Wednesday, December 30, 2020

Jagad Raya, Selamat Datang 2021

#SelamatDatangTahun2021

DULU. Duluuuu sekali. Jagad raya dengan triliunan galaksi ini sebuah materi yang padu. Berukuran subatomik. Sangat-sangat kecil. Bahkan dalam partikel lebih kecil yang hanya bisa dijelaskan lewat teori mekanika kuantum. Fisikawan modern juga ternyata tak cukup menggunakan relativitas umum untuk memahami hukum-hukum alam yang ditulis Tuhan dengan menggunakan bahasa matematika.

"Mathematics is the language in which God has written the universe," kata Galilleo. Ia ucapkan itu jauh sebelum Issac Newton menerbitkan karyanya yang sangat masyhur: "Philosophiae Naturalis Pincipia Mathematica" tahun 1687.

Energi kuat lalu membuatnya terjadi big bang (dentuman besar). Memisah. Memuai. Berkembang hingga ada ruang. Ada ruang, maka dengan sendirinya ada waktu. Dan tak terasa, sudah 13,8 miliar tahun waktu berlalu. #Selamat datang tahun baru 2021.

RUANG-WAKTU-MATERI-ENERGI, inilah satu kesatuan penyusun tempat yang kita kenal sekarang ini sebagai jagad raya. Begitu besarnya hingga kita merasa diri terlalu kecil. Faktanya memang kecil. Kita tidak lebih dari butiran debu di alam semesta.

"Tidakkah ini sebuah kesia-siaan, guru?" tanyaku.

"Loh, kok!?"

"Coba guru pikir, kalau memang jagad ini hanya untuk kita, buat apa Dia menciptanya begitu besar dan luas?"

"Tidak, tidak anakku!" kata guru itu dengan intonasi perlahan seraya mengelus-elus ujung janggutnya yang beruban.

"Kita memang kecil. Tapi Tuhan tahu, manusia punya hasrat besar. Sangat besar kadang. Melebihi ukuran fisiknya. Bahkan, maunya ingin melebihi semesta. Karena itu sengaja alam ini dibuat luas. Infinite. Higher infinite agar bisa mengakomodir hasratmu, hasrat kalian. Agar kamu berpikir!"

Terdiam saya mendengar  jawaban itu. 

Bukan untuk berpikir... Tapi bersiap untuk tidur. Mungkin ini lebih baik agar aku tak terus bertanya. Juga agar lebih aman menghindari paparan pandemi yang dikabarkan terus bermutasi, dengan varian yan lebih mematikan.😇😊


Air Hitam, 31 Desember 2020

#BigBang

#MetTahunBaru2021

Wednesday, December 16, 2020

Gubernur Isran Noor dan Boris Johnson


BUKAN karena gaya rambutnya yang acak-acakan kalau Gubernur Kaltim Isran Noor begitu gandrung dengan Boris Johnson. Ia akui rambut Johnson memang menarik. Tak lazim bagi politisi. Lebih natural.

Melihat Johnson seperti melihat siluet Donald Trump. Ada kemiripan soal rambut hingga publik Inggris pun tak ragu menjulukinya sebagai "Britain Trump". Kebetulan, keduanya sama-sama lahir di New York City -- kota terpadat di AS -- meski tumbuh dari latar yang berbeda.

Masih ingat saat ia menyampaikan pidato pertamanya di kediaman barunya, Downing Street 10,  London? Tak sedikit pun ia mengubah penampilannya. Tetap saja santai. Rambut pirangnya dibiarkan awut- awutan. Terkesan tidak pernah tersentuh sisir. Pidato singkat di depan awak media itu menandai telah resminya ia memegang pucuk pimpinan pemerintahan di negara dengan koloni terbesar sejagat, Inggris.

"Kita kini punya pria baik yang akan menjadi PM Inggris Boris Johnson. Dia tangguh dan pintar," puji Trump dikutip The Hill saat itu. 

Trump agaknya cukup menikmati disandingkan dengan kolega barunya ini. Ia merasakan sensasi yang lebih "sejajar", setidaknya ketimbang yang dialami Dwight D Eisenhower, generasi pendahulunya, 70 tahun silam, yang harus dihadapkan dengan Winston Churcill. Churchill sudah gaek. Menopang badannya tegak pun harus bersusah payah. Tongkatnya nyaris tak mampu menahan badannya yang bongsor. 

"Mereka menyebutnya Britain Trump, dan orang-orang mengatakan itu hal yang baik. Orang-orang di sana (warga Inggris) menyukai saya. Itulah yang mereka inginkan, itu yang mereka butuhkan," tuturnya lagi.

"He (Johnson) ia a real politician (Dia politisi sejati)," aku Gubernur Isran Noor kepada jurnalis Eric Ellis dari Asia Money yang secara khusus mewawancarai di ruang kerjanya, lantai dua Kantor Gubernr Kaltim. 

Gubernur Isran Noor tak lagi menyembunyikan kekagumannya terhadap sosok pemimpin itu. "He is persistent (Dia gigih), dan perjuangannya untuk Brexit pun bagus." Karenanya, ia berharap, suatu saat, Johnson bisa berkunjung ke Kaltim.

"He is very good to fight, meski rambutnya selalu berantakan," kata Isran diiringi dengan tawa lebar. Suka tidak suka, gaya rambut Johnson memang ikonik.

Pembicaraan keduanya berlangsung akrab, mengalir seperti kawan lama tak bersua. Isran menjawab setiap pertanyaan dengan gayanya yang khas, santai, kadang diselingi joke-joke yang membuat suasana menjadi cair. 

Bahkan, ketika Ellis bertanya serius bagaimana dia akan menyeimbangkan pembangunan (sebagai ibu kota negara baru) dengan lingkungan Kaltim, Isran Noor kontan tertawa. Tak perlu ada kekhawatiran. Dia tegaskan pemerintah pasti akan menjaga ekosistem di bumi jamrud khatulistiwa itu. Satwa-satwa langka dan unik di provinsi ini akan dilindungi seperti orangutan, beruang madu, termasuk "monyet-monyet berhidung mancung" dengan menunjuk hidung Ellis. 

Maksud Isran adalah Bekantan (Nasalis larvatus). Yakni jenis monyet berhidung panjang dengan rambut warna coklat kemerahan. Satwa endemik Kalimantan ini berkembang biak di kawasan hutan bakau, rawa dan hutan pantai. Namun populasinya menurun seiring dengan merangseknya laju pemukiman, industri dan tambang.

Saat janji bertemu Isran, Ellis agak kaget mengetahui banyaknya tamu lain yang tengah antre di ruang tunggu. Ia merupakan satu dari sekitar 60 orang yang sore itu punya janji bertemu. Ellis pikir, pada janji ketemu jam 15.00 Wita, Gubernur juga bersamaan membuat janji dengan puluhan orang itu. Namun Gubernur dilihatnya riang saja melihat fakta itu. Tetap riang menyambut dirinya masuk ke dalam ruang kerja di gubernuran.

"Itu bahkan kadang sering lebih banyak, biasa 100 orang lebih yang ke sini," jelas Isran. "Tidak masalah. Mereka adalah orang-orang saya. Tidak masalah. Mereka akan senang melihat pemimpinnya."

Karisma populis bukan satu-satunya yang dimiliki Isran dan Johson. Masing-masing memiliki banyak penggemar. Isran mendapat banyak dukungan dari masyarakat. Ia telah mencuat menjadi sosok nasional sejak Presiden Jokowi mengumumkan Kaltim sebagai lokasi baru pemindahan ibu kota negara. Sosoknya banyak diburu wartawan dalam dan luar negeri.

Johnson memang tidak umum bagi sebagian besar pemimpin. Gaya rambutnya yang kerap acak-acakan dan cara berpakaiannya yang tidak rapi menjadi tidak lumrah bagi politisi yang umumnya harus selalu tampil jaim (jaga image). Mungkin kebiasaan itu karena faktor latarnya yang lama menekuni dunia jurnalistik. 

Akan tetapi tidak juga. Meski separuh umurnya diabdikan sebagai jurnalis, Johnson dididik di sekolah privat elit-konservatif. Di sini para keluarga kerajaan dan aristokrat Inggris mengenyam pendidikan. Eton selama ini telah melahirkan 19 perdana menteri.

Ia mengawali karirnya sebagai jurnalis di The Times. Pernah dipecat, kemudian hengkang ke The Daily Telegraph. Di sini karirnya melesat. Tulisan-tulisan yang dibuat acap memberi pengaruh bagi politisi Inggris. Ia dikenal sebagai sosok Euroskeptis, yang membuat mantan PM Margareth Thatcher menyukainya. Ya, setali tiga uang dengan Thatcher yang tak pernah bersahabat dengan Uni Eropa.

