkait kasus korupsi seperti pembebasan lahan Bandara Loa Kulu. Ia dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 93,204 miliar.

Pengadilan Tipikor Jakarta memvonisnya dua tahun enam bulan. Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan Pengadilan Tipikor. Nasib naas justru dialami Kaning di MA. Lembaga peradilan tertinggi itu menambah hukumannya menjadi enam tahun.

Tapi Presiden SBY belakangan memberinya grasi kepadanya, 17 Agustus 2010. Bebas. Kaning yang sakit parah ketika itu sedang dirawat di RSP Pertamina Jakarta. Sejak menjalani persidangan, kesehatannya memang terus merosot.

Hasil pemeriksaan oleh dokter rumah sakit menunjukkan, Kaning mengidap komplikasi berbagai penyakit berat mulai hipertensi, bronkitis, polemenia, trestomi dengan ventilator, dan keterbatasan mental maupun fisik. Pun tak dapat melihat jelas dan bicara. Stroke berat.

"Dalam kondisi akut, infeksi akut organ vital bersangkutan. Drop yang luar biasa," kata Harin Tumpa, Ketua MA, dalam juma pers, Jumat (20/8/2010).

Tak cuma itu. Masih menurut Tumpa, Kaning mengalami pembengkakan  kepala karena kekurangan oksigen. Syaraf kepala rusak optical blinges atau rusak permanen.

Dianggap tak ada perubahan berarti saat dirawat di RSP Pertamina keluarga lantas memindahkan Kaning pulang ke Tenggarong. Melalui pro kontra. Apalagi ketika sempat dikabarkan membaik kondisinya.

KPK kecewa atas pemberian grasi itu. Apalagi grasi tersebut membuat koruptor yang merugikan uang negara hampir seratus miliar itu langsung menghirup udara bebas.

Surat grasi itu menyatakan vonis hukuman enam tahun dipotong menjadi tiga tahun. Yang bersangkutan diketahui sudah menjalani hukuman lebih dari tiga tahun. Ia juga sudah mengembalikan uang kerugian negara Rp 49,6 miliar.

Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan Syaukani terbukti bersalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumberdaya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Loa Kulu, dana pembangunan Bandara Loa Kulu, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat.

Sepanjang 2001-2005, Syaukani disebut berhasil meraup dana Rp 93,204 miliar.

Pada akhirnya, bupati yang dikenal luas masyarakat dan dicintai para pendukungnya itu meninggal dunia di RSUD AW Sjahranie Samarinda, 27 Juli 2016.

Mengikuti jejak ayahnya di panggung politik, Rita Widyasari lantas mencalonkan diri jadi Bupati Kukar 2010-2015. Ia memenangi pilkada dan dilantik jadi Bupati Kukar pada 30 Juni 2010. Lima tahun kemudian, untuk periode kedua, ia kembali memenangi Pilkada Kukar.

Tapi, lagi-lagi ia seperti mengikuti jejak ayahnya, Rita harus berurusan dengan KPK. Lembaga anti rasuah itu menetapkannya menjadi tersangka pada 28 September 2017. Ia menjadi terdakwa atas kasus suap dan gratifikasi. Tak hanya itu. KPK menersangkakannya atas tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Kembali ke Abrianto, tokoh pergerakan lingkungan itu juga disebut-sebut bagian dari tim 11.

KPK terus mengorek keberadaan tim ini, termasuk dalam persidangan. Beberapa kali nama tim 11 disebut dalam sidang Tipikor Jakarta.

Junaedi misalnya, anggota DPRD Kabupaten Kukar, dalam kesaksiannya di Pengadiloan Tipikor Jakarta, Rabu (4/4/2018) mengatakan, Bupati Kukar Rita Widyasari memiliki tim pemenang saat Pilkada Kukar. Nama tim dimaksud adalah tim Gerbang Raja. Namun masyatakat lebih familiar dengan sebutan tim 11. Junaedi satu di antaranya.

"Di tim inti namanya tim Gerbang Raja. Ada pak Khairudin juga tim pemenang itu pak. Saat berjalan saja masyarakat sering sebut Tim 11 karena tim ini berjumlah 11 orang. Sebenarnya tidak ada pemberian nama. Karena jumlahnya saja 11, termasuk saya," kata Junaedi yang juga Ketua KNPI Kukar.

