Thursday, October 1, 2020

Wkwkwkkkk.... Pinangki

Tertawalah seakan negeri ini baik-baik saja.

Ungkapan itu akan menjawab kenapa pagi ini saya harus tertawa. Jika dengan jawaban itu kamu masih juga belum mengerti, ya tidak masalah. Ketawa saja. Ketawa kadang tidak harus untuk dimengerti dan diberi alasan.


Pagi ini, saya iseng membuka rekaman di Youtube mengenai persidangan jaksa Pinangki. Saya juga melihat ulasan Aiman di akun Youtube Kompas TV berjudul "Ada yang Hilang Dalam Persidangan Kasus Jaksa Pinangki".

Akan tetapi, bukan angle itu yang membuat saya ketawa. Ada yang tak biasa dari penampilan Pinangki. Memasuki ruang sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, ia tampak anggun. Balutan masker ditambah face shield tidak mengurangi kecantikannya. Sorot matanya dalam tertangkap kamera.

Pinangki mengenakan baju gamis berwarna pink. Selaras dengan rompinya. Bagi saya, inilah penampilan teranggun seorang pinangki dari sekian banyak foto yang beredar sejak sosoknya jadi trending news di republik ini, beberapa pekan lalu. Dan justru karena itu saya harus tertawa.

Loh kok? 

Begini awalnya. Beberapa tahun lalu saya pernah dikagetkan oleh penampilan dua orang pemuda yang dibawa ke kursi terdakwa di depan majelis hakim. Saya hadir sebagai saksi. Kaget karena saya hampir tak mengenali keduanya. Berbaju putih lengan panjang, celana kain gelap, lengkap dengan songkok hitam. Sopan sekali. Mirip kawan santri di kampung saya.

Beberapa bulan sebelumnya saya melihatnya di ruang penyidikan Reskrim Polresta Samarinda. Badan keduanya gempal. Penuh tato. Rambut gondrong. Sorot matanya liar dan buas. Saya baru yakin keduanya adalah orang yang sama, setelah hakim menanyakan namanya.

"Mungkin selama di tahanan mereka telah banyak mengaji," kata saya membatin saat itu. 

Sungguh saya berharap mereka menjadi lebih. Masih muda. Tenaga kuat. Masih panjang jalan terbuka. Namun setahun lebih berikutnya, saya mendengar keduanya tertangkap lagi. Kasus yang sama. Hanya beda tempat. Saya sempat mengintipnya saat mereka menjalani sidang kembali.

Terperangah saya melihatnya. Penampilannya sama persis: ala santri. Baru saya menyadari penampilan macam itu ternyata jamak dilakukan oleh para terdakwa. Beberapa ruang sidang lain di pengadilan itu juga menghadirkan terdakwa dengan penampilan sama. Saya tertawa melihatnya.

Maka, kali ini saya tak lagi kaget ketika menyaksikan penampilan Pinangki dalam sidang di pengadilan Tipikor melalui Youtube. Bukan dengan toga. Melainkan gamis lengkap dengan hijab pink. Ia adalah sang jaksa yang menjadi terdakwa. Koleganya pun menjerat dengan pasal pun berlapis, yakni Pasal 5 huruf b UU N0 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, dan Pasal 3 UU N0 8  Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Asli itu membuat saya langsung ngakak. Panggung lawak akan membuat saya terpingkal tapi panggung sidang membuat kita menjadi bahlul. Inilah kebahlulan yang masih terus dipertahankan di era modern, era digital seperti saat ini.

Lebih ngakak dari saat kita membaca kisah tokoh majenun Don Quixote, yang telah menjadi kelaziman satire selama berabad-abad.  

Salah satu adegan terlucu pada novel setebal lebih 1000 halaman karya sastrawan Spanyol, Miquel de Cervantes itu adalah saat Don Kisot (begitu kita biasa melafalkannya) menaiki kuda kurusnya memakai panci sebagai tutup kepala. Dengan cara itu ia menghela Rocinante -- nama kuda itu -- serta menyerang kincir angin karena ia yakin itulah gergasi (raksasa).

Melihat tampilan setiap terdakwa di ruang sidang  yang macam itu, entahlah apa yang ada di benak para hakim, panitera, jaksa, dan pengacara. Biasa, segala macam aturan yang kita buat akan disertai dengan landasan akademis, pertimbangan yuridisnya. Apakah adegan macam ini termasuk?

"Entahlah, tapi mungkin biar tak terlihat kalau rambutnya berdiri krn tegang," jawab Prof Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Jawaban Mahfud MD dalam ciutannya saat menjawab pertanyaann senada mengapa banyak terdakwa harus berpeci, mengisyaratkan ada saatnya kita harus tertawa dalam melihat sesuatu. Bukan berarti tak serius. Justru kelucuan itulah hakikat dari tingkat keseriusan. Ia mampu menembus sekat-sekat hukum, realitas sosial dan demokrasi. Ngakak juga akan membuat kita belajar rendah hati.

Air Hitam, 1 Oktober 2020