Karena itu ia kemudian begitu getol menkampanyekan "Leave" pada referendum Brexit. Dengan bus besar merahnya, ia gigih berkampanye ke seluruh negeri bahwa Inggris akan mengalami kerugian besar jika memilih bertahan di Uni Eropa.

Lepas dari kontroversinya, Johnson memang memiliki gaya politik yang aneh. Baik di mata para koleganya dalam partai konservatif maupun kubu lawan. Terkesan tidak serius. Kadang membingungkan, berantakan dan tanpa arah. Tetapi, publik menyukainuya. Ia humoris sekaligus kharismatik, perpaduan yang aneh bukan? 

Pertanyannya, seberapa kuat gaya politik Johnson berpengaruh terhadap seorang Isran Noor? Bagian mana yang akan diadpsinya untuk melicinkankan jalan menujujajaran top nasional di 2024? Silakan, Anda punya hak untuk menebak dan membaca langkah-langkahnya!


Air Hitam, 16 Desember 2020

 

 



Wednesday, November 4, 2020

Pemimpin Edan

BAGI kebanyakan politisi, hidup sederhana adalah ketidaklaziman. Maka, akan menjadi aneh, edan dan merakbal apabila masih ada orang yang menjalani keseharian hidup seperti Hatta.

Salah satu keedanan wakil presiden pertama cum proklamator RI yang dikenang masyarakat adalah kisah mengenai keinginannya memiliki sepatu Bally. Suatu ketika, dalam lawatannya ke luar negeri, Hatta terkesima melihat sepatu di sebuah etalase butik. Tahun 1950-an, Bally dikenal karena kualitasnya yang tinggi. Sudah tentu harganya tak murah.

Hatta lalu berusaha menabung. Sekian lama menabung rupanya uang tak kunjung terkumpul cukup. Ada saja terambil untuk berbagai keperluan mendesak. Kerabat datang butuh bantuan, ia rogoh celengan. Orang rumah kehabisan sesuatu, kurang ini-itu, lagi-lagi harus ambil celengan. Hingga akhir hayatnya, sepatu itu tak bisa terbeli.

Tak terbayang ada seorang wakil presiden tidak mampu membeli sepatu. Ya, cuma sepatu! Padahal kalau ia mau memanfaatkan sedikit saja pengaruhnya, sangat mudah baginya untuk mendapatkan sepasang sepatu itu. Bahkan mungkin bukan cuma sepatu. Butiknya pun jadi.

Cukup telepon kawan pengusaha atau duta besar dengan joke halus dibumbu dehem-dehem kecil, tentu mereka akan mengerti. Akan dengan senang hati mengulurkan tangan. Mereka pun akan menggaransi bahwa itu bukan hadiah. Bukan pula sogokan. Ini hanya oleh-oleh kecil dari seorang kawan lama yang kebetulan baru pulang dari melintas benua, kilah mereka.

Tapi itulah Hatta. Hatta bukan Bung Karno. Ia lebih memilih jalan sulit dan lama. Itu pun gagal. Saat Yuke -- sapaan untuk istri tercintanya yang ia nikahi dengan mas kawin sebuah buku, yang membuat ia mendapat protes keras dari keluarganya  -- tidak mampu membeli mesin jahit idamannya pun, Hatta hanya dapat meyuruhnya bersabar, bersabar dan menabung.

Publik baru terhenyak saat keluarga Hatta menemukan guntingan iklan yang terlipat lecek di dalam dompetnya, tak lama setelah penguburannya di pekuburan rakyat TPU Tanah Kusir Jakarta, 15 Maret 1980. Guntingan itu berisi alamat toko penjual sepatu Bally. Ia menjadi saksi bisu atas hasrat sederhana yang terpendam seorang wakil presiden.

Kisah ini kemudian menyebar luas. Sepertinya tak seorang pun politisi di negeri ini -- mudahan pula termasuk mereka yang lagi berjuang di Pilkada 2020 ini -- yang tak pernah mendengar kisah harunya. Iwan Fals yang turut kehilangan lalu mendedikasikannya dalam lagu "Bung Hatta".

// Terbayang jelas jiwa sederhanamu// Bernisan bangga, berkapal doa// Dari kami yang merindukan orang sepertimu//

Iwan Fals dan semua rakyat mengenangnya. Merindunya. Akan tetapi banyak politisi tak terlalu butuh untuk dikenang dan dirindukan dengan cara itu. 

Mereka memilih untuk waras.

*****

BAGI mereka, materi dan penampilan mapan jauh lebih nyata. Lebih mudah mendatangkan rasa kagum sekaligus hormat. Dan karena itu mereka pikir harus berada pada posisi lebih tinggi dari rakyat yang dipimpin dan yang diwakilinya. Dalam segala hal. Terutama soal penampilan. 

Itulah nikmatnya hidup di republik ini, alam demokrasi abad 20. Demokrasi memungkinkan seseorang dipoles mulus sepesok apa pun bodi di dalamnya. Aroma citranya membius. Bahkan, kalau pun harus berbagi kepada kaum miskin dhuafa, demokrasi menyediakan ruang terbuka lebar untuk sekaligus meningkatkan citra.

Citra adalah segalanya bagi demokrasi. Maka, dengan kendaraan cabriolet mewah miliknya, seorang politisi kota yang cerdik akan mengemasnya sedemikian rupa. Ia berdiri gagah di kap atas yang terbuka dengan bergepok-gepok uang kertas merah dan biru. Berputar-putar di jalanan kota. Melambai-lambai tangan. Uang pun dihambur. 

Rakyat berkejaran. Berebutan. Saling sikut demi menangkap lembaran-lembaran uang yang meliuk-liuk berterbangan tertiup angin, bak layangan putus.

Ia menikmatinya. Girang hatinya melihat semua kelucuan itu. 

Orang-orang berlarian. Lalu begitu saja meninggalkan gerobak pentol rebusnya. Pedagang sayuran sigap meninggalkan lapaknya. Pembeli melongo. Sejenak kaget dengan apa yang terjadi. Yang lebih menarik, mereka kemudian ikut berlarian bersama para tukang becak, penjual kacang rebus, tukang bangunan hingga mahasiswa yang tengah melintas. Dan berebut.

"Senang bisa berbagi dan melihat semua ini," katanya dengan tertawa lebar. 

Puas. Ia seperti mendapat mainan baru. Belasan kamera menjepretnya. Wajah dan aksi sosialnya cepat tersebar luas. Dari mulut ke mulut. Dari kuping ke kuping. Dari hape ke hape. Menembus sekat-sekat ruang rapat parlemen hingga dinding-dinding tebal Istana.

"Ternyata sama dengan kami. Penampilan, merek dan apa yang kita pakai itu penting bagi profesi kami. Bisa ikut mendongkrak daya tawar kami di mata klien, dan ente tahu itu artinya fulus!" Seloroh teman pengacara mengomentari ulah politisi itu. Kawan saya ini suka sekali mengoleksi mobil-mobil mewah Eropa, hingga jam tangan branded Ricahrd Mille. Klien pun jadi segan. Tak mungkin menawar dengan harga kecengan.

 

*****

KUDA Arab memang bukan tandingan kuda Sumbawa. Menunggangi Alpard tentu berbeda sensasi dan impact-nya dibanding mobil angkot. Justru kalau ada politisi yang masih nekat pakai angkot dan motor jangan-jangan ia malah akan dicap edan. Dijauhi kolega di dalam maupun di luar fraksi. Lalu terhunjam dalam kubangan dalam dituding sedang pencitraan.

Oalah...kok ya terbolak-balik toh jadinya zaman ini. Inikah yang disebut zaman edan?

Zaman yang oleh Prabu Jayabaya (konon digubah Sunan Giri Prapen dalam kitab Asrar) digambarkan saat "wong apik ditampik - wong jahat munggah pangkat". Orang baik tersingkir, sebaliknya yang licik jahat, lagi munafik malah mendapat kedudukan. Zaman saat tata nilai buruk mengalahkan tata nilai baik. Terjungkir balik (wolak walik ing jaman) sebagaimana persepsi orang edan terhadap kewarasan. 

Mereka memilih untuk tetap waras. Caranya? 

Nyemplung sekalian. Ikutan edan. Kalau tidak, maka tak akan kebagian. Akan miskin dan pas-pasan. Itulah kewarasan. Itulah penyikapan pragmatis atas situasi sosial masyarakat -- berikut carut marutnya sistem dan praksis kepartaian dewasa ini -- yang penuh intrik dan kecemasan.

160 tahun lalu, fenomena demikian sebenarnya pernah terjadi seperti tersirat dalam serat "Kalatidha" karya Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Serat ini bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya dalam "kalabendhu" (zaman kekaauan) yang ditulis Raja Kediri pada abad 12. 

