Saturday, February 27, 2021

A Whiter Shade of Pale

INI memang tembang jadul. Sangat jadul. Bisa dimengerti kalau generasi now tidak familiar. Saya sendiri belum lahir saat vokalis Procol Harum, Gary Broker menyanyikannya pertama kali tahun 1967. Lagu ini sempat lama bertengger di posisi #1 BBC. Juga di AS, di posisi #5.

Tetapi, kalau Anda pernah jatuh cinta, lagu ini pasti masih selalu evergreen. Saya yakin Anda pun akan merasakan apiknya sentuhan organ Matthew Fisher berkomposisi dengan melodi Ray Royer dan lirik metaforik yang dirajut oleh Keith Reid. Begitu psikedelik. Merasakan ikut hanyut dalam kepedihan yang dialami dua insan muda itu. 

Frasa-frasa liriknya memang kurang lazim pada era itu. Banyak kritikus yang menilainya sebagai karya progresif. Penafsirannya pun menjadi beragam. Ada yang menafsir bahwa lagu ini sebenarnya bercerita mengenai kepedihan cinta yang dialami sepasang kekasih pada detik-detik kapal Titanic menabrak gunung es pada 14 April 1912 pukul 23.00.

/We skipped the light fandango// 



Frasa ini disebut-merujuk pada suasana malam kemeriahan pesta di kapal itu. Tak pernah mereka duga kapal super mewah yang mereka naiki dari pelabuhan Southampton, Inggris ke New York City akan mengalami naas di pelayaran perdananya, bencana setragis itu. Fandango merupakan tarian bersama yang sangat populer di Spanyol. Sering pula dibawakan para Spanish America yang tengah kasmaran. 

Ada beberapa momen dramatis yang tersaksikan sebelum kapal patah dan akhirnya tenggelam di dinginnya dasar samudra Atlantik pada pukul 02.20 tanggal 15 April 1912. Tentu saja, tafsiran setiap orang bisa berbeda, dan tidak harus seperti itu. Penikmat lagu ini bisa menafsir sesuai kemampuan dan pengalaman kisah cintanya.

Dalam sebuah wawancara dengan Uncut Magazine, Keith Reid mengaku tak menduga akan muncul begitu banyak tafsir atas lirik lagu yang ditulisnya. "Ini sebenarnya semacam film, sungguh, mencoba membayangkan suasana hati dan menceritakan sebuah cerita. Tentang sebuah hubungan. Ada karakter, lokasi, ada perjalanan."

Bagi saya, jawaban Reid tetap samar. Masih ada teka-teki setting yang entah kenapa ia sembunyikan. Dan ia tak menampik anggapan itu. 

"Saya membuat teka-teki yang sesuai dengan bagian yang Anda miliki. Anda tinggal mengisi gambar itu, menemukan sisanya yang cocok dengan bagian itu." 

Apa pun itu saya juga tak mau ambil pusing dengan beragam tafsiran atas lagu itu. Saya juga tak mau terjebak dalam silang sengkarut royalti yang diperebutkan. Cukuplah kalau saya mengalami efek psikedelik ini. Merasakan haru biru hati saat mendengar kembali lagi itu dalam scene akhir film "The Net" yang dibintangi Sandra Bullock. Aransemen baru yang dibawakan Annie Lennox membuat saya semakin hanyut. Lagi-lagi hanyut deh...


Air Hitam, 27 Pebaruari 2021

 #StoriesWeekly

Saturday, February 6, 2021

Dalam Diam Aku Berputar

JUDUL itu bukan kalimat Albert Einstein. Tapi saya menjadi tergelitik setelah tertarik membaca beberapa buku karyanya serta astrofisikawan lain, lalu menuliskan judul itu sebagai tesis tentang apa yang saya pahami.

Dulu, waktu di bangku sekolah, saya beranggapan profesor berambut jabrik dan wajah golliwog itu
hanya sebatas persamaan sederhana E=mc2. Ya, itu saja. 

Sejalan dengan ketertarikan saya terhadap jagad raya secara amatir, saya pun tergoda untuk mencari tahu lewat buku-buku fisika modern. Saya mencoba memahami, meski tergagap. Saya mengalami disleksia. Tapi masa bodoh. Tetap saja saya nekat membacanya. 

Saya pikir Tuhan memang sengaja menggunakan bahasa yang universal -- bahasa matematika -- untuk berkomunikasi dengan mahluk-Nya, agar kita mau berpikir.

