Saturday, February 9, 2013

Telepon dari "Sutan" Jelang Rapat Komisi



ALIANSI Rakyat Kaltim untuk Blok Mahakam (ARKBM) mencoba mendekati Komisi VII DPR RI di Jakarta. Mereka berharap wakil rakyat memainkan perannya secara benar, mendukung kedaulatan bangsa atas energi di Blok Mahakam. 
Tapi siapa sangka rapat itu justru menjadi ajang penghakiman bagi Aliansi.

Seseorang mengaku bernama Sutan Bhatoegana, Ketua Komisi VII DPR RI. Beberapa hari sebelum jadwal rapat Aliansi dengan Komisi VII di Senayan, Jakarta, Senin (28/1/2013), Sutan menelpon Wahdiat Al Gazali, Ketua Aliansi. Sutan menyatakan siap membantu memuluskan dukungan anggota komisi terhadap perjuangan Aliansi.

"Tapi tidak gratis. Intinya dia meminta Rp 50 juta," kata Wahdiat 

Dia meyakini bahwa suara yang ada di seberang telpon itu adalah suara Sutan, politisi Partai Demokrat yang acap nongol di layar televisi. Logat bataknya, menurut Wahdiat, khas sekali dengan ungkapan-ungkapan lagaknya seorang Sutan.

Karena terus didesak, Wahdiat lantas meneruskan permintaan itu kepada Sekretaris Aliansi, Abdul Rivai dan beberapa anggota Aliansi. Keputusan belum juga diambil, meski penelpon itu kemudian setuju saja jika diberi Rp 20 juta dulu.

Wahdiat galau. Ia sempat berpikir untuk memberikan saja uang itu kalau memang demikian tradisi yang berlaku di DPR. 

Kabar mengenai perlunya "pelicin" dalam lobi-lobi di DPR dan setiap rapat dengar pendapat, sudah sering muncul di media. Namun beberapa anggota Aliansi mengingatkan, jangan-jangan orang itu bukan Sutan yang sebenarnya. 

Namun, beberapa anggota Aliansi yang malam itu meriung di sebuah hotel di Jakarta, menyatakan keheranannya terhadap orang yang mengaku Sutan itu. Masak sih seorang Sutan yang dikenal cukup tajir dengan sejumlah perusahaan miliknya mau bermain "uang kecil". 

Sebaliknya, untuk tidak percaya juga sulit sebab nomor telepon selular yang digunakan orang itu diyakini nomor Sutan asli. Logatnya pun mirip seperti yang sering terlihat di layar kaca.

Pagi hari di restoran Hotel Marcopolo Jakarta. 

Sejumlah anggota Aliansi sedang sarapan. Pertemuan baru akan digelar empat jam lagi. Penelpon itu kembali menghubungi Wahdiat. 

Basa-basi sebentar, orang tersebut akhirnya menanyakan apakah "barang" sudah disiapkan. "Barang" adalah istilah yang dipakai penelpon untuk menyebut uang yang dia minta. Wahdiat tidak menolak permintaan itu, tapi dia berkilah masih menunggu bendahara.

"Sudahlah, talangi saja dulu, nanti kita bertemu di DPR," bujuk penelpon itu.

Menurut Bernaulus Saragih PhD, Dewan Pakar Aliansi, Sutan yang ia kenal punya beberapa nomor. Tetapi telepon Sutan tidak selalu dalam genggamannya. Acapkali dipegang orang terdekat atau stafnya. 

Bernaulus memiliki kedekatan sebagai sesama orang berdarah Batak. Ia pernah berbicara melalui telepon. Bahkan saat mendengar kabar permintaan uang itu, dia segera menelpon Sutan. 

"Ah, ada-ada saja. Tidaklah lai," kata Bernaulus menirukan bantahan politisi bermarga Siregar itu.


WAHDIAT tidak segera mengambil hidangan prasmanan yang tersaji di meja sebelah ruang rapat Komisi VII. Mukanya keruh.

"Saya gak ada hati (keinginan untuk makan)," tandasnya seraya duduk di sebelah saya. 

Suasana rapat Aliansi dengan Komisi VII di Gedung DPR RI yang baru usai siang itu masih membekas dalam benaknya.

Rapat berlangsung singkat. Dimulai pukul 12.00 dan ditutup pimpinan sidang, Wakil Ketua Komisi VII Ahmad Ferial, sekitar pukul 13.10 WIB. Sutan Batoegana tidak terlihat batang hidungnya dalam rapat.

Tapi bukan karena kesan terburu-buru itu yang mengganggu pikirannya.

Dia merasa anggota komisi tak bertindak dan berlaku selayaknya wakil rakyat yang seharusnya lebih bijak dan mengakomodasi aspirasi Aliansi sebagai bagian dari elemen masyarakat.

Wahdiat didampingi Abdul Rivai, dua anggota Dewan Pakar Aliansi, Bernaulus Saragih dan Aji Sofyan Effendi, serta sejumlah anggota Aliansi lain sebenarnya sudah menyiapkan tiga topik paparan slide guna memberi pemahaman lebih utuh kepada para wakil rakyat yang terhormat itu agar mau mendukung perjuangan Aliansi. 