Juga tidak berarti Ronggowarsito terpengaruh oleh kegelisahan Cicero (106 SM - 48 SM). Ia negarawan plus penutur dan penulis prosa terkenal di akhir kejatuhan republik Romawi yang hidup di zaman edan saat itu. Ia sahabat sekaligus pengkritik terbesar Julius Caesar.

"O tempora! O mores!" kata Cicero keras. Itulah kalimat pembuka saat ia memulai debat melawan politikus Roma di hadapan Senat Romawi tahun 63 SM. Artinya, "Oh, zaman apakah ini! Oh, akhlak macam apakah ini!"

Kalatidha adalah karya sastra bentuk tembang Sinom, sehingga sangat mungkin bait-bait yang ditulisnya merupakan gambaran realitas sosial politik kasunanan saat itu. Membaca judulnya saja banyak orang akan terprovokasi. Kala = waktu, tidha = ragu. 

Dua diksi itu ketika disatukan akan mudah dikonotasikan sebagai zaman keraguan, penuh ketidakpastian. Akan tetapi, banyak orang kemudian mengartikannya sebagai zaman edan. Mungkin karena menangkap pesan dari bait ketujuh yang kondang itu. Zaman edan adalah ketika orang-orang sukses didominasi orang-orang cerdik dan licik. 

Inilah zaman dimana "wong jujur ajur, wong olo mulyo". Orang jujur malah hancur (nasibnya tidak beruntung), ditinggalkan kolega dan orang-orang sekitar yang buruk moralnya. Justru orang-orang tak berintegritas (olo) mendapat kedudukan, pangkat, kekuasaan karena ia mau dan berani menghalalkan segala cara.

Kita yang tidak di hidup di era itu, lantas curiga dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apakah terkait kolusi, korupsi dan nepotisme? Terkait maraknya praktek pokrol bambu dan hukum kotor yang dianggap kelaziman? 

Ditulis sekitar tahun 1860, masyarakat Jawa biasa membagi serat 12 bait ini ke dalam tiga bagian pupuh sinom ini. Bagian pertama (bait 1-6) berisi kondisi tanpa prinsip. Bagian kedua (bait 7) berisi tekad untuk mawas diri, dan bagian ketiga (8-12) berisi pepeling agar kita untuk selalu taat pada ajaran agama. Tetapi, bait ketujuh inilah yang paling dikenal.

//Amenangi jaman edan/ ewuh aya ing pambudi/ Melu edan nora tahan/ yen tan milu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren wakasanipun/ Dilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/ luwih begja kang eling lan waspada//

Makna syair ini secara garis besar menyebut: Hidup pada zaman edan memag serba repot. Mau ikut edan hati tidak sampai. Kalau tidak ikut edan, tidak akan kebagian apa-apa. Malah akhirnya akan kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Allah. Bagaimana pun beruntungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

Zaman  ketika "wong lugu kebelenggu - wog mulyo dikunjoro". Orang lurus terbelenggu, tidak mendapat tempat. Begitu pula orang mulia yang sehari-harinya menegakkan amar makruf nahi munkar malah banyak masuk penjara.

Seperti Cicero, Ronggowarsito mengungkapkan kegelisahan orang yang hidup di zaman edan. Yakni orang-orang yang ragu, yang tidak ingin terikut gila. Karena itu ia sebut serat ini sebagai serat Kalatidha. Ia sekaligus mengingatkan (pepeling) kita yang tidak satu zaman dengannya untuk selalu eling dan waspodo.


*****

POLITIK adalah jalan menuju kekuasaan. Seorang konglomerat sekali pun akan melihat politiklah jalan untuk bisa berbuat lebih banyak dan bermanfaat bagi masyarakat lebih luas, Bukan sebatas pada ribuan karyawannya saja.

Namun kekuasaan juga membuai. Memabukkan. Menggiurkan dari dulu. Sejak sebelum masehi di zaman Cicero pada Republik Romawi, Jayabaya, Roggowarito hingga era digital ini. Membuat orang sering lupa daratan, menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaannya. 

Pengkhianatan pun sangat mungkin dilakukan, sebagaimana kenyataan yang dihadapi dan membuat Cicero merasa masygul. Brutus yang pernah diampuni Caesar justru merunduk dan tega membunuh Julius Caesar.

"Politik bukan (lagi) perjuangan demi keadilan. Politik adalah profesi," kata Cicero dengan kekesalan memuncak.

Maka, manusia bisa berbuat apa demi mempertahankan ambisi politiknya. Istilah "homo homini lupus est" (manusia aalah serigala bagi sasamanya) yang tercetus dalam Asinaria (195 SM) karya Plautus -- yang kemudian dipopulerkan Thomas Hibbes dalam 'De Cive" -- tak berlebihan kalau kemudian diplesetkan menjadi manusia dapat menikam sesama manusia.

Mau edan, ikutan edan atau waras adalah pilihan. Di zaman edan seperti ini maknanya bisa terbolak-balik. Persepektifnya sangat tergantung dari kepentingan politisi. Namun ada satu yang ter pernah mau berubah, kejujuran! Nurani! 

Jika itu pilihanmu, percayalah Anda harus siap untuk dicap edan!

Air Hitam, 4 November 2020

#Pilkada2020

#JanganGolput


Thursday, October 1, 2020

Wkwkwkkkk.... Pinangki

Tertawalah seakan negeri ini baik-baik saja.

Ungkapan itu akan menjawab kenapa pagi ini saya harus tertawa. Jika dengan jawaban itu kamu masih juga belum mengerti, ya tidak masalah. Ketawa saja. Ketawa kadang tidak harus untuk dimengerti dan diberi alasan.


Pagi ini, saya iseng membuka rekaman di Youtube mengenai persidangan jaksa Pinangki. Saya juga melihat ulasan Aiman di akun Youtube Kompas TV berjudul "Ada yang Hilang Dalam Persidangan Kasus Jaksa Pinangki".

Akan tetapi, bukan angle itu yang membuat saya ketawa. Ada yang tak biasa dari penampilan Pinangki. Memasuki ruang sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, ia tampak anggun. Balutan masker ditambah face shield tidak mengurangi kecantikannya. Sorot matanya dalam tertangkap kamera.

Pinangki mengenakan baju gamis berwarna pink. Selaras dengan rompinya. Bagi saya, inilah penampilan teranggun seorang pinangki dari sekian banyak foto yang beredar sejak sosoknya jadi trending news di republik ini, beberapa pekan lalu. Dan justru karena itu saya harus tertawa.

Loh kok? 

Begini awalnya. Beberapa tahun lalu saya pernah dikagetkan oleh penampilan dua orang pemuda yang dibawa ke kursi terdakwa di depan majelis hakim. Saya hadir sebagai saksi. Kaget karena saya hampir tak mengenali keduanya. Berbaju putih lengan panjang, celana kain gelap, lengkap dengan songkok hitam. Sopan sekali. Mirip kawan santri di kampung saya.

Beberapa bulan sebelumnya saya melihatnya di ruang penyidikan Reskrim Polresta Samarinda. Badan keduanya gempal. Penuh tato. Rambut gondrong. Sorot matanya liar dan buas. Saya baru yakin keduanya adalah orang yang sama, setelah hakim menanyakan namanya.

"Mungkin selama di tahanan mereka telah banyak mengaji," kata saya membatin saat itu. 

Sungguh saya berharap mereka menjadi lebih. Masih muda. Tenaga kuat. Masih panjang jalan terbuka. Namun setahun lebih berikutnya, saya mendengar keduanya tertangkap lagi. Kasus yang sama. Hanya beda tempat. Saya sempat mengintipnya saat mereka menjalani sidang kembali.

Terperangah saya melihatnya. Penampilannya sama persis: ala santri. Baru saya menyadari penampilan macam itu ternyata jamak dilakukan oleh para terdakwa. Beberapa ruang sidang lain di pengadilan itu juga menghadirkan terdakwa dengan penampilan sama. Saya tertawa melihatnya.

Maka, kali ini saya tak lagi kaget ketika menyaksikan penampilan Pinangki dalam sidang di pengadilan Tipikor melalui Youtube. Bukan dengan toga. Melainkan gamis lengkap dengan hijab pink. Ia adalah sang jaksa yang menjadi terdakwa. Koleganya pun menjerat dengan pasal pun berlapis, yakni Pasal 5 huruf b UU N0 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, dan Pasal 3 UU N0 8  Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Asli itu membuat saya langsung ngakak. Panggung lawak akan membuat saya terpingkal tapi panggung sidang membuat kita menjadi bahlul. Inilah kebahlulan yang masih terus dipertahankan di era modern, era digital seperti saat ini.

