Saturday, January 16, 2021

Saat Hawking Mencari Tuhan



"If we do discover a theory of everything... it would be the ultimate triumph of human reason - for then we would truly know the mind of God" - Stephen Hawking



SEBENARNYA
 tak mudah memahami buku A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Hole. Meski Stephen Hawking telah menghapus hampir semua rumus di dalamnya, kecuali menyisakan secuil persamaan terkondang sejagad, E=mc2 -- itu pun dengan sangat terpaksa, sebagaimana ia akui dalam esainya di The Wall Street Journal (6/9/2013) -- saya tetap gagap membacanya. 

Tapi, anehnya, saya menjadi seperti orang ketagihan kafein. Tergoda dan terus tergoda untuk membuka halaman berikutnya. Begitu melahap paragraf pembuka Our Picture of the Universe, dengan segera saya menjadi tak sabar menginjak bahasan Space and Time, begitu seterusnya. Saya terjebak dalam medan magnet yang begitu kuat. Tersedot. Menikmatinya tidak lagi sebagai buku fisika yang rumit, kering, gersang, dan njlimet. 

Ternyata saya tidak sendirian. Beberapa kawan jurnalis dan dosen juga mengaku merasakan kondisi yang saya alami. Seperti baca novel sains-misteri, kita dibuat penasaran. Dan setidaknya sudah ada 10 juta orang yang kepincut membacanya. Berasumsi buku-buku itu kemudian dipinjamkan ke kawan, mahasiswa dan para koleganya, maka mudah dibayangka belasan bahkan puluhan puluhan juta orang yang sudah melahapnya.

Hawking mampu menyederhanakannya dengan sangat apik. Ia bercerita bak seorang Dan Brown. Ia lontarkan banyak hipotesis dan tesis yang menggugah "ke-manusia-an" kita yang kecil -- tapi dengan hasrat yang sangat besar -- sebagai bagian dari kosmos, layaknya filsuf Aristoteles. Layaknya Kant. 

Tentu bukan semata karena kalimatnya yang memikat hingga buku itu menjadi laris manis. Terjual lebih dari 10 juta copy. Meski ada saja yang berkomentar, ah itu masih belum sberapa dibanding karya JK Rowling. Rowling dengan buku serialnya Harry Potter, hingga pada "Harry Potter and the Deathly Hallows" telah menembus penjualan 500 juta copy. 

Loh keduanya memang bukan untuk diperhadapkan. Tidak apple to apple

Suka tidak suka, Hawking telah membuat publik yang lebih luas tertarik mengenal alam semesta. Dulu, orang banyak alergi dengan dunia astronomi. Mengenalnya pun mungkin hanya setahun sekali. Saat mereka berada di ketinggian menara masjid atau di pantai. Berjam-jam meneropong horison dengan teleskopnya. Menghitung apakah waktu bulan Ramadhan telah tiba. 

Astronomi penuh dengan rumus. Dijejali angka-angka besar yang hanya bikin jebol kalkulator. Orang masih ogah membayangkan ada sebuah jarak mencapai 150 juta km, jarak Bumi-Matahari. Meski telah dikonversi lebih sederhana sebagai SA (Satuan Astronomi), tetap banyak orang bersikap sama. Melirik pun tidak. Jarak Bumi-Matahari dengan pembulatan 150 juta km, kemudian dijadikan pijakan ukuran 1 SA. Angka lebih eksak, sesuai perhitungan terakhir oleh google dengan menggunakan astronomi radio dan perhitungan orbit, 1 AU = 149.597.870.691 km. 
 
Toh Hawking tidak berkecil hati. Bahkan bangga. Selain karena sudah berhasil memecah rekor dunia penjualan terbanyak untuk buku sains, bukunya pun masuk dalam scene "Harry Potter and the Prisoner of Azkaban." Seorang penyihir di Leaky Cauldron (diperankan Ian Brown) terlihat lagi asyik membaca buku "A Brief History of Time" di tangan kirinya. Sementara jari kanannya menari-nari di atas sedotan cangkir coffe latte-nya. 

Penyihir itu mungkin tertarik akan menggunakannya suatu saat, dalam perjalanan menembus lorong waktu? Hahahahha....

Magnet utama dalam buku itu adalah kemampuan Hawking menyodorkan problem penciptaan alam semesta yang sejak ribuan tahun lalu sudah jadi pertanyaan banyak orang. Jadi bahan renungan filsuf dan ilmuwan. Diperdebatkan para penganut ateisme dan naturalis. 

Padahal, bukankah sebuah hal yang biasa kalau orang bertanya "Bagaimana alam terbentuk?","Berapa tahun usianya?", "Kapan kiamat akan terjadi?", "Dari mana jagar raya berasal?", "Bagaimana akan berakhir?", "Kapan mulai ada waktu?", dan seterusnya. Orang tua dan para guru dulu cenderung angkat bahu saat mendapat pertanyaan macam ini. Atau akan mengaitkannya dengan ajaran agama yang samar diingat dalam ayat-ayatnya. 

Beberapa yang lain merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan selesailah diskusi, bahkan sebelum dimulai.

Dan salah satu magnet itu adalah kalimat penutupnya yang ia tulis dalam buku itu yang saya kutip di atas. Kurang lebih artinya begini: "Jika kita mendapatkan jawaban atas teori segala hal (ToE), itulah kemenangan pamungkas pikiran manusia -- karena dengan begitu kita akan tahu nalar Tuhan.

Saya kemudian bertanya-tanya, apa sesunguhnya yang Hawking cari? Mencari ToE? Apakah teori yang ia maskud itu benar-benar ada? Atau sebenarnya ia sedang mencari sang kreator (Tuhan)? Lalu kenapa ia keukeuh tidak percaya Tuhan? Apakah ia telah mencampakkan Tuhan? Mengapa?

[bersambung]

Air Hitam, 16 Januari 2021
#WeekendStory
#StephenHawking
#BingBang
#ABriefHistoryOfTime