Tuesday, June 15, 2021

Gugatan Arbitrase, KPC Kerahkan 20 Pengacara Internasional

Laporan Wartawan Tribun Kaltim Achmad Bintoro dari Singapura



SINGAPURA, TRIBUN – Dengan total kekuatan sebanyak 20 pengacara kelas dunia, PT Kaltim Prima Coal (KPC), Rio Tinto dan Beyond Petroleum bahu-membahu melancarkan serangan kepada Didi Dermawan, pengacara Pemprov Kaltim, dalam sidang kedua arbitrase International Centre for Settlement of Investement Disputes (ICSID), Rabu (27/2) di Singapura.


Namun penjelasan Didi yang santun, merendah, dan argumentatif kemarin mampu menangkis serangan-serangan itu. Bahkan mengundang senyum anggota Tribunal dan tepuk tangan pengunjung sidang. Didi mendapat kesempatan untuk meyampaikan opening statement pada akhir sidang, setelah sidang berjalan sekitar lima jam.

Selama dua jam lebih ia membeberkan kejanggalan-kejanggalan dan tidak etisnya KPC dalam persoalan divestasi saham. Ia menekankan bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi divestasi saham KPC. Apa yang disebut divestasi oleh KPC dan para pihak tidak lebih sebagai akal-akalan guna mengindari hilangnya dominasi kepemilikan saham.

Didi mengawali orasinya dengan ucapan terimakasih kepada Tribunal yang telah menerima permohonan gugatan yang ia masukkan pertengahan 2006 lalu. Tribunal terdiri Prof Dr Gabriel Kaufhman (Ketua), Michael Hwang dan Albert Van Deberg (anggota). Secara khusus ia juga menyampaikan salam kepada para pengacara KPC dan para pihak yang disebut Didi sebagai pengacara-pengacara hebat. 

“Anda semua adalah para pengacara hebat, berbintang tujuh. Saya bangga bisa berhadapan dengan Anda,” kata Didi.

“Juga kepada Pak Todung Mulya Lubis yang tak bukan adalah dosen pembimbing skripsi saya ketika saya masih menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UI dulu. Dan salam hormat saya kepada warga Kaltim yang merelakan waktu, tenaga dan biaya untuk tiba di persidangan ini,” tambahnya.

Sekitar 40 warga Kaltim menghadiri sidang itu datang dengan pakaian adat masing-masing suku. 

Mereka duduk di bagian belakang ruang sidang di gedung Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Pihak SIAC yang memberikan fasilitas tempat terpaksa menambah kursi untuk mereka. Ketua Tim Penyelesaian Divestasi Saham (TPDS) KPC Laden Mering misalnya, tampil dengan topi dan pakaian adat Dayak Kenyah. Begitu pula Abraham Ingan (sekretaris), Yulianus Henock. Ada pula yang berpakaian adat Jawa, NTB, Bugis, Gamis, Batak, dan lainnya.


Kedatangan dan tampilan mereka sempat menarik perhatian Tribunal maupun puluhan pengacara KPC yang sebagian besar orang Barat. Gabriel menyatakan, untuk kali pertama sidang arbitrase dihadiri oleh warga biasa. 

Sedianya, sidang ini akan digelar di Washington DC, AS, sebagaimana kebiasaan selama ini. Namun karena permintaan Didi Dermawan, dan atas kesepakatan dengan lawyer lainnya, sidang kedua ini digelar di Singapura.

“Ini surprise. Terimakasih atas kedatangan bapak-ibu. Tapi kami harap anda semua bisa mengikuti aturan yang berlaku di dalam ruang sidang,” ujar Gabriel.

Hadir dalam sidang antara lain Michael P Lennon, ketua tim pengacara KPC, bersama delapan anggota timnya dari firma hukum dari Inggris, Baker Botts. Sedang dari pihak Rio Tinto/Beyond Petroleum dipimpin Todung Mulya Lubis mengerahkan 12 anggota timnya. Todung bersama timnya duduk di bagian tengah. Di sebelah kanan mereka, Didi Dermawan bersama tiga anggota timnya.

Sejak awal sidang, baik Lennon, Todung dan anggota timnya, Mattew Weinier dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, terus mempertanyakan kewenangan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim dalam menggugat mereka di ICSID. Mereka meminta Tribunal untuk menolak gugatan Didi.