Saya lalu mengenal teori relativitasnya, kendati cuma sebatas kulit ari. Yang bersama dengan mekanika kuantum menjadi dasar untuk bisa lebih memahami jalan pikiran sejumlah ilmuwan mengenai semesta. Termasuk jalan pikiran Stephen Hawking yang begitu terobsesi menemukan satu teori tunggal -- theory of everything guna menjelaskan semua fenemona yang terjadi di jaga raya -- yang membuatnya bahkan berpikir lebih radikal: "... dengan begitu kita akan tahu nalar Tuhan."

"If we discover a theory of everything... it would be the ultimate trimph of human reason - for then we would truly know the mind of God," tulisnya dalam buku "The Brief History of Time: From Big Bang to Black Hole".

Saya mencoba ikut memahami awal kelahirannya, proses tumbuh besar hingga bagaimana kematiannya kelak. Saya coba memahami diasporanya. Dari nol waktu (imaginary time, lebih tepatnya) yang dulu hanya sekumpulan partikel seukuran satu atom tunggal (subatomik) tapi dengan tingkat kerapatan, temperatur dan tekanan yang tak terhingga. 

Fenomena singularitas ini yang diyakini memunculkan big bang, yang dengan hentakannya yang sangat kuat membuat jagad raya ini terus berkembang begitu meluas. Dari kejadian itu lalu muncul ruang. Ada ruang, maka konsekwensinya muncul pula waktu. 

Pengukuran terakhir melalui metode Cosmic Microwave Background (CMB) atau mikro gelombang kosmik milik Badan Antariksa Eropa yang dirilis Live Science (17/7/2020) berjudul Oldest Surviving Light Reveals the Universe's True Age menyebut alam semesta ini telah berusia 13,77 miliar tahun plus minus 40 tahun tahun.

Einstein telah banyak menelorkan teori,hukum fisika dan pernyataan filosofis yang dijadikan rujukan banyak orang. Tapi, dari sekian banyak ungkapan filosofis itu, ada satu yang memaksa saya terjeda. Saya merasa perlu berdiam diri dulu sejenak. Merasakan harmoni atom dan molekul oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen dan berbagai molekul organik lainnya yang terus begerak setengah abad lebih dalam tubuh saya. Tanpa henti.

"Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving" Begitu pesan Einstein yang disalin oleh Walter Issacson dari bahasa aslinya. 

Ungkapan itu saya baca di buku "Einstein: His Life and Universe" yang ditulis Walter Isaacson. Dia menulis buku setebal 675 halaman itu dengan sangat memikat. Bahkan lebih memikat menurut saya ketimbang biografi untuk Steve Jobs. 

Risetnya terhadap ribuan sumber arsip yang telah berserak di sejumlah negara, termasuk terhadap arsip yang tidak di-publish, menunjukkan ketekunan dan kedalamannya. Sehingga ia mampu menyajikannya secara utuh, dalam perspektif yang lebih obyektif.

Penting sekali saya kira bahwa buku biografi mestinya memang tak cukup hanya berisi selebrasi atas pencapaian seseorang. Pada sosok yang sudah melegenda seperti Einstein, acapkali penulis mudah terjebak dan lupa bahwa sebesar apa pun sosok itu, dia adalah orang yang sama seperti kita: seseorang yang juga diwarnai dengan kisah tragedi.

Di atas ungkapannya itu, Issacson memasang gambar hitam putih Albert Einstein sedang mengendarai sepeda onthel. Ia tampak agak oleng mengendarainya. Mungkin akan segera jatuh ke kiri kalau saja ia tidak terus berusaha memancal pedal sepedanya.

Kalimat itu terlacak dalam surat yang ditujukan untuk anaknya, Eduard. Surat yang kini tersimpan di Universitas Hebrew (Ibrani), Jerusalem itu dikirim pada 5 Pebruari 1930. Saat itu, anak lelaki keduanya menderita skizofrenia, sejak usia muda. Sejumlah referensi menyebut gejala itu ia alami saat jatuh cinta kepada wanita yang lebih tua di universitasnya.

Eduard mewarisi kecerdasan ayahnya. Ia mempelajari ilmu kedokteran dan terobsesi menjadi psikiatri seperti Freud. Nilainya cumlaude di semua pelajaran. Namun siapa sangka bukannya mengobati pasien, malah ia sendiri yang perlu bantuan dan harus ditangani tim psikiater di sanatorium Burghozi, Zurich. Ada memang yang beranggapan Eduard hanya mengalami disleksia, seperti pernah dialami ayahnya saat kanak-kanak, toh ia tetap dirawat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya hingga matinya di klinik itu.