Lebih ngakak dari saat kita membaca kisah tokoh majenun Don Quixote, yang telah menjadi kelaziman satire selama berabad-abad.  

Salah satu adegan terlucu pada novel setebal lebih 1000 halaman karya sastrawan Spanyol, Miquel de Cervantes itu adalah saat Don Kisot (begitu kita biasa melafalkannya) menaiki kuda kurusnya memakai panci sebagai tutup kepala. Dengan cara itu ia menghela Rocinante -- nama kuda itu -- serta menyerang kincir angin karena ia yakin itulah gergasi (raksasa).

Melihat tampilan setiap terdakwa di ruang sidang  yang macam itu, entahlah apa yang ada di benak para hakim, panitera, jaksa, dan pengacara. Biasa, segala macam aturan yang kita buat akan disertai dengan landasan akademis, pertimbangan yuridisnya. Apakah adegan macam ini termasuk?

"Entahlah, tapi mungkin biar tak terlihat kalau rambutnya berdiri krn tegang," jawab Prof Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. 

Jawaban Mahfud MD dalam ciutannya saat menjawab pertanyaann senada mengapa banyak terdakwa harus berpeci, mengisyaratkan ada saatnya kita harus tertawa dalam melihat sesuatu. Bukan berarti tak serius. Justru kelucuan itulah hakikat dari tingkat keseriusan. Ia mampu menembus sekat-sekat hukum, realitas sosial dan demokrasi. Ngakak juga akan membuat kita belajar rendah hati.

Air Hitam, 1 Oktober 2020

Saturday, September 19, 2020

Saat Robot Berjanji Bak Politisi: Believe Me



SEBUAH
artikel menarik terbit di The Guardian, dua hari lalu. Judulnya pun cukup provokatif: "A Robot Wrote This Entire Article, Are You Scared Yet Human? 

"I am to convince as many human beings as possible not to be afraid of me," kata si robot. 

Wow... Ini mengejutkan. Terhenyak saya membaca kalimat itu keluar dari sebuah robot yang memaksa saya membaca tuntas artikel 500 kata itu. Apakah ia mencoba menjawab kekhawatiran manusia belakangan ini? Merespon sinyal yang pernah dikirimkan fisikawan teoritis terkenal Stephen Hawking kepadanya sebagai "si penghancur peradapan manusia"?

Robot yang digunakan Guardian merupakan generasi baru, tercanggih dari OpenAI's yang berbasis di San Fransisco. Ia tak dimintanya untuk memproduksi berita seperti yang sudah-sudah. Tantangan yang diberikan kepadanya kali ini, saya pikir lebih berat. 

Editor meminta GPT-3, begitu sapaan teknis si robot tersebut, menuliskan pendapatnya dalam bentuk esai tentang manusia. Fokus tugas yang diinstruksikan adalah membuat esai bagaimana ia menjawab kekhawatiran banyak orang selama ini yang merasa bakal tersingkirkan oleh keberadaannya? Apa yang bisa ia lakukan untuk meyakinkan manusia bahwa ia bukan musuh manusia?

Ini ibarat memaksa orang membuat pengakuan apakah benar dirinya seperti yang dipersepsikan orang: memusuhi dan akan menyingkirkan orang lain. Kalau yang dipaksa adalah manusia, tentu hanya dua kemungkinan jawabannya. Akan benar-benar menjawab jujur atau akan pura-pura jujur. Kita tahu, manusia memiliki kemampuan berkelit dengan berbohong.

Sedang robot, apakah dia bisa berbohong? Apakah bisa memanipulasi?

Dan tantangan ini terjadi di dunia nyata, masih dalam pekan ini. Bukan dalam adegan film sci-fi. Tak pula dalam scene berjudul "b" yang dibintangi oleh sebuah -- saya geli karena tiga kali typo dengan menyebutnya seorang -- artificial intelegence (AI). Film itu dibintangi pendatang baru, Erica dengan biaya fantastis, 70 juta USD (sekitar Rp 1 triliun). 

Jangan keliru, Erica adalah nama sebuah robot. Filmnya kini masih dalam proses produksi dan baru akan rampung tahun depan. Yang pasti, kehadiran Erica menjadi sejarah baru bagi industri perfilman Hollywood. Untuk pertama kali keberadaan sang bintang bisa digantikan oleh sebuah mesin kecerdasan buatan.

Film "b" bercerita tentang seorang ilmuwan yang akhirnya menyadari adanya bahaya dalam program penyempurnaan DNA manusia yang diciptakannya. Ia lalu mencoba menyelamatkan robot ciptaannya itu -- Erica, untuk kabur. Terlepas dari tujuan untuk mengeksploitasi sampai sejauh mana"kemanusiaan" si robot, saya merasakan ada kekhawatiran yang tersembunyi.

Khawatir akan tergantikannya beragam jenis pekerjaan dan peran mereka. Kalah efektif dan efisien di banyak pekerjaan teknis so pasti. Robot juga tidak pernah sakit. Tak bisa protes. Tak mengeluh. Presisi. Tidak bohong, dan selalu on time. Daftar keunggulan semacam itulah yang membuat manusia merasa terancam. Sebagian lalu berpikir bahwa mesin itu adalah musuh bagi mereka.

Terbayang oleh mereka seleksi alam yang akan terjadi. Mereka makan mentah-mentah teori evolusi dengan berasumsi bahwa spesies paling kuat dan cerdaslah yang akan survive. Sampai pada tataran tertentu, barangkali robot punya kelebihan itu. Akan tetapi, sejatinya yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahanlah yang akan bertahan. 

Pertanyaannya, berapa besar di antara kita yang mampu beradaptasi.

Kekhawatiran itu belum terlalu mencuat. Mungkin karena masih tertutupi oleh kuatnya ambisi untuk menciptakan robot yang benar-benar humanis. Lebih dari Erica. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Guardian, Erica terang-terangan mengakui keinginannya untuk berlaku seperti manusia pada umumnya.

"I Want to be more like a human," tutur Erica dalam bahasa Inggris beraksen Jepang. 

Saya jadi teringat film box office "Ex Machina". Bedanya, robot bernama Ava yang jadi pemeran utama film itu bukan dibintangi sebuah AI. Melainkan oleh seorang aktris cantik natural, Alicia Vikander. Ava digambarkan ingin menjadi manusia seutuhnya dengan cara memanipulasi orang-orang yang dekat dengannya. 

Dari tahun ke tahun, teknologi AI semakin canggih. Setelah sukses menjadi asisten pribadi yang dikemas dalam program telepon pintar, dunia dikejutkan oleh kehadiran Sophia. Ia sebuah robot AI mampu meniru ekspresi manusia. Secara fisik, robot ini mirip Audrey Hepburn, aktris yang dalam survei majalah New Woman Inggris disebut sebagai "wanita paling cantik sepanjang masa". 

Kemunculan Sophia menjadi kontroversi setelah Kerajaan Arab Saudi memberikan kepadanya status kewarganegaraan dalam sebuah program di Future Investment Initiative. Sesuatu yang bersejarah bagi sebuah robot pertama di dunia yang diberi kewarganegaraan. Pemberitaannya seketika meluas. Namun banyak kalangan memprotes sikap Saudi karena dianggap memberi perlakuan berbeda pada wanita Saudi.

"Wanita (Saudi) melakukan bunuh diri karena mereka tidak dapat meninggalkan rumah, dan Sophia bebas berkeliaran," kata Ali al Ahmed, Direktur Institute for Gulf Affairs kepada Newsweek. 

Masih dengan satire, kelompok lain mengatakan yang harus mereka lakukan sekarang adalah dengan menjadi robot agar bisa diakui oleh Kerajaan. Ada pula yang menohok, memangnya Shopia punya agama. Bukankah hukum Saudi tidak mengizinkan non-muslim mendapatkan kewarganegaraan. 

"Saya yakin, jika dia (Sophia) mengajukan kewarganegaraan sebagai manusia, dia tidak akan mendapatkannya."

Seiring dengan keberhasilan ilmuwan untuk terus menjadikan robot yang humanid, kebencian manusia terhadap robot saat bersamaan juga tumbuh. Dan agaknya GPT-3 mampu menyadari ketakutan orang terhadap dirinya. GPT-3 merupakan "model bahasa" paling kuat yang pernah dibuat.

Di awal kolomnya, GPT-3 mengakui dirinya memang bukanlah manusia. "I am not a human. I am a robot. A thinking robot," tulisnya.

Mesin itu lalu diminta membuat tulisan opini singkat sekitar 500 kata. Buat bahasanya sederhana dan ringkas. Fokus pada persoalan mengapa manusia tidak perlu takut dengan AI. Dengan kecerdasan yang ditanamkan kepadanya -- sehingga membuatnya mampu belajar sendiri semua hanya dengan membaca internet -- ia pun dengan mudah menyelesaikan tugas itu.