Meski tim sudah dibubarkan seiring dengan selesainya pilkada, Junaedi mengakui sesama anggota tim masih sering komunikasi. Saling support, dan menjaga  konstituen pilkada. Pihak terkait juga masih mengakui keberadaannya dalam bentuk lain.

Abrianto disebu-sebut sebagai satu dari 11 anggota tim tersebut.

Tim ini diseret KPK karena diduga terlibat dalam dugaan korupsi yang dilakukan Rita. Rita dan Khairuddin, pentolan Tim 11, diduga melakukan tindak pidana korupsi dan gratifikasi dalam sejumlah proyek dan perizinan di lingkup Pemkab Kukar senilai Rp 436 miliar.

Keduanya telah ditetapkan lebih dulu sebagai tersanga atas dugaan penerimaan gratifikasi. Rita tersangka lantaran menerima suap dari bos PT Sawit Golden, Heri Susanto alias Abun. Pengusaha dari Samarinda itu juga dijebloskan ke bui.

Bos PT Citra Gading Asritama, Ichsan S menyebut tim 11 antara ada dan tiada.

"Tim 11 itu antara ada dan tiada pak Jaksa," katanya saat dicecar keberadaan tim. Jawaban ini kontan membuat hakim, terdakwa Rita dan pengunjung sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta tertawa riuh.

"Dari luar tim 11 itu ada. Kalau masuk sebenarnya, tim 11 yang mana, bingung juga. Menurut saya tidak ada tapi orang lain menyebut itu ada. Tim 11 tidak pernah dibentuk dan dibubarkan. Opini yang berkembang, kalau masuk ke Kutai Kartanegara, harus izin tim 11," jelasnya.

Ia mengaku kenal dengan Junaedi. Kenal pula dengan Abrianto Amin. "Saya kenal Junaedi dan Abrianto. Abrianto itu tenaga ahli bu Rita."

Saat menjawab pertanyaan apakah Khairudin merupakan ketua tim 11, Ichsan mengaku tidak tahu. Isu yang beredar di masyarakat, Khairuidin adalah ketua tim 11.

Keberadaan tim sudah lama menjadi pergunjingan negatif masyarakat. Lebih santer lagi dibicarakan setelah KPK terjun langsung ke Tenggarong. Kemudian menjadikan Rita dan Komisaris PT Media Bangun Bersama (MBB) Khairudin sebagai tersangka.


Struktur Tim 11 - Jurnas.com
JURNAS.COM MELAPORKAN, terbentuknya tim 11 disinyalir sebagai "pagar" dilingkaran kekuasaan Bupati Kukar. Tim ini datang dari beragam latar mulai anggota legislatif DPRD Kaltim, DPRD Kukar, mantan wartawan, pimpinan organisasi kepemudaan, mantan anggota KPU Kukar, dan mantan Direktur Walhi Kaltim.

Identifikasi latar belakang tim 11, dianggap memiliki pengaruh untuk kepentingan koneksi-koneksinya. Antara lain, kebijakan mutasi pejabat di lingkungan Pemkab Kukar, pembagian proyek-proyek pekerjaan fisik maupun pengadaan, serta penetapan anggaran di DPRD Kukar.

Rita dan Khairudin dijerat dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK atas pidana korupsi dan gratifikasi sejumlah proyek dan perizinan di lingkup Pemkab Kukar senilai Rp 436 miliar. Khairudin mundur dari anggota DPRD Kukar saat ditarik Bupati Rita sebagai staf khusus.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 23 Oktober 2018, telah memperberat hukuman terhadap Khairudin menjadi 9 tahun penjara. Vonis sebelumnya, 8 tahun dianggap terlalu ringan. Pertimbangannya, hakim meyakini Khairudin bersama Rita menerima gratifikasi Rp 180 miliar berkaitan dengan proyek pembangunan, penerbitan SKKL dan izin lingkungan.

Sedangkan Rita, setelah divonis 10 tahun penjara, 6 Juli 2018, kemudian dieksekusi ke Lapas Perempuan Pondok, Jakarta Timur. Ia terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 110 miliar, termasuk uang suap 6 miliar dari Abun.

Meski sudah dieksekusi, Juru Bicara KPK Febri Diansyah memastikan penyidikan kasus TPPU Rita masih terus dilanjutkan. Rita dijerat dengan TPPU senilai Rp 436 miliar.