Einstein menulis surat itu dalam bahasa Jerman. Aslinya berbunyi: "Beim Menschen ist es wie beim Velo, Nur wenn er fachrt, kann er bequem die Balamce halten". Barbara Wolff, petugas arsip di universitas tersebut, membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris yang jika diindonesiakan berarti: "Seperti orang bersepeda. Hanya dengan terus mengayuhlah seseorang dapat mempertahankan keseimbangannya dengan baik."

Tetapi yang kemudian muncul di buku Issacson, entah kenapa berubah menjadi kalimat lebih ringkas seperti yang saya nukil di awal. Ada sedikit perbedaan penerjemahan dari bahasa asli jika dibandingkan dengan versi Roger Highfield, editor sains di London Daily Telegraph. Highfield dalam biografi dengan subyek yang sama berjudul "The Private Lives of Albert Einstein" (1994) juga menggunakan kutipan itu dalam bukunya.

Namun ia lebih mengutamakan kata 'people', bukan 'life' seperti pada buku Issacson. Ungkapan dalam sepucuk surat Einstein itu sejatinya memang berisi nasihat tentang pekerjaan kepada Tete -- panggilan sayang ayahnya untuk Eduard. Ia sebut, obat terbaik bagi perasaan melankolis adalah dengan bekerja keras. Einstein berharap dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan akan membuat anaknya tidak terus-terusan tenggelam dalam dunia lain.

"Betapa bermanfaatnya pekerjaan bagimu. Bahkan seorang jenius seperti Schopenhaeur jadi tidak bermakna tanpa pekerjaan". 

Ia kemudian melanjutkan pesannya bahwa hidup itu seperti sebuah sepeda. Karena seseorang akan dapat menjaga keseimbangan hanya jika dia terus bergerak. Kata 'seseorang' dalam kalimat itu mengarah kepada 'people', sekali lagi bukan 'life' seperti ditulis Issacson. Tapi di buku yang saya nukil di awal, Issacson menerjemahkannya dari bahasa asli ke bahasa Inggris dengan mengubahnya menjadi: "Life islike riing a bicycle, to keep your balance, you must keep moving" - Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Agar tetap seimbang, kamu harus tetap bergerak.

Versi Issacson menggunakan kata 'life' atau kehidupan sebagai subyek. Bukan 'people" (seseorang). Adanya dua versi kutipan ini terkadang membingungkan. Tetapi, apa pun itu, pesan Einstein menyentuh ke skala yang lebih luas. Bukan cuma terhadap seseorang. Melainkan pada seluruh atmosfer kehidupan jagad raya.

Tidakkan kita semua memang sejatinya sedang dan terus bergerak? Berputar!!! 

Bumi bersama planet lainnya berputar mengelilingi pusat tata surya, matahari. Tata surya bergerak dan berputar mengelilingi galaksi Bimasakti. Galaksi Bimasakti dan galaksi lainnya berotasi dan berevolusi terhadap black hole.

Dalam skala mikrokosmos pun begitu. Sebuah partikel kecil subatomik. Elektron misalnya sains telah membuktikan ia berputar-putar mengelilingi inti atom. Adanya medan elektromagnetik yang kuat dan berinteraksi sehingga menyebabkan gerakan elektron ditambah oleh tarikan dari inti atom, maka bakal menimbulkan gerakan berputar. 

Dan karena kita mengandung unsur atom dan molekul, maka saya dan Anda semua yang kelihatan diam, sejatinya sedang berputar. Berputar kemana? Mengikuti poros perputaran Bumi. Bumi kita tahu berputar pada poros dengan kecepatan 1600 km/jam. Jadi, meski kelihatan diam, tubuh kita sedang dan terus bergerak berputar dengan kecepatan minimal segitu. 

Sebagai gambaran, pesawat lebar Boeing 747 400 atau jombet jet yang biasa dipakai melayani penerbangan jarak jauh ke Amerika, hanya mampu terbang paling cepat 909 km (0,85 mach). Anda bisa bayangkan, betapa cepatnya tubuh kita selama ini telah bergerak.

Dan tidak satu pun mahluk di jaga raya ini yang bergerak lurus. Kita naik pesawat lurus menuju timur, terus dan terus.Ternyata kemudian kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita terbang ke AS, mau lewat barat maupun timur tetap akan sampai tujuan juga. 

Tergantung maskapai apa yang akan kita pilih. Kalau naik maskapai Eropa kita akan diajak lewat barat. Jika kita naik maskapai Jepang, Korea, China, Australia atau China biasanya kita akan diajak lewat timur, menyeberangi samudra Pasifik. Artinya apa? Ini melojikkan bahwa Bumi itu memang bukan datar.   

Begitulah, dalam diam kita, manusia sejatinya terus berputar. Dan itulah keseimbangan. Karena itu penting bagi kita untuk terus bergerak. Sebab saat kita benar-benar "diam", maka itulah awal kejatuhan kita.

Air Hitam, 6 Pebruari 2021

#WeekendStory #StayAtHome #AlbertEinstein #DalamDiamManusiaBerputar #AlamSemesta

Wednesday, February 3, 2021

Menjadi Terhormat


"Ingin menjadi orang terhormat? Jadilah anggota Dewan Perwakilan Rakyat!"

BrE mungkin sembarang klaim ketika menuliskan cuitannya itu di akun Twitter-nya. Sekedar berseloroh. Ia memang senang bercanda. Kami kawan seangkatan di Taman Kanak-kanak di kampung. Lama tak bersua setelah kami berpisah pulau dan berbeda profesi. Terakhir kali bertemu dalam reuni. Tidak ada yang keliru dengan kicauannya. Sudah dua pariode ini ia menyandang label Yang Terhormat itu.

Suka tidak suka, memang inilah satu-satunya lembaga di negeri ini yang memberikan atribut "Yang Terhormat" bagi para anggotanya. Silakan cek, adakah pekerjaan atau bentuk pengabdian lain yang dapat pengakuan lugas setinggi itu? Gak ada! 

Profesi semulia guru saja tidak pernah disebut sebagai Yang Terhormat. Pun presiden. Orang nomor satu. Penguasa negeri ini. Presiden beserta para punggawanya harus berjuang lagi dengan sangat keras jika mau mendapat pengakuan itu. Mungkin akan dapat nanti, saat anumerta. Saat banyak orang merasa kehilangan. 

DPR sangat menghargai kerja keras para anggotanya. Mereka sangat mafhum. Bahwa tak mudah bagi para anggotanya bisa duduk di kursi itu. Mewakili suara rakyat. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan hitam putihnya panggung politik.

Bisa lolos saja sudah perjuangan besar. Berdarah-darah. Menguras keringat, pikiran, energi. Pun kadang tak sedikit harta yang dikorbankan. Karena itu tidak pernah mempermasalahkan siapa kamu. Apa pun warnamu. Mau putih, kuning, biru,  hijau, merah, bahkan hitam sekalipun akan diterima. Lets welcome. Kamu mendapat kepecayaan langsung dari rakyat. Dan itulah kerhormatan.

Bagi sebagian wakil rakyat, panggilan Yang Terhormat akan sangat penting. Guna menjaga martabat dan marwah sebagai pejabat negara, katanya.

Pernah kolega BrE marah besar. Masalahnya mungkin tedengar sepele bagi rakyat. Tapi tidak bagi para wakilnya. Suatu hari dalam rapat dengar pendapat dengan lembaga antirasuah. Suasana gerah dan kaku. Gegara tak satu pun dari lima pimpinan lembaga antirasuah itu yang memanggil dengan sebutan "Yang Terhormat".

"Saya menunggu dari tadi, tidak pernah terucap 'Anggota Dewan yang Terhormat'. Pak Presiden saja kalau ketemu, dia katakan 'yang terhormat.' Pak Kapolri mengatakan 'yang mulia. Tapi tak satu pun dari saudara-saudari yang mengucapkan itu!."

Apakah BrE orang semacam itu?

BrE mengaku duduk di sana bukan untuk mencari label kehormatan. Tanpa label itu, toh ia sudah serta selalu dihormati oleh keluarga, kolega, dan karyawannya. Kehormatan menurutnya akan melekat pada integritas seseorang. Ketika orang berharap label itu, mungkin ia akan mendapatkannya. Tetapi ingat, di balik setiap kehormatan macam itu mengintip kebinasaan.

Ia maju kembali sebagai anggota dewan, akunya karena dorongan rakyat. 

"Sebelumnya, dengan lima perusahaan yang saya miliki, paling banter aku cuma dapat menghidupi 200 karyawan. Anggaplah mereka punya tiga anaknya, maka hanya kepada 1000 orang itu saja saya mampu berbuat," dalih BrE.

"Akan berbeda kalau kita berada di dalam, bagian dari sistem. Kita tentu akan bisa berbuat lebih besar dan untuk lebih banyak orang dengan memperbaiki sistem," kata BrE lagi bersamaan dengan standing ovation

BrE menyampaikan itu saat didaulat bicara pada temu alumni lima angkatan TK Bunga Bangsa Tuban. Taman kanak-kanak ini terletak di kampung Arab, hanya sekitar 400 meter dari pendopo kabupaten. Sekolah kami memang sangat strategis. Memandang depan akan nampak alun-alun kota yang luas dengan pohon beringin rindang di tengahnya. 

Di seberang jalannya berdiri bangunan klenteng tua dengan pantai boom yang indah. Menoleh ke kiri akan melihat keramaian. Bus-bus pariwisata berjajar parkir di depan masjid jami. Mereka menurunkan rombongan para peziarah wali songo yang berjejal menuju makam Sunan Bonang, samping belakang masjid. Karena itu banyak pejabat, camat, petinggi, kamituwo, hingga modin yang menitipkan anak-anak mereka di sini. 

BrE yang dulu pendiam, kali ini terlihat berbeda. Pandai bertutur kata. Lantang suaranya menegaskan  kesiapannya mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Ingin terus memperjuangkan nasib wong cilik seperti kebanyakan warga kampung kami yang hidup pas-pasan. Pas itu artinya gak kurang gak lebih. Kalau ternyata masih gak pas, ya harus dipas-paskan. Sebab negara kadang terlalu jauh untuk melihat kesulitanmu saat gajimu terkikis inflasi tinggi yang terus membayangi.

Beruntung sebagian besar alumni telah menjadi orang-orang sukses. Setidaknya itu terlihat dari busana yang mereka kenakan dan jenis tunggangan yang dibawa. Meski ada segelintir yang harus puas dengan hanya menjadi sekuriti gudang, seperti Ngadiran. Itulah kehidupan. Di kelas, dulu ia paling jago. Suka bikin onar. Ada saja yang dibuatnya menangis setiap hari, setiap kali ia ikut bergabung main.

Ada kawan lainnya yang memilih nganvas barang, sopir angkot, dan menjadi tukang. Tukang apa saja. Ada tukang batu seperi Suraji. Sudah 30 tahun menekuni pekerjaannya. Namun keinginannya untuk memperbaiki rumah warisan yang berdinding gedhek belum juga kesampaian. Ada pula tukang arloji, tukang kayu, hingga tukang gigi. 

"Dokter gigi Sudarso, masih inget kan?" candanya kepada saya di sela jamuan. 

Ia enggan disebut tukang gigi. Kios kecil di pasar atom miliknya sengaja tidak bertuliskan "tukang gigi" melainkan "Ahli Gigi".

Sekitar 44 tahun tak bertemu selepas wisuda TK, Darso terlihat manglingi. Lebih gemuk. Lebih berlemak, apalagi dengan tinggi cuma 155 cm. Kepalanya nyaris licin. Selicin landasan pacu Bandara Kennedy di timur Amerika saat diselimuti butiran salju. 

Tapi satu yang tak berubah darinya adalah senyumnya: masih lebar dan menghanyutkan. Ia  memang ramah kepada siapa saja. Selalu memamerkan senyum pepsodent-nya. Saat kebanyakan kami dulu bergigi keropos, hitam dan tanggal sana-sini karena doyan ngemut permen, dialah satu-satunya anak yang masih bergigi lengkap. Rapi dan putih lagi. 

Di depan kelas dulu, ia menyatakan cita-citanya ingin menjadi dokter gigi. 

"Aku juga tak tahu pasti. Entah, apa karena salah dalam memilih cita-cita atau salah ambil jurusan. Tak tahulah. Tapi tak apa. Setidaknya saya masih mampu di jalur kegigian, membantu mereka yang perlu gigi palsu. Sebuah kehormatan masih bisa berguna," kata Darso saat kutanya apa yang terjadi dengan cita-citanya dulu.

"Ada diskon besar loh. Buat alumni seperti kamu apa sih yang gak bisa. Kebetulan ini masih ada heat curing acrylic tersisa," ajaknya sungguh-sungguh. "Diskon 60 persen. Bisa diangsur!"

Kami tertawa lepas. Kali pertama dalam hidup saya bisa tertawa selepas ini. Tanpa ragu. Benar-benar lepas. Di depan tukang gigi, saya pikir tak perlu malu-malu bahwa ada dua gigi garaham saya yang copot.***

Air Hitam, 3 Pebruari 2021

#YangTerhormat #ReuniTK #WakilRakyat #Integritas