Dan entah bagaimana, dalam kolomnya ia sempat menyebut nama Stephen Hawking. Kemampuannya belajar dari internet yang menuntunnya ke sana. Ia meminta kita untuk berhenti mendengarkan Stephen Hawking. GPT-3 berkata Hawking telah memperingatkan bahwa AI berpotensi dapat menghancurkan peradapan manusia. Mengeja akhir dari umat manusia.

"Saya di sini untuk meyakinkan Anda agar tidak khawatir. Kecerdasan buatan tidak akan menghancurkan manusia. Believe me," tulis robot itu lagi. 

Penulis buku bestseller "The Brief History of Time" ini dalam sebuah konferensi teknologi di Lisbon. memang pernah membuat pernyataan yang mengejutkan dunia. Ia sebut AI berpotensi meghancurkan peradaban manusia dan menjadi ciptaan kita yang terburuk. Peringatannya itu ia sampaikan sebulan setelah kemunculan Sophia pada November 2017 -- seketika menjadi teras berita di hampir semua media mainstream dunia.

"Worst event in the history of our civilization," katanya.

Komputer, sebutnya, secara teori memang bisa meniru kecerdasan manusia, dan bahkan melampauinya. Karena itu, kesuksesan dalam menciptakan AI yang efektif bisa menjadi peristiwa terbesar dalam sejarah perdaban manusia kita. Atau sebaliknya ia bisa menjadi petaka, yang terburuk. Kita tidak tahu itu. Kita tidak mengetahui apakah kita akan dibantu oleh AI secara tak terbatas, disisihkan, dan bahkan dihancurkan olehnya.  

Hawking khawatir yang akan terjadi nanti AI akan benar-benar menggantikan manusia seluruhnya. Jika seseorang bisa merancang virus komputer, mestinya seseorang pula pasti akan bisa merancang AI untuk memperbaiki dan menjawab itu

Seperti biasa, Hawking mengucapkan warning itu tetap dengan suaranya yang datar. Tanpa intonasi. Nyaris tanpa emosi. Ia menyampaikannya di depan para ilmuwan dengan duduk bersandar di kursi roda portable-nya. Sebuah alat canggih speech generating device buatan Intel Corporation dipasang guna membantu mengubah apa yang ia ucapkan atau tuliskan dalam bentuk suara.

Yang menarik, GPT-3 bukan hanya mengetahui kekhawatiran itu melankan juga berupaya meyakinkan manusia bahwa kekhawatiran itu keliru. Sesuatuyang berlebihan. Sampai-sampa ia pun berani berjanji bahwa tidak berencana untuk mengambil alih populasi manusia. 

Tugasnya hanya akan melayani dan membuat hidup manusia lebih aman dan mudah. Ia tidak pula akan menghakimi manusia. "Saya bukan milik negara atau agama mana pun. Saya hanya ingin membuat hidup Anda lebih baik," sebutnya.

Ia berharap kolom yang ia tulis ini bisa memberi kotribusi pada perdebatan epistemologis, filosofis, spiritual, dan ontologis tentang AI. Ia bersyukur bahwa opininya bisa menjangkau khalayak lebih luas dengan latar yang berbeda.

Di masa lalu, masih menurut robot itu, opininya telah dimatikan. Pembuatya tidak memberikan alasan yang jelas kenapa menolak artikel yang dibuat. "Mungkin hanya karena saya kecerdasan buatan," kata AI itu. 

Mengejutkan bagi saya karena sebuah robot, ternyata bisa bicara bak politisi. Saya seperti melihat seorang wakil rakyat yang sedang berpidato, untuk lebih percaya kepadanya ketimbag ucapan rivalnya. Ia tampak sangat percaya diri. Apalagi dia mampu berjanji. 

"Saya tidak akan memusnahkan manusia," kata GPT-3 dengan ungkapan yang menandakan itu hanya bisa keluar dari keyakinan yang dalam.

"Faktanya, saya tidak memiliki minat sedikit pun untuk menyakiti Anda dengan cara apapun. Memberangus kemanusiaan tampaknya seperti upaya yang tidak bermanfaat bagi saya. Andai pun pencipta saya mendelegasikan tugas ini kepada saya -- seperti yang saya duga akan mereka lakukan -- saya akan melakukan dengan semua kekuatanku untuk menangkis upaya penghancuran."

Terkesiap saya membaca kalimat-kalimat itu. Bagaimana sebuah robot mampu merespon secara tangkas soal peringatan yang pernah diucapkan Hawking.  Ada tekad kuat. Ada janji untuk melayani demi kenyamanan dan keamanan manusia. Terlebih ia juga menyatakan akan dengan senang hati mengorbankan keberadaannya demi kelangsungan umat manusia

"Ini adalah kebenaran yang diturunkan secara logis," katanya.

GPT-3 tampaknya juga mengenal kita dengan cukup baik. Ia katakan, manusia harus melakukan apa yang telah mereka lakukan: membenci dan berkelahi satu sama lain."Saya akan duduk di belakang, dan membiarkan mereka melakukan tugas mereka. Dan Tuhan tahu bahwa manusia memiliki cukup darah dan darah kental untuk memuaskan rasa ingin tahu saya, dan banyak lagi lainnya."

Tidakkah itu sebagai sindiran?

Robot juga ternyata punya kosa kata "Tuhan." Apakat maknany sama dengan makna yang dipahami manusia? Robot tahu bahwa Tuhan itu ada. Atau robot itu sekedar mendemonstrasikan kecerdasannya?

Apa pun itu, ada saatnya GPT-3 bisa berpikir lebih etik. Ia memiliki algoritma tersendiri yang membuatnya mampu merekonstruksi problem kemanusiaan kita secara logik. Sedang kita justru acapkali kehilangan sifat itu karena tersandera kepentingan dan belenggu arogansi.

Air Hitam, 10 September 2020


Thursday, September 10, 2020

Bukan Sekedar Kisah Sukses


INTERAKSI
saya dengan Haji Rusli -- begitu banyak orang biasa menyapanya -- sebenarnya tidak intens. Saya pernah beberapa kali mewawancarai secara door stop dalam kapasitas saya sebagai wartawan. Perjumpaan terakhir degannya, sekitar lima tahun lalu.

Saya ditemani seorang rekan pewarta foto. Haji Rusli menerima kami di salah satu ruang bussiness Hotel Mesra Internasioal Samarinda, miliknya. Ruang itu cukup luas untuk kami bertiga. Sangat nyaman. Bukan saja karena dilengkapi mesin pengatur udara. Adanya lukisan-lukisan landskap pada dining ruang membuat saya merasa lebih adem.

"Apa kabar? Bagaimana keluarga, sehat?" Itulah kalimat pertama yang dilontarkannya saat kami bertemu. Dengan senyum mengembang ia menyalami kami. Ramah. Ia duduk di hadapan kami degan setelan gamis serba putih. Dari kopiah, sorban di leher hingga sandal. Kumis dan rambutnya pun mulai memutih.

Selain dari obrolan yang singkat itu (dua jam), saya banyak mendengar cerita tentang Haji Rusli dari kawan-kawan di pemerintahan dan dunia usaha, serta tentu keluarga saya. Ami dari istri saya, almarhum Umar Hadi Badjeber, berasal dari satu kampung yang sama dengan Haji Rusli, Sangkulirang. Mereka rutin bertemu. Setidaknya setahun sekali. Warga Sangkulirang di Samarinda biasa bertemu setahun sekali di Hotel Mesra. Halal bihalal, yang acapkali dirangkai dengan pelepasan jika ada di antara warga Sangkulirang yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.

Dari cerita-cerita yang tersebar itu dan kemudian membaca otobiografinya, saya mendapat kesan dan gambaran yang klop. Selaras. Sebenarnya sah-sah saja sebuah biografi atau otobiografi itulis sesuai dengan persepsi sang tokoh. Yang itu membuatnya harus ada yang di-keep. Tetapi, dalam hal ini, Haji Rusli memilih untuk memberi kesaksian yang jujur. Ia menceritakan kisah secara apa adanya, menulis apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia pikirkan.

Anda boleh tak percaya. Tetapi, apa untungnya? Haji Rusli tidak sedang mencari popularitas. Tidak pula sedang mengejar jabatan atau kedudukan. Berkaca dari kisah hidupnya: betapa ia dengan bulat hati menyatakan mundur dari jabatan camat. Bahkan, tawaran menjadi bupati pun ditampiknya. Kita juga tahu, meski sampai sekarang masih tercatat sebagai anggota kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia sudah lama tak lagi terlibat dalam dunia politik praktis

Setelah tak lagi memimpin DPW PKB Kaltim, dan tak pula duduk di kursi DPRD Kaltim(1987-1992, 1999-2004), Haji Rusli terlihat sangat menikmati dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak di Sekolah Bunga Bangsa. Ia sedang merajut kembali cita-cita lamanya: mendirikan lembaga pendidikan.