Lennon misalnya, menggunakan kalimat penegasan yang diulang-ulang bahwa Pemprov bukanlah peneken kontrak PKP2B. Sehingga tidak semestinya dibolehkan menggugat di arbitrase. Begitu pula Mattew, dengan bersemangat ia mencoba menjelaskan mengenai sistem perundangan di Indonesia dengan menyitir Pasal 1 (1) UUD 45, di mana Presiden adalah pihak yang berhak untuk urusan antarnegara.

Namun Lennon seketika terdiam ketika anggota Tribunal, Albert Van Denberg dari Belanda, memintanya untuk menunjukkan bukti apakah ada aturan yang secara tegas melarang pemprov untuk maju dalam arbitrase ICSID.

“Anda dari tadi berkali-kali menyatakan bahwa pemprov tidak berwenang karena tiada surat kuasa dari pemerintah Indonesia. Sekarang tolong tunjukkan kepada kami apakah ada aturan yang melarang maju dalam arbitrase,” tanya Albert.
Sesaat lamanya Lennon terdiam. Begitu pula delapan anggota timnya yang duduk di kanan Tribunal. Sempat ia membuka-buka berkas di depanya yang tebal. Kemudian ia berkata pelan: “Tidak ada, Tuan.”

Didi dalam akhir sidang menyatakan, sesuai dengan UU No 32/2004 tentang Pemda, pemda memiliki kewenangan besar, kecuali atas beberapa hal. Yakni pertahanan/keamanan, agama, dan keuangan/fiskal. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim mengajukan gugatan arbitrase kepada KPC yang dinilai telah banyak melakukan pelanggaran hukum dan etika bisnis. Sidang masih akan berlanjut hari ini, Kamis (28/2) untuk menentukan jurisdiksi (hearing on jurisdiction). 

Dicecar Pertanyaan

Mantsn Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral Departemen ESDM Simon Felix Sembiring dicecar pertanyaan oleh Didi Dermawan dan Tribunal terkait surat yang dikeluarkannya. Surat tertanggal 10 Agustus 2006 itu intinya menegaskan bahwa Pemprov Kalim tidak berhak dan berwenang terkait dengan PKP2B, termasuk untuk mengajukan gugatan arbitrase.
Sembiring adalah satu-satunya dari tiga saksi yang hadir dalam sidang arbitrase. Dua saksi lainnya, Sekjen Departemen ESDM Waryono Karno dan Ketua DPRD Kaltim Herlan Agussalim tidak terlihat hadir.

Pertanyaan Didi terkait dengan dua surat yang dikeluarkan Sembiring yang dianggap saling bertentangan. Satu surat tertanggal 10 Agustus 2006, Sembiring menegaskan tidak ada hak dan wewenang bagi Kaltim untuk membeli saham KPC, termasuk dalam penuntutan arbitrase. Namun pada suratnya yang lain, Maret 2004, ia menyatakan setuju atas pembelian saham KPC 18,6 persen oleh Pemkab Kutim. Jual beli itu, menurut dia, selaras dengan PKP2B.

“Kalau dasarnya PKP2B, kenapa terhadap Pemprov Kaltim Anda tidak katakan setuju dan selaras. Bukankah kedudukan Pemprov dan Pemkab sama dalam hal ini” tanya Didi.

Mendapat pertanyaan itu, Sembiring tidak memberi jawaban tuntas dan memuaskan. Didi dan Tribunal berulangkali meminta penjelasannya secara jelas. Namun Sembiring hanya mengatakan bahwa dirinya setuju Pemkab Kutim membeli saham itu, karena transaksi jual beli saham itu hanya melibatkan KPC dan Kutim.

“Kalau begitu saya rasa Anda telah keliru memahami PKP2B. Anda tidak memiliki pemahaman yang utuh,” katanya.


Berpeluang Diterima ICSID

Gugatan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim terhadap PT KPC dan para pihak dinilai memiliki peluang besar diterima oleh International Centre for Settlement of Investment (ICSID). Ini terlihat dari reaksi Tribunal saat hearing on jurisdiction selama dua hari, 27-28 Februari di Singapura.

Pendapat tersebut dikemukakan Fauzan Zidni, peneliti pada Center for Indonesian Regional and Urban Studies kepada wartawan Tribun Kaltim, Achmad Bintoro di Singapura. Fauzan secara mendalam mengamati proses di balik upaya Pemda Kaltim dalam berjuang mendapatkan hak pembelian 51 persen saham divestasi KPC. Ia membuat studi khusus tentang divestasi saham ini untuk tesisnya di Fisipol UI Jakarta.

Saat digelar sidang ICSID di gedung Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Fauzan juga tampak hadir. Ia kembali melakukan studi untuk objek yang sama pada Lee Kuan Yew of Public Policy National University of Singapore. “Saya diskusi dengan teman-teman. Saya pikir peluang (Kaltim) cukup kuat. Ini terlihat dari reaksi Tribunal di sidang kemarin,” kata Fauzan di Singapura, Minggu (2/3).

Selain fakta yang terungkap di persidangan, hal lain yang menguntungkan Kaltim adalah, dalam Pasal 25 ICSID Constituent dinyatakan, bahwa “constituent subdivision” dari suatu negara, oleh ICSID dianggap sebagai bagian yang sama dari negara tersebut.

Kadang-kadang justru ICSID menggunakan istilah “state” atau “government”. Tapi kedua istilah itu, sambung Fauzan, dalam hukum pertanggungjawaban negara (law on state responsibility — masih berupa draft article tetapi sudah mengikat karena sudah menjadi kebiasaan hukum internasional), departemen atau pemda dianggap sebagai “negara”.

Pada sidang, baik Michael P Lennon maupun Todung Mulya Lubis, masing-masing pengacara KPC dan Rio Tinto/Beyond Petroleum, berpendapat bahwa Pemprov Kaltim tidak berhak untuk mengajukan gugatan di ICSID. Ini karena pemda bukan sebagai pihak yang meneken Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Penambangan Batu Bara (PKP2B). PKP2B tersebut diteken pemerintah Pusat dan KPC. Sehingga kalau pun bisa maju, harus ada surat kuasa dari pemerintah pusat, Menteri Pertambangan (ESDM).

“Sejauh ini surat kuasa itu tak pernah ada,” kata Lennon dari kantor firma hukum kesohor dunia, Baker Botts yang bermarkas di London, Inggris. Ini diperkuat dengan kesaksian Simon Felix Sembiring, Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral yang kini menjadi Dirjen Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM, yang membeberkan surat yang dibuatnya pada10 Agustus 2006 bahwa, pemerintah RI tidak pernah memberikan kuasa kepada Pemprov Kaltim berkaitan dengan PKP2B.

Todung juga mendesak Tribunal untuk menolak gugatan Pemprov Kaltim/Pemkab Kutim yang diajukan oleh Didi Dermawan. Terlebih, kata Todung saat sidang, gugatan Pemprov sebelumnya sudah pernah ditolak oleh PN Jakarta. Sehingga mestinya, gugatan ke ICSID pun harus ditolak karena tiadanya kewenangan dan hak.

Namun Albert Vandem Berg, anggota Tribunal yang dipilih KPC, justru mempertanyakan alasan yang dikemukakan oleh pengacara tergugat. Kepada Lennon ia balik bertanya. “Dari tadi Anda selalu mengatakan bahwa Pemprov Kaltim tidak berhak maju di ICSID, sekarang tunjukkan apa ada aturan yang tegas melarang pemda untuk maju di ICSID,” tanya Albert yang kemudian oleh Lennon dijawab, tidak ada.

Lenon juga balik bertanya kepada Todung. Menurut dia, PN Jakarta wajar menolak gugatan pemda karena ia mengacu pada PKP2B. Ia merasa tidak berwenang. “Kalau di PN ditolak, lalu di ICSID pun Anda meminta agar kami menolaknya, lalu akan kemana mereka (pemprov) mencari keadilan?” katanya.

Menurut Fauzan, yang menjadi masalah justru di Kaltim sendiri. Ia melihat ketidakstabilan politikdan ketidakbersamaan elite-elite lokal maupun nasional. Ini yang malah akan membuat masalah divestasi saham KPC semakin berlarut.(bin)