Cerita ini memperjelas persoalan bahwa oligarki memang terus mendominasi arena pemilu di Indonesia. Cerita tentang Kutai Kartanegara adalah kisah kekayaan alam dan anggaran daerah yang begitu besar yang oleh elitnya dinilai tidak berhasil membangun kapasitas teknokratis yang bermanfaat bagi pelayanan publik.

Bahar dan kawan-kawan aktivisnya sangat menyadari itu. Melawan semua itu tidaklah mudah. Sebab orang seperti Bahar berhadapan tidak saja dengan orang luar tapi juga dari dalam (partainya).

Suatu ketika Bahar mendapatkan 'saran' dari beberapa orang untuk mengurangi kritiknya terhadap institusi pertambangan batubara. Ia menerima panggilan telepon dari orang yang tidak dikenal. Saat itu ia sedang di Jakarta.

"Beberapa orang juga datang ke saya dan mengatakan untuk menghentikan penyelidikan (tambang ilegal) di parlemen," akunya kepada Iqra.

"Walaupun demikian saya tetap melanjutkannya," tegasnya.




PUSAT PELAPORAN dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mensinyalir adanya modus baru politik uang dalam Pemilu 2019.

Bukan lagi dengan membagi-bagikan uang tunai kepada para pemilih seperti cara konvensional selama ini, melainkan dengan pemberian asuransi kecelakaan.

Deputi Pemberantasan PPATK Firman Shantyabudi menemukan satu caleg yang diduga melakukan politik uang dengan cara membagikan asuransi kecelakaan atau kesehatan.

"Ya ini metode baru, karena tidak bisa hanya melihat uangnya yang beredar tapi fasilitas yang diberikan, jaminan yang diberikan kepada masing-masing orang untuk dijaminkan asuransi kesehatannya, sama aja deh misalnya saya kasih teman-teman asuransi tapi kalian pilih saya ya," ujar Firman di Jakarta (5/4/2019) seperti dikutip Voice of America (VoA).

Politik uang antara ada dan tiada. Sebab tidak gampang mencari buktinya. Yang memberi maupun yang menerima tentu bakal tutup mulut. Karena itu sedikit sekali la[oran politik uang yang berhasil diungkap oleh Bawaslu.

Namun kenyataannya, satu-dua hari jelang pencoblosan, praktik ini masih berlaku. Apalagi dengan banyaknya partai yang ikut, persaingan antarcaleg menjadi makin ketat.

Syarat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen membuat tantangan para caleg dalam mendapatkan kursi di parlemen menjadi lebih berat. Implikasinya, politik uang makin rawan dan menjadi pilihan pintas.

Masyarakat sendiri terlihat lebih pragmatis. Mereka memang tidak terang-terangan meminta uang atau barang. "Tapi, kalau ada yang memberi imbalan, kenapa tidak?! Simpel kan?" kata seorang warga.

Sekali lagi, tak mudah membuktikannya kendati beberapa caleg kalah maupun menang mengaku habis sekian ratus juta di dapil ini-itu. Mereka menggunakan sebuah tim yang solid dan tidak mau bercerita.

Lain dengan kasus Bowo Sidiq Prabowo.

KPK sejatinya menangkap anggota DPR RI itu dengan sangkaan menerima gratifikasi kasus penyewaan kapal induk distribusi pupuk. Saat itu KPK lebih dulu menangkap seorang direktur BUMN dan pihak swasta di bawah bendera Humpuss.

Dari penyelidikan terungkap Bowo sudah tujuh kali menerima gratifikasi. Dari Bowo pulalah, KPK menyita uang tunai Rp 89,4 juta serta uang Rp 8 miliar yang disimpan dalam 84 kardus. Uang itu ditemukan dalam sekitar 400.000 amplop dengan pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000.

Untuk apa uang sebanyak itu?

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers mengatakan, Bowo akan menggunakan uang tersebut untuk kepentingan kampanye pileg 2019. Bowo adalah caleg dari dapil Jawa Tengah.

"Diduga yang bersangkutan mengumoulkan uang yang sejumlah penerimaan uang tersebut, sudah barang tentu terkait jabatannya sebagai penyelenggara negara dan dipersiapkan untuk serangan fajar pada pemilu 2019," nkatanya.

BBC menyebut politik uang lahir karena ketidakpercayaan kandidat dan tim sukses bahwa mereka bisa menang dengan cara-cara jujur. Apalagi kalau yang dihadapi adalah caleg-caleg po[uler baik dari partai lain maupun separtai di dapil yang sama.

Maka tidak sedikit caleg yang populer pun harus tumbang. Sering nongol di TV ternyata masih belum cukup kuat untuk bersaing dengan caleg populer lainnya.

Dengan keserentakan pemilu kali ini, mereka harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan perhatian dari publik. Sebab perhatian publik akan lebih tertarik terhadap isu-isu atau kebijakan yang disuarakan capres-cawapres.

Selain itu, masalah tersebut muncul lantaran persoalan dari partai politik. Khususnya dalam konteks rekrutmen peja at publik.

Tak sedikit pemilih yang tidak 'tahu' siapa caleg yang dipasang di dapilnya. Calon-calon instan semacam ini biasanya membanjiri wilayah dapil dengan memasang banyak baliho agar terasa dekat dengan pemilih.

Dalam disertasi PhD di Australia National University berjudul "Money Politics Anda Electoral Dynamics In Indonesia A Preliminary Study of The Interaction Bteween Party-ID And Patron-Client" Burhanuddin Muhtadi menunjukkan satu dari tiga pemilih pada pemilu 2014 terpapar oleh praktek uang.

Ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.





[achmad bintoro]

 Credit Photos

1. Mural Politik "Wakil Rakyat Pilihan Rakyat, Bukan Pejabat "Tolak RUU Pilkada" menghiasi dinding selatan Kanal Banjir Barat, Kawasan Dukuh Bawah, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2014). Mural ini merupakan bentuk penolakan terhadap putusan DPR yang menolak UU Pilkada karena dianggap 
merampas hak konsitusi rakyat. WARTA KOTA/ANGGA BHAGYA NUGRAHA

2. Ustadz Sani Bin Husain. Screenhoot YouTube

3. Kacang goreng pasir. BIN

4. Di latar depan foto adalah bangunan yang menaungi makam Sunan Bonang dan kerabat dekatnya dengan latar belakang Masjid Agung Tuban. Dua Landmark Tuban yang sangat penting bagi sejarah kota tersebut. (bujangmasjid.blogspot.com)

4. imgrumweb.com

5. Terdakwa kasus suap pemberian izin lokasi perkebunan di Kutai Kartanegara Rita Widyasari mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (3/4/2019). Sidang Bupati Kutai Kartanegara nonaktif itu beragendakan mendengarkan keterangan saksi. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

6. ANTARA FOTO/RENO ESNIAnggota DPR Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso (tengah) dibawa ke mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/3/2019).

7.  ANTARA FOTO/Teresia MayAktris yang juga pemain teater Sha Ine Febriyanti mementaskan monolog Wakil Rakyat Yang Terhormat dalam pementasan Dua Monolog di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Sabtu (19/7) malam. Monolog yang diangkat dari buku monolog politik karya Putu Fajar Arcana, berkisah tentang pledoi seorang wakil rakyat yang terus menerus dituding mengkorupsi uang rakyat.

7.  ANTARA FOTO/Syaiful Arif/ama - Pemilih memasukkan surat suara saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS O7, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Kranggan, Kota Mojokerto, Jawa Timur, Rabu (24/4/2019). Rekomendasi PSU dikeluarkan pengawas Pemilu di TPS setempat karena pada pemungutan suara 17 April lalu terdapat 1 pemilih pemegang form A5 yang mencoblos 5 surat suara. 

8. ANTARA FOTO/Indrianto Eko SuwarsoPetugas Brimob berjaga dengan kendaraan taktis Barrracuda saat melakukan pengamanan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2019). Pengamanan di sejumlah objek vital diperketat pasca pengumuman penetapan hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019.

9. Baharuddin Demmu - Instagram/baharuddin_demmu

10. Sebuah ponton bermuatan penuh batubara ditarik tugboat menyusuri Sungai Mahakam. Latar belakang adalah Masjid Islamic Center Samarinda - RAY YEN

11. Mural Menolak Lupa - Line Today












































Image captionAnggota DPR Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso (tengah) dibawa ke mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/03)