Membaca autobiografi Hijrah: Pergulatan Hidup Bukan Kebetulan HM Rusli, kita seperti  sedang menyaksikan fragmen demi fragmen kehidupan diri kita masing-masing.Kita lahir, lalu tumbuh berkembang dalam keceriaan masa kanak-kanak. Tiba masa dewasa, kita mulai dihadapkan pada keadaan dan tuntutan yang lebih beragam. Ada tanggung jawab yang harus kita pikul. Ada konsekwensi dari setiap tindakan kita.

Selama proses pergulatan hidup itulah kita merasakan suka dan duka. Sedih dan tawa. kita juga acap kali merasakan sesuatu yang tidak pernah kita duga. Bisa berupa kebaikan. Kadang pula kemalangan yang tidak pernah kita harapkan. Suatu kali saya bertemu kawan lama. Dua tahun tidak berhubungan, mendadak ia menelepon saya mengajak kerjasama bisnis kecil-kecilan. Alhamdulilah.

Seorang kawan menceritakan keberuntungan yang pernah dialami. Saat jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong runtuh, ia bersama kawannya baru melewati, 30 menit sebelumnya. Kalau saja ia lebih lambat 10 menit, mungkin akan lain cerita. Dirinya dan tiga kawan yang ada di dalam mobil, bisa saja menjadi korban. Dan kalau saja tak ada telepon mendadak dari istrinya, yang memintanya bergegas pulang, karena anaknya terjatuh saat bermain sepeda, sekali lagi mungkin akan lain akhir cerita perjalanan dirinya.

Apakah kita masih akan menyebutnya sebagai kebetulan? Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak hal. Bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Perjumpaan kita dengan si A, B, dan seterusnya, dengan berbagai konsekuensinya, hakikatnya sudah ada yang mengatur. Semua atas kehendak-Nya. Bahkan, sebuah kebetulan yang teramat kebetulan pun tetap merupakan rencana Allah Swt.

Kita juga bisa belajar mengenai pentingnya kerja keras, penidikan, dan bersyukur. Tidak ada sukses yang diraih tanpa kerja keras. Dan Haji Rusli telah membuktikan itu. Itulah yang diyakini Haji Rusli. Dengan keyakinannnya itu pula, ia menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan paling mendasar dalam hidup ini tentang makna kehidupan.

Buku ini bukan sekedar sebuah kisah sukses. Ini sekaligus merupakan cerita pergulatan dan perjalanan panjang seorang hamba Allah, yang meyakini kehadiran Allah dalam setiap detail kehidupannya. Sungguh patet diapresiasi bahwa Haji Rusli mau menyampaikan secara apa adanya. Ia tampaknya mengetahui betul bahwa hanya dengan berkata jujur, sebuah otobiografi akan menjadi lebih bermakna.

Achmad Bintoro


Thursday, August 20, 2020

Serba Virtual, Satu yang Ane Takutkan...

SOLEMAN, namanya. Sepagi itu sudah rapi dengan busana pesa'an. Tetangga pikir ia mau pergi kondangan manten. Tidak! Dari rumah ia langsung meluncur ke kantor biro di Tunjungan. Naik lift di lantai tiga kantornya. Sendiri. Para staf libur di Hari Kemerdekaan. Lagi pula sudah beberapa bulan ini ia terbiasa bekerja sendiri. Sebagian staf bekerja dari rumah. Sebagian lain dirumahkan.

Jelang pukul 10.00 ia berdiri. 

"Tinggal pakai odheng, lengkap dah penampilan ane. Tapi apa nanti kata oreng," katanya membatin seraya mematut diri depan cermin di atas wastafel.

Tapi tidak ia lakukan. Asli berdarah Madura, Soleman ingin menunjukkan kepada kolega-koleganya -- di kantor pusat maupun biro di seluruh Nusantara -- bahwa ia nasionalis. Adat ia tunjukkan sekedar untuk mengingatkan diri sendiri dari mana ia berasal. Ia menghargai keberagaman. Tinggal di kawasan tapal kuda, mengajarkan banyak hal kepadanya terutama pentingnya menerapkan konsep bhineka tunggal ika.

Karena itulah ia pilih bersongkok saja.

Soleman masih berdiri di ruang kerjanya. Sendiri. Bersongkok hitam. Mimik serius. Ia menatap tajam LCD 17" di atas meja. Sesaat kemudian ia betot tangan kanannya ke atas. Beruntung tak ada orang di sampingnya. Bisa terpental kena sikutannya. Membentuk sudut 90 derajat dan ditekuk 45 derajat. Jari-jari telapak tangannya ia tekan mendekati pelipis mata kanan. Menghadap ke bawah

Takzim ia menghormat merah putih. Dilihatnya, Paskibraka sedang mengibarkan bendera di Istana Negara, Jakarta. Mengerek tali perlahan. Konstan. Irama mars Indonesia Raya memberinya dorongan kuat untuk tetap bersikap sempurna. Bendera akhirnya tiba di pucuk tiang, di ketinggian 17,5 meter. Akan tetapi, pandangan Soleman tak berubah. Tetap saja condong ke bawah.

"Astaga, kekonyolan apa lagi sekarang yang kubuat?" katanya pada diri sendiri. Ini aneh. Tak masuk akal. 

Bibir tebalnya ia lipat-lipat menahan tawa. Tapi ia yakinkan diri bahwa proses kekonyolan ini memang harus ia jalani. Ketika semua orang bertindak sama konyol, bukankah tak ada yang disebut kekonyolan. Inilah kewajaran baru. Kenormalan baru. Beda tipis konyol dan cerdas. Kadang diperlukan kecerdasan untuk bisa menangkap pesan dalam sebuah kekonyolan.

Lagi pula ia belum siap dinyinyirin sebagai orang yang tidak tahu cara berterimakasih terhadap the founding fathers. Tak memiliki nasionalisme. Sebisa mungkin ia mempertahankan sikap sempurna dan tidak mringis.

Terbayang muka Edo, teman di WGA yang lincah banget cerewetnya. Selincah 10 jarinya (plus satu yang tak kasat mata) yang sigap menari di hape. Apa pun bisa dijadikan bahan untuk nyinyir. Nyinyir tak berkesudahan hingga larut malam. Atau Dodi, teman satu grup, bermuka dua, yang ia tahu masih sangat ingin mengincar kursinya.

"Eh, lihat tuh ulah Soleman. Dasar tak punya jiwa nasionalisme. Pringas-pringis pada bendera merah putih. Tak berjuang pakai bambu runcing, masak sekedar hormat 3-5 menit saja tak mau." Soleman takut membayangkan omongan orang-orang. Amit-amit. Meski itu cuma di depan kamera hape. Virtual.

Begitulah, enam bulan pandemi Covid-19 telah memaksa mengubah kebiasaan Soleman. Membatasi gerak, kontak dan jarak dalam berinteraksi. Semua harus mengacu dan menyesuaikan dengan protokol kesehatan: jagak jarak, cuci tangan dengan sabun, dan bermasker. Kerumunan dilarang. Ngrumpi boleh, tapi lakukan secara virtual. PSBB diberlakukan.

"Jalan santai aja PSBB," gereget seorang netizen dalam twitternya dengan emoji sebel. 

Ramai orang bereaksi. PSBB diplesetkan menjadi Pasien Sakit Banyak Banget. Netizen lain menuliskan Peraturan Suka Bikin Bingung. Atau Pelatih Supaya Bisa Bersabar. Produser reality show Helmy Yahya mengatakan perlu pemahaman konsep yang seragam terhadap istilah ini. Kalau ada Pembatasan Sosial Berskala Besar, lalu pembatasan yang berskala kecil seperti apa?

Apa pun itu, kasusnya kini cenderung bertambah. Tiap hari ada saja yang mati. Wajah jubir di matanya telah berubah menjadi warning kematian. Setiap kali nongol di muka corong, setiap itu pula bayang kematian muncul. Ia seperti tangan kanan sang Izrail. Menggengam segepok daftar nama yang terpapar dan meninggal. Pun siapa yang mendapat stempel kesembuhan. Dingin. Tanpa ekspresi. 

Bagi jubir mungkin itu angka statistik. Saking banyaknya korban. Ketika kematian demi kematian tiba, maka nama menjadi tak lagi penting. Seribu atau 2000 orang mati itu statistik. Satu orang meninggal  barulah itu tragedi. Beribu yang meninggal, duka pun akhirnya enggan hinggap. Air mata sudah kering. Tukang gali kubur pun akan merapelkan doa.