Dukungan apa yang diharapkan? 

Pertama, mendesak pemerintah untuk tidak lagi memperpanjang kontrak PT Total E&P Indonesie (TEPI) di Blok Mahakam pasca-berakhirnya kontrak kedua tahun 2017. Kedua, memberikan hak pengelolaan blok itu kepada Pertamina dan BUMD Kaltim.

Diluar perkiraan Aliansi, tanggapan anggota komisi terhadap mereka ternyata sangat sinis. 

Isu Blok Mahakam yang mestinya bisa menjadi pembuka untuk memulai kedaulatan energi, di mata anggota komisi tampak tak lagi seksi. Pimpinan sidang terkesan ingin menuntaskan rapat sesegera mungkin. 

Beberapa kali dia mengingatkan Aliansi bahwa waktu sudah siang (saat istirahat). Padahal jam di dinding baru menunjuk angka 12.17 WIB.

Paparan Bernaulus, ahli ekonomi lingkungan, akhirnya dihentikan di tengah jalan. Data Bernaulus dianggap kedaluarsa. 

Upaya Wahdiat mengkonter balik tanggapan anggota komisi yang meragukan kebenaran data cadangan gas tersisa sebesar 13,5 TCF malah dianggap sebagai pendebat kusir. 

Mereka hanya meyakini kebenaran data 2 TCF yang pernah dirilis Total dan pemerintah. Raut muka Wahdiat memerah. Hampir saja dia menggebrak meja.

"Angka 12,5 TCF itu menyesatkan. Kami punya angka yang terbaru. Bukan dari pengamat," tandas seorang anggota komisi dari Kalteng. 

"Mestinya angka yang diacu hanya dari pemerintah sebesar 2 TCF," timpal anggota yang lain.

Aji Sofyan pun terpaksa mengurungkan niatnya untuk memapar dari sudut pandang ekonomi. Dia memilih menyimpan rapat-rapat sekitar 36 slide yang ia kerjakan semalaman di kamar hotel.

"Janganlah menggurui. Kami tahu data-data itu. Itu makanan kami sehari-hari," ungkap S Milton Pakpahan, anggota Komisi VII dari daerah pemilihan Papua, kepada Bernaulus sehari setelah rapat bubar. Ia menjelaskan munculnya reaksi sinis para koleganya.

Jadilah rapat siang itu menjadi ajang penghakiman oleh anggota komisi terhadap Aliansi. Alimin yang mendapat kesempatan pertama untuk memberi tanggapan langsung menyerang Aliansi sebagai pihak yang tidak taat tata krama. 

Sebagai pihak yang memerlukan bantuan wakil rakyat, mestinya Aliansi terlebih dulu melakukan pendekatan terhadap anggota dewan.

Ia mengatakan tidak satu pun anggota komisi yang diajak bicara sebelum rapat. Bahkan, wakil dari Kalimantan pun tak tahu rencana ini.

"Kenapa (kami) tidak didekati? Padahal Aliansi ke sini kan untuk minta dukungan. Kecuali kalian tidak perlu kami, terserah," tandas Alimin.

Pendekatan seperti apa yang ia maksudkan, tidak pernah terungkap jelas. Beberapa anggota Aliansi yang belum pernah berurusan langsung dengan DPR RI, agak sulit memahami atau menerjemahkan ungkapan tersebut.

Apakah ini berarti uang atau sesuatu yang lain? 

Jangan-jangan reaksi sinis para anggota komisi itu akibat tidak diluluskannya permintaan seseorang yang mengaku bernama Sutan?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus menggelantung di benak para anggota Aliansi usai rapat komisi tersebut.

Mungkin ini cuma kebetulan.

Yang pasti, pada saat- saat seperti ini, Aliansi makin menyadari dan merasakan sulitnya berhadapan dengan anggota dewan tanpa seorang pun wakil dari Kaltim. Kenapa provinsi yang kaya migas ini tidak memiliki satu pun wakilnya yang duduk di Komisi VII?

Tapi Rivai memaklumi reaksi para anggota komisi itu. Rivai sehari-hari adalah dosen di Fakultas Ekonomi Unmul. 

Dia didaulat sebagai sekretaris Aliansi. Dikenal memiliki jaringan luas di Jakarta, termasuk dengan kalangan DPR RI. Ahmad Ferial misalnya, mengaku sudah mengenal Rivai lebih dulu. 

Pengalaman sebagai konsultan pemerintah kabupaten di Kaltim beberapa tahun lalu mengajarkannya banyak hal. Di antaranya bagaimana cara mendekati para politisi Senayan.

"Yang kita hadapi kemarin itu para politisi. Dalam politik yang berlaku adalah kompromi. Bukan soal benar dan salah," ujarnya.

Ia tambahkan, Gus Dur bisa menjadi Presiden RI, meski kursinya sangat kecil, tidak lain karena kompromi. Tidak mungkin dia mampu menghadapi partai-partai besar kalau menghitung secara matematis.

Agaknya Aliansi masih harus lebih banyak untuk berkompromi?! [achmad bintoro]