Wednesday, November 4, 2020

Pemimpin Edan

BAGI kebanyakan politisi, hidup sederhana adalah ketidaklaziman. Maka, akan menjadi aneh, edan dan merakbal apabila masih ada orang yang menjalani keseharian hidup seperti Hatta.

Salah satu keedanan wakil presiden pertama cum proklamator RI yang dikenang masyarakat adalah kisah mengenai keinginannya memiliki sepatu Bally. Suatu ketika, dalam lawatannya ke luar negeri, Hatta terkesima melihat sepatu di sebuah etalase butik. Tahun 1950-an, Bally dikenal karena kualitasnya yang tinggi. Sudah tentu harganya tak murah.

Hatta lalu berusaha menabung. Sekian lama menabung rupanya uang tak kunjung terkumpul cukup. Ada saja terambil untuk berbagai keperluan mendesak. Kerabat datang butuh bantuan, ia rogoh celengan. Orang rumah kehabisan sesuatu, kurang ini-itu, lagi-lagi harus ambil celengan. Hingga akhir hayatnya, sepatu itu tak bisa terbeli.

Tak terbayang ada seorang wakil presiden tidak mampu membeli sepatu. Ya, cuma sepatu! Padahal kalau ia mau memanfaatkan sedikit saja pengaruhnya, sangat mudah baginya untuk mendapatkan sepasang sepatu itu. Bahkan mungkin bukan cuma sepatu. Butiknya pun jadi.

Cukup telepon kawan pengusaha atau duta besar dengan joke halus dibumbu dehem-dehem kecil, tentu mereka akan mengerti. Akan dengan senang hati mengulurkan tangan. Mereka pun akan menggaransi bahwa itu bukan hadiah. Bukan pula sogokan. Ini hanya oleh-oleh kecil dari seorang kawan lama yang kebetulan baru pulang dari melintas benua, kilah mereka.

Tapi itulah Hatta. Hatta bukan Bung Karno. Ia lebih memilih jalan sulit dan lama. Itu pun gagal. Saat Yuke -- sapaan untuk istri tercintanya yang ia nikahi dengan mas kawin sebuah buku, yang membuat ia mendapat protes keras dari keluarganya  -- tidak mampu membeli mesin jahit idamannya pun, Hatta hanya dapat meyuruhnya bersabar, bersabar dan menabung.

Publik baru terhenyak saat keluarga Hatta menemukan guntingan iklan yang terlipat lecek di dalam dompetnya, tak lama setelah penguburannya di pekuburan rakyat TPU Tanah Kusir Jakarta, 15 Maret 1980. Guntingan itu berisi alamat toko penjual sepatu Bally. Ia menjadi saksi bisu atas hasrat sederhana yang terpendam seorang wakil presiden.

Kisah ini kemudian menyebar luas. Sepertinya tak seorang pun politisi di negeri ini -- mudahan pula termasuk mereka yang lagi berjuang di Pilkada 2020 ini -- yang tak pernah mendengar kisah harunya. Iwan Fals yang turut kehilangan lalu mendedikasikannya dalam lagu "Bung Hatta".

// Terbayang jelas jiwa sederhanamu// Bernisan bangga, berkapal doa// Dari kami yang merindukan orang sepertimu//

Iwan Fals dan semua rakyat mengenangnya. Merindunya. Akan tetapi banyak politisi tak terlalu butuh untuk dikenang dan dirindukan dengan cara itu. 

Mereka memilih untuk waras.

*****

BAGI mereka, materi dan penampilan mapan jauh lebih nyata. Lebih mudah mendatangkan rasa kagum sekaligus hormat. Dan karena itu mereka pikir harus berada pada posisi lebih tinggi dari rakyat yang dipimpin dan yang diwakilinya. Dalam segala hal. Terutama soal penampilan. 

Itulah nikmatnya hidup di republik ini, alam demokrasi abad 20. Demokrasi memungkinkan seseorang dipoles mulus sepesok apa pun bodi di dalamnya. Aroma citranya membius. Bahkan, kalau pun harus berbagi kepada kaum miskin dhuafa, demokrasi menyediakan ruang terbuka lebar untuk sekaligus meningkatkan citra.

Citra adalah segalanya bagi demokrasi. Maka, dengan kendaraan cabriolet mewah miliknya, seorang politisi kota yang cerdik akan mengemasnya sedemikian rupa. Ia berdiri gagah di kap atas yang terbuka dengan bergepok-gepok uang kertas merah dan biru. Berputar-putar di jalanan kota. Melambai-lambai tangan. Uang pun dihambur. 

Rakyat berkejaran. Berebutan. Saling sikut demi menangkap lembaran-lembaran uang yang meliuk-liuk berterbangan tertiup angin, bak layangan putus.

Ia menikmatinya. Girang hatinya melihat semua kelucuan itu. 

Orang-orang berlarian. Lalu begitu saja meninggalkan gerobak pentol rebusnya. Pedagang sayuran sigap meninggalkan lapaknya. Pembeli melongo. Sejenak kaget dengan apa yang terjadi. Yang lebih menarik, mereka kemudian ikut berlarian bersama para tukang becak, penjual kacang rebus, tukang bangunan hingga mahasiswa yang tengah melintas. Dan berebut.

"Senang bisa berbagi dan melihat semua ini," katanya dengan tertawa lebar. 

Puas. Ia seperti mendapat mainan baru. Belasan kamera menjepretnya. Wajah dan aksi sosialnya cepat tersebar luas. Dari mulut ke mulut. Dari kuping ke kuping. Dari hape ke hape. Menembus sekat-sekat ruang rapat parlemen hingga dinding-dinding tebal Istana.

"Ternyata sama dengan kami. Penampilan, merek dan apa yang kita pakai itu penting bagi profesi kami. Bisa ikut mendongkrak daya tawar kami di mata klien, dan ente tahu itu artinya fulus!" Seloroh teman pengacara mengomentari ulah politisi itu. Kawan saya ini suka sekali mengoleksi mobil-mobil mewah Eropa, hingga jam tangan branded Ricahrd Mille. Klien pun jadi segan. Tak mungkin menawar dengan harga kecengan.

 

*****

KUDA Arab memang bukan tandingan kuda Sumbawa. Menunggangi Alpard tentu berbeda sensasi dan impact-nya dibanding mobil angkot. Justru kalau ada politisi yang masih nekat pakai angkot dan motor jangan-jangan ia malah akan dicap edan. Dijauhi kolega di dalam maupun di luar fraksi. Lalu terhunjam dalam kubangan dalam dituding sedang pencitraan.

Oalah...kok ya terbolak-balik toh jadinya zaman ini. Inikah yang disebut zaman edan?

Zaman yang oleh Prabu Jayabaya (konon digubah Sunan Giri Prapen dalam kitab Asrar) digambarkan saat "wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat". Orang baik tersingkir, sebaliknya yang licik jahat, lagi munafik malah mendapat kedudukan. Zaman saat tata nilai buruk mengalahkan tata nilai baik. Terjungkir balik (wolak walik ing jaman) sebagaimana persepsi orang edan terhadap kewarasan. 

Mereka memilih untuk tetap waras. Caranya? 

Nyemplung sekalian. Ikutan edan. Kalau tidak, maka tak akan kebagian. Akan miskin dan pas-pasan. Itulah kewarasan. Itulah penyikapan pragmatis atas situasi sosial masyarakat -- berikut carut marutnya sistem dan praksis kepartaian dewasa ini -- yang penuh intrik dan kecemasan.

160 tahun lalu, fenomena demikian sebenarnya pernah terjadi seperti tersirat dalam serat "Kalatidha" karya Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Serat ini bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya dalam "kalabendhu" (zaman kekaauan) yang ditulis Raja Kediri pada abad 12. 

Juga tidak berarti Ronggowarsito terpengaruh oleh kegelisahan Cicero (106 SM - 48 SM). Ia negarawan plus penutur dan penulis prosa terkenal di akhir kejatuhan republik Romawi yang hidup di zaman edan saat itu. Ia sahabat sekaligus pengkritik terbesar Julius Caesar.

"O tempora! O mores!" kata Cicero keras. Itulah kalimat pembuka saat ia memulai debat melawan politikus Roma di hadapan Senat Romawi tahun 63 SM. Artinya, "Oh, zaman apakah ini! Oh, akhlak macam apakah ini!"

Kalatidha adalah karya sastra bentuk tembang Sinom, sehingga sangat mungkin bait-bait yang ditulisnya merupakan gambaran realitas sosial politik kasunanan saat itu. Membaca judulnya saja banyak orang akan terprovokasi. Kala = waktu, tidha = ragu. 

Dua diksi itu ketika disatukan akan mudah dikonotasikan sebagai zaman keraguan, penuh ketidakpastian. Akan tetapi, banyak orang kemudian mengartikannya sebagai zaman edan. Mungkin karena menangkap pesan dari bait ketujuh yang kondang itu. Zaman edan adalah ketika orang-orang sukses didominasi orang-orang cerdik dan licik. 

Inilah zaman dimana "wong jujur ajur, wong olo mulyo". Orang jujur malah hancur (nasibnya tidak beruntung), ditinggalkan kolega dan orang-orang sekitar yang buruk moralnya. Justru orang-orang tak berintegritas (olo) mendapat kedudukan, pangkat, kekuasaan karena ia mau dan berani menghalalkan segala cara.

Kita yang tidak di hidup di era itu, lantas curiga dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apakah terkait kolusi, korupsi dan nepotisme? Terkait maraknya praktek pokrol bambu dan hukum kotor yang dianggap kelaziman? 

Ditulis sekitar tahun 1860, masyarakat Jawa biasa membagi serat 12 bait ini ke dalam tiga bagian pupuh sinom ini. Bagian pertama (bait 1-6) berisi kondisi tanpa prinsip. Bagian kedua (bait 7) berisi tekad untuk mawas diri, dan bagian ketiga (8-12) berisi pepeling agar kita untuk selalu taat pada ajaran agama. Tetapi, bait ketujuh inilah yang paling dikenal.

//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ Melu edan nora tahan/ yen tan milu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren wakasanipun/ Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada//

Makna syair ini secara garis besar menyebut: Hidup pada zaman edan memag serba repot. Mau ikut edan hati tidak sampai. Kalau tidak ikut edan, tidak akan kebagian apa-apa. Malah akhirnya akan kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimana pun beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

Zaman  ketika "wong lugu kebelenggu - wog mulyo dikunjoro". Orang lurus terbelenggu, tidak mendapat tempat. Begitu pula orang mulia yang sehari-harinya menegakkan amar makruf nahi munkar malah banyak masuk penjara.

Seperti Cicero, Ronggowarsito mengungkapkan kegelisahan orang yang hidup di zaman edan. Yakni orang-orang yang ragu, yang tidak ingin terikut gila. Karena itu ia sebut serat ini sebagai serat Kalatidha. Ia sekaligus mengingatkan (pepeling) kita yang tidak satu zaman dengannya untuk selalu eling dan waspodo.


*****

POLITIK adalah jalan menuju kekuasaan. Seorang konglomerat sekali pun akan melihat politiklah jalan untuk bisa berbuat lebih banyak dan bermanfaat bagi masyarakat lebih luas, Bukan sebatas pada ribuan karyawannya saja.

Namun kekuasaan juga membuai. Memabukkan. Menggiurkan dari dulu. Sejak sebelum masehi di zaman Cicero pada Republik Romawi, Jayabaya, Roggowarito hingga era digital ini. Membuat orang sering lupa daratan, menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaannya. 

Pengkhianatan pun sangat mungkin dilakukan, sebagaimana kenyataan yang dihadapi dan membuat Cicero merasa masygul. Brutus yang pernah diampuni Caesar justru merunduk dan tega membunuh Julius Caesar.

"Politik bukan (lagi) perjuangan demi keadilan. Politik adalah profesi," kata Cicero dengan kekesalan memuncak.

Maka, manusia bisa berbuat apa demi mempertahankan ambisi politiknya. Istilah "homo homini lupus est" (manusia aalah serigala bagi sasamanya) yang tercetus dalam Asinaria (195 SM) karya Plautus -- yang kemudian dipopulerkan Thomas Hibbes dalam 'De Cive" -- tak berlebihan kalau kemudian diplesetkan menjadi manusia dapat menikam sesama manusia.

Mau edan, ikutan edan atau waras adalah pilihan. Di zaman edan seperti ini maknanya bisa terbolak-balik. Persepektifnya sangat tergantung dari kepentingan politisi. Namun ada satu yang ter pernah mau berubah, kejujuran! Nurani! 

Jika itu pilihanmu, percayalah Anda harus siap untuk dicap edan!

Air Hitam, 4 November 2020

#Pilkada2020

#JanganGolput