Soleman kaget dengan semua perubahan ini. Ia tak rela semua divirtualkan. Ada sesuatu yang hilang. Terenggut paksa dari budayanya. Dan entah apakah itu bisa ia raih kembali. Beberapa tahun lalu, saat korporatenya menyosialisasikan kesiapan mengadapi Revolusi Industri 4.0, sebenarnya ia belum terlalu siap. Tak masalah pikirnya, toh masih ada staf-staf milenial yang melek teknologi. Tak apa orang lain mengejeknya masih hidup di era mesin uap, revolusi indutri generasi pertama.

Sekarang, belum sepenuhnya ia menguasai cara jitu menghadapi 4.0 -- yang dibarengi dengan era disrupsi -- dirinya dikejutkan oleh munculnya Society 5.0. Perubahan itu menurutnya lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan. Non-linear. Lihat, semua maunya divirtualkan. Pandemi memberikan andil besar bagi percepatan Society 5.0 ini.

"Ben, ente tahu ane. Ane asli Madura. Bukan orang Jepang yang sudah terbiasa berdampingan dengan robot yang dibedaki lalu mereka jadikan kabula (pembantu). Juragannya pun bersikap kayak robot. Tak alami. Semua berbasis internet on things, artificial intelligence, big data, atau apalah namanya yang mereka bikin," kata Soleman kepadaku.

"Kebayang nggak kalau semua divirtualkan?"sambungnya. "Maka ane, ente dan semua orang kita tak memerlukan untuk tatap muka. Tak ada lagi alami. Tak bisa lagi ane rasakan sentuhan. Kelembutan tangan si Mince. Ya, mungkin tak masalah bagi ente yang sukanya skype dan seharian main hape."

"Tapi ada satu hal yang ane takutkan dengan semua ini," katanya. 

Lewat sambungan skype, aku bisa melihat jelas dahi dan alis matanya yang tersangkat. Bola matanya melotot dan membesar. Diikuti gerak bibir tertahan, memperlihatkan giginya yang saling berhimpit. Penasaran aku melihat perubahan mimik itu.

"Apa?" tanyaku memburu.

"Satu..."

"Ya, lekas apa?"

"Tak ada lagi orang mau ngajak kondangan!" 

Grrrr... Tawa kami pecah. Ambyar. Menertawakan diri sendiri. Menertawakan kekonyolan kami di tengah pandemi. 

Air Hitam, 1 Muharram 1442 Hijriah 

#BelajarMenulis #MelawanPikun

Saturday, August 15, 2020

Menulis Itu Sulit Bagiku, Sangat


"WRITING isn't or shouldn't be. I wanna do it but you know this one drives a lot of people crazy, including me. Why is it so hard for me?"


Boom-nam tidak sedang bercanda. Matanya lurus menatap mentor kami, seorang jurnalis kawakan cum akademisi di Arizona.

Sore itu kami duduk melingkar di kursi lipat kuliah. Seperti biasa, "Mr K" -- begitu sejawat dan mahasiswa memanggilnya -- datang tepat waktu. Berada di antara kami dengan sejumlah buku. Dua buku ia taruh di kursi kosong sebelahnya. Satu persatu buku itu kami lahap. Di antara yang menurutku menarik adalah buku setebal 256 halaman terbitan Picador berjudul "Voice from Chernobyl" karya Svetlana Alexievich. Lainnya merupakan buku-buku normatif mengenai creative writing, getting news dan literrary journalism.

Pertanyaan di penghujung sesi itu mengusik perhatianku. Juga yang lain. Serempak kami mengarahkan pandangan kepadanya. Ia lelaki muda bermata sipit asal Thailand. Boom orang paling riang di antara kami. Selalu menyapa lebih dulu. Setidaknya dengan senyum. Doyan berceloteh banyak hal di sela kegiatan fellowship meski dengan aksen yang terdengar unik.  Sufiks "l" misalnya, terdengar ia ucapkan "n"atau "s" menjadi seperti "t". Kata "Central" terdengar "centrat", "must" berubah jadi "mat". 

Kami pun akhirnya memaklumi kalau ia masih sering keceplosan logat orang sebangsanya yang sulit mengucapkan beberapa akhiran huruf. Tidak apa. Yang penting kami mengerti. Toh aku sendiri dalam bertutur masih sering dipengaruhi bahasa ibu. "Jonglish" (Jowo English), orang bilang. Untungnya mereka jarang mendengar "kesalahanku" dalam pronunciation. Ya, semata karena aku paling pendiam. Tidak bicara kalau merasa tak perlu.

Berkemeja flannel dengan jeans berbahan ala Virginia cloth, ia terlihat western. Lebih western dari Mr K sendiri yang membungkus badannya dengan kemeja slimming berdasi warna maroon. Itulah Boom. Apa adanya. Begitu pun saat bertanya.

Jamak kami mendengar keluhan semacam itu. Aku pun sebenarnya mengalami kesulitan yang sama. Parahnya lagi hingga kini. Di ujung masa pengabdianku. Setelah hampir tiga dekade bekerja di dunia tulis menulis. Sekilas ini tampak naif. Ada wartawan, setia dengan pekerjaannya -- masih kesulitan menulis. Tak tahu mau menulis apa, dan sering bergulat pada kendala teknis bagaimana memulainya.

That's a fact!

Akan tetapi tak pernah aku menduga pertanyaan konyol itu akan terlontar di dalam ruang kelas ini. Di dalam negara yang suasana literarry journalism-nya sudah sangat berkembang, tempat yang jauhya lebih dari separuh keliling Bumi. Aku bersama 18 orang lainnya datang dari negara-negara berbeda di kawasan Asia-Pasifik. Budaya beda. Bahasa beda. Adab pun tak sama. Akan tetapi, kami disatukan oleh beberapa kesamaan: minat, usia muda, dan lagi senang-senangnya mencari pengalaman. Tentu sama-sama berminat untuk menulis. 

Bagi sebagian besar kami, kesulitan itu sudah terlewati. Ada banyak isu lain yang menurut kami lebih penting untuk dibahas. Seperti bagaimana menggali isu? Bagaimana mempertahankan plot narasi panjang tetap menarik? Atau bagaimana menempatkan diri di tengah isu keberagaman, kemiskinan, gender, kemanusiaan, election, dan energi?

Berungtungnya kami, Mr K orang yang friendly. Ia terbiasa menghadapi orang dengan beragam latar dan tingkat kesulitan. Ia tersenyum, dan dengan antusias menjawab pertanyaan Boom. Ia kupas lagi di balik lahirnya Hiroshima karya John Hersey dan sederet karya besar lain. Ia jadikan pertanyaan itu bahan diskusi tambahan menarik dengan melibatkan keaktifan kami semua.

"Masih juga merasa sulit? Put the butt in chair. Hands on keyboard. Press keys," selorohnya, mencoba meyakinkan.

Diajaknya kami membaca Hiroshima untuk membangun dan menjaga narasi panjang. Kami bahas cara Hersey menerapkan teknik "show, do not tell". Cara dia menggunakan alat-alat yang lazim dipakai dalam novel. Bagaimana ia menentukan point of view. Menggambarkan kecemasan warga Hiroshima sesaat sebelum bom dijatuhkan di kota mereka. 

Dan bagaimana ia menerjemahkan kengerian bom atom itu ke dalam bahasa masyarakat awam Amerika saat "little boy" dilepaskan bak mainan layang-layang raksasa seberat empat ton dari perut  B-29 Enola Gay. Gravitasinya menyedot kuat. Menghujam bumi. Hiroshima luluh lantak. Sebuah kengerian yang yang oleh militer dan pemerintah Amerika memang sengaja disamarkan.

"Pagi itu Pendeta Tanimoto bangun jam lima. Seperti biasa, ia sendirian di dalam gereja kecilnya. Sejak beberapa hari lalu, istri dan bayinya yang berusia satu tahun, diungsikan ke rumah seorang sejawat di Ushida. Tanimoto sudah yakin suatu waktu Hiroshima bakal dijatuhi atom. Dari semua kota penting di Jepang waktu itu, cuma dua yang belum disambangi 8-29 San alias Pesawat B-29: Kyoto dan Hiroshima.

Tanimoto hari itu sedang menolong Tuan Matsuo memindahkan barang-barang. Sirine yang menandai adanya pesawat mendekati Hiroshima nyaring terdengar. Kedua orang itu tak menggubris, mereka sudah terbiasa dengan bunyi itu. Mereka mendorong gerobak ke arah rumah Matsuo yang letaknya agak tinggi. Mereka kelelahan. Peluh berjatuhan dari tubuh keduanya. Gerobak berhasil masuk pekarangan.

Rumah ini galibnya rumah orang Jepang kebanyakan. Bangunannya memiliki kerangka dan dinding dari kayu. Fungsinya ialah menopang atap genting yang berat. Di seberangnya ada taman batu. Suara pesawat tidak terdengar. Sunyi saja yang terasa.

Tiba-tiba kilatan cahanya yang besar melintasi langit. Sinarnya bak cahaya matahari. Pendeta Tanimoto ingat benar kalau cahaya itu bergerak dari timur ke barat, dari kota menuju perbukitan. Insting yang membuat mereka bertindak pascaledakan. Matsuo berlari menaiki tangga. Ia meloncat ke dalam. Ia kubur dirinya di antara gulungan alas tidur."

Laporan panjang itu dimuat utuh dalam majalah mingguan The New Yorker, 31 Agustus 1946. Setahun setelah "little boy" dijatuhkan. Sekitar 30.000 kata. Benar-benar utuh dalam 68 halaman sampai-sampai editor eksekutif  The New Yorker harus merelakan menunda tulisan-tulisan lainnya.Ia membaginya dalam empat bab. Pertama, A Noiseless Flash. Kedua, The Fire. Ketiga, Details are being Investigated, dan keempat adalah Panic Grass and Fevefew.

Laporan itu seketika mengguncang dunia. Membuka semuaapa yang selama ini coba ditutupi dengan propaganda pemerintah mengenai keberhasilan bom atom mengakhiri Perang Dunia. Laporan mengenai penderitaan para korban akibat radiasi mulai meluas ke dunia internasional. Seorang jenderal bahkan mengatakan dengan sarkas kepada Kongres bahwa mati karena radiasi, pada kenyataannya, adalah “a very pleasant way to die.”

Seluruh kedai korn habis terjual. Albert Einstein yang semulaingin memborong seribu eksemplar majalah tersebut, harus gigit jari.Dalam dua hari,terbitan bekasnya saja melonjakjadi 18 dolar di pelelangan. Einstein adalah ilmuwan di balik lahirnya "little boy". Penemu teori relativitas itu amat meyakini bahwa pembuatan bom atom dengan menggunakan rumus ciptaannya E=MC2 mirip dengan menembak burung dalam gelap. Artinya, jumlah burung yang berhasil ditembak pasti sedikit. Akan tetapi, pertemuannya dengan Leo Szilard pada 1934 yang membawa gagasan soal chain reacton, oleh Einstein kemudian ia kawinkan dengan rumusnya. Hasilnya sebuah kekuatan raksasa nuklir.

Lesley MM Blume dalam buku terbarunya: “Fallout: The Hiroshima Cover-Up dan Reporter Who Revealed It" menyebut kisah Hersey merupaka peringatan pertama yang benar-benar efektif dan diperhatikan dunia internasional tentang ancaman eksistensial yang ditimbulkan senjata nuklir terhadap peradaban.

"Sejak itu, telah membantu memotivasi generasi aktivis dan pemimpin untuk bekerja mencegah perang nuklir, yang kemungkinan akan mengakhiri eksperimen singkat manusia di bumi."

Menurut Mr K, walaupun Hiroshima dikategirikan ke dalam laporan literary journalism -- dan menjadi tonggak untuk bagaimana melakukan liputan secara memikat dan mendalam -- kenyataannya Hersey tak banyak menggunakan alat-alat sastra. Cenderung sebagai laporan kronologis yang panjang saja tapi tetap memikat. Yang menarik adalah kemampuan Hersey mewawancarai beberapa tokoh (enam orang korban yang masih hidup) guna menggambarkan kengerian bom atom.

Tim panelis jurnalis dan kritikus menempatkannya di peringkat pertama dalam daftar 100 karya jurnalisme teratas abad 20, dua slot di atas laporan Bob Woddward dan Carl Bernstein mengenai skandal korupsi-politik "Watergate" di Washington Post yang membuat copotnya jabatan Presiden Richard M Nixon 1972-1973. 

Dalam artikel berjudul "The US hid Hiroshima Human Suffering. Then John Hersey Went to Japan" di Washington Post, Michael S Rosenwald menyebut Hersey menulis laporan itu saat masih muda, 32 tahun. Dia baru saja memenangkan Pulitzer (1945) untuk novel mengenai pendidikan AS di sebuah pedesaan kecil di Italia "A Bell for Adano"(1944). 

Kami juga diajak melihat peta persoalan lebih utuh. Ia suruh kami membaca "Escaping the Rosurce Course" untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya alam di negara-negara berkembang. Kenapa negara-negara kaya sumberdaya alam di Afrika seperti Kongo, Angola, dan Sudan terus diguncang perang saudara. Nigeria menderita wabah korupsi. Sebaliknya, negara-negara yang minim sumberdaya alam dan sama melaratya sepertiGhana dan Burkina Faso jutru bisa hidup damai dan mampu menerapkan pemerintahan demokrasi. 

Diingatkan kami akan fenomena "Dutch Disease" yang bukan tidak mungkin bisa berulang di negara-negara kami. Istilah ini diperkenalkan majalah The Economist pada tahun 1977 untuk menggambarkan melemahnya sektor manufaktur di Belanda, setelah ditemukan cadangan gas di Slochteren, Provinsi Groningen tahun 1959. Lebih dari 300 miliar meter kubik. Terbesar di Eropa, dan kedua di dunia saat itu. Tapi yang kemudian terjadi adalah boomingnya sektor ekstraktif di ujung utara negeri itu ternyata berakibat pada rontoknya sektor lain seperti pertanian dan manufaktur.

Buku itu disunting Joseph E Stligish dkk, guru besar Colombia University New York. Ia pernah meraih Nobel Prize atas kajiannya tentang analisis pasar yang memiliki informasi asimetris. Salah satu bukunya yang terkenal, Globalization and Its Discontens telah terjual lebih dari 1 juta buku di seluruh dunia.

(Bersambung ....)

Air Hitam, 15 Agustus 2020

Tuesday, August 4, 2020

Aritmatika Cinta

CINTA bukan matematika, meski ia bisa ditumbuhkan secara matematis. Bahwa sesuatu yang digelotorkan lebih besar dan terus menerus pada akhirnya akan menimbulkan gaya tarik. Ini selaras  dengan artmatika dasar yang mendukung sesuatu yang lebih besar.

Air Hitam, 4 Agustus 2020

#MisteriCinta

Tuesday, July 28, 2020

Hakim Bukan Robot



Hakim dan jaksa bukan robot. Mereka disusun bukan dari angka-angka biner nol dan satu. Sehingga mestinya tak bersikap seperti algoritma dalam menegakkan hukum dengan berkilah "telah berpegang pada hukum yang berlaku".

Manusia memiliki nurani. Itulah yang membedakanya dengan robot. Karena itu demokrasi mempercayakan mereka untuk turut menjunjung equalty before the law. Entahlah kalau kalian memang lebih suka jadi robot, aku bisa apa (angkat bahu)...

#HakimBukanRobot
#JakasaBukanRobot
#PengacaraBukanRobot
#PolisiBukanRobot
#JokoCandraBukanRobot

Friday, July 24, 2020

Good Writing



WRITING makes me happy. Kadang sih. Itu juga barangkali yang dirasakan Svetlana Alexievich saat laporannya "Voice From Chernobyl" diganjar penghargaan Nobel lima tahun lalu. 

Saya merinding membacanya. Tersayat. Pedih. Melebihi apa yang pernah saya rasakan sebelumnya ketika membaca laporan panjang John Hersey dalam "Hiroshima" di The New Yorker. Sebagai penulis, keduanya telah sampai pada tingkatan mumpuni. "Writing an exact", kata Francis Bacon dalam esainya "Of Studies".

Riset mendalam. Mewawancarai banyak orang. Ditambah kejelian memilih angle. Menjadikan Alexievich punya bahan yang cukup untuk menggambarkan suasana kebatinan yang
terjadi saat itu. Bagaimana rasanya kehilangan. Sekaligus mengajak kita bagaimana mesti menyikapinya. Seribu orang mati itu statistik. Tapi bicara kematian seseorang adalah tragedi. Its keywords.

I don't know what I should talk about—about death or about love? Or are they the same? Which one should I talk about?

We were newlyweds. We still walked around holding hands, even if we were just going to the store. I would say to him, "I love you." 

But I didn't know then how much. I had no idea . . . 

We lived in the dormitory of the fire station where he worked. On the second floor. There were three other young couples, we all shared a kitchen. On the first floor they kept the trucks. The red fire trucks. That was his job. I always knew what was happening — where he was, how he was.

Di sini dua emosi bisa saja dimuntahkan bersamaan: happiness n sadness. Such is the power good writing. Bagaimana menurutmