ADA kaya. Ada miskin.
"Ben, kamu mau jadi yang mana?" tanyaku begitu saja sambil nyeruput kopi yang baru disajikan barista di Starbuck Amplaz.
Pembicaraan kami terputus sesaat. Kami belum tuntas mengobrol soal data-data terbaru gini ratio World Bank yang ia sodorkan. Gap kaya miskin kian melebar. Kami juga singgung data terbaru Bloomberg Billioners Index yang dirilis pekan ini tentang konglomerat di tengah pandemi. Sebuah buku usang "How Rich Countries Got Rich...and Why Poor Countries Stay Poor" karya Erik S Reinert masih terjepit di genggamannya.
Ia memintaku utuk menjadikan semua bahan itu sebagai data pembanding dalam seminar di kampus besok.
Ben tidak langsung menjawab pertanyaanku. Matanya masih menatap lurus pada perempuan cantik di lobi hotel yang baru turun dari Lexus ES300-nya. Mengenakan denim dipadu kaos putih dan sepatu kets ia tersenyum ramah pada dua guest service. Sederhana, namun terlihat misterius dan rahasia. Siapa perempuan anggun itu? Putri Solo? Ah, bukan!
Mungkin Ben sekedar mengagumi kendaraan itu. Atau dua-duanya. Jarang-jarang dia begitu terpesona pada sesuatu.
Aku tahu Ben orangnya bijak. Pertanyaan itu tidak akan membuatnya terjebak untuk memilih satu di antara keduanya. Ia lebih suka berada di tengah-tengah saja. Dalam hal apa pun. Tak di atas. Tidak pula di bawah.
Kami teman sepermainan sejak kecil. Satu sekolah di kampung. Malah sama-sama aktif di OSIS. Biasa kami memilih juara sekolah sebagai ketua. Mau tidak mau harus mau. Dan ia mau, dengan syarat aku bersedia jadi sekretaris. Duet maut, kata kawan-kawan. Kami baru berpisah ketika ia harus melanjutkan pendidikan di sebuah kampus terbesar di Jogya.
"Aku pengin seperti Om Dani, jadi wartawan. Enak bisa keluar negeri gratis," kataya saat itu di sebuah stamplat bis antarkota, tempat terakhir aku mengantarnya.
Om Dani adalah wartawan harian besar ibukota. Ia adik dari ayahnya. Sering kali Ben dapat oleh-oleh buku dari negara-negara yang dikunjunginya. Tapi lebih sering kartu pos, bergambar ikon kota-kota di Asia-Eropa. "Lagi di Kinderdijk - Belanda. Terus belajar yang rajin!" Tulisan tangan itu menandai kartu pos yang dikirimnya. Ben mrengut. Mukanya berubah jadi jutek. Ia paling sebel kalau dikirimi hanya kartu pos.
Tentu saja aku gak percaya. Tak pernah menganggapnya serius. Tak pernah melihatnya menulis. Bikin sekedar coretan tangan pun tidak. Satu saja yang masuk akal bagiku. Ia gemar membaca. Tapi overall masih tetap gak nyambung antara kuliah dan cita-citnya. Ingin jadi wartawan kok kuliah di Fisika. Blas, gak nyambung!
"Ben?!" Tanyaku lagi, mengingatkan akan pertanyaanku yang belum dijawabnya.
"Ah, cukuplah. Yang penting cukup," akhirnya ia menjawab, bersamaan dengan hilangnya bayangan perempuan itu di balik lobi hotel.
"Cukup gimana?"
"Ya, cukup. Kamu tahu kan, aku gak akan mengumbar nafsu untuk jadi orang kaya. Tidak juga jatuh miskin. Artinya, cukup saat dihadapkan pada kondisi darurat yang kadang menuntutmu memecah celengan."
"Cukup, saat keluarga sakit dan perlu biaya berobat. Cukup untuk membantu tetangga atau orang lain yang kesulitan. Cukup untuk nyangoni keluarga yang datang dari jauh ke rumah. Cukup untuk nonton film apik. Cukup untuk ajak piknik keluarga saat libur tahunan. Cukuplah kalau itu bisa membuat bisa makan sehari-hari. Syukur pula kalau bisa nraktir teman, sekali-kali. Nraktir kamu, ya seperti sekarang ini," sambungnya lagi.
Ia nyerocos seperti sepur sedang langsir yang takut kehabisan solar.
"Cukup ini. Cukup itu. Cukup...cukup...cukup...Loh kok banyak sekali "cukup"nya. Lalu kapan kamu baru akan merasa cukup?" tanyaku.
"Hahahahaha... saat itulah aku cukup. Beda tipis saja dengan berke-CUKUP-an."
Ben terkekeh lebar dan panjang. Berubah menakutkan. Aku tak melihat lagi Ben yang dulu. Kawan bersama main bentik. Pernah sepenanggungan saat disiram air oleh Mbah Rahmi yang marah gara-gara ketahuan nyolong mangga gadung miliknya.
Kehidupan kata orang memang sulit ditebak. Kamu ingin kaya, eh tahunya miskin. Ingin biasa-biasa saja, sederhana, tahunya malah tajir melintir. Lalu kamu mulai diundang sana-sini. Semua orang ingin berguru. Ucapanmu yang dulu tak bermakna apa-apa, tiba-tiba dianggap bertuah. Banyak orang ingin tahu prinsip apa yang kamu pegang dan membuatmu sukses. Kamu pun jadi seleb. Pundi-pundi uang mengalir seiring dengan ketenaranmu yang terus menanjak.
Kamu mengalahkan Novanto dan Riza Chalid yang masih bermimpi. Tentu saja kamu telah belajar dari kebodohan keduanya. Bahkan kamu pun masih ingat kata per kata yang mereka ucapkan. Kamu masih terus putar rekamannya agar kelak tidak terjerumus di lubang yang sama.
"Jadi Freeport jalan,bapak itu bisa terus happy, kita ikut-ikutan bikin apa. Kumpul-kumpul. Gua agak ada bos, nggak usah gedek-gedek. Ngapain gak happy. Kumpul-kumpul. Kita golf. Gitu, kita beli private jet yang bagus, representatif. Untuk kumpul-kumpul paling 1 juta dolar," kata Riza dalam rekaman itu kepada Novanto.
"Buat kita tak ada yang rakus. Ini mutual benefit, konsepnya mutual benefit. Barangnya kita semua. Kita semua kerja. Freeport 51 kasih kita lokal, support financing. Ya, Pak?," lanjut Riza. Novanto membalas, kalau Freeport berani menjamin,semua urusan akan berjalan lancar, termasuk soal pinjaman dari Bank.
Dan Riza pun dengan entengnya berkata bahwa ia yakin Freeport akan mendapat dukungan penuh dari Presiden Jokowi. Ia menyebut,"Kalau sampai Jokowi nekat nyetop, jatuh dia."
Itulah kesalahan fatal keduanya. "Mereka tak pernah merasa cukup dengan apa yang dimiliki, ingin kaya semua." Kata Ben tiba-tiba. Beberapa saat lamanya tadi aku lihat ia tenggelam dalam kebahagiaan dan tawa sebagai orang berke-cukup-an. Syukurlah, rupanya ia masih bersamaku. Ia masih seorang Ben yang kukenal dulu.
***
KEBAYANG gak kalau semua penduduk Bumi ini kaya?
[Bersambung]
Air Hitam, 9 Januari 2021
#TheUntoldStory #BenNamaku #WeekendStory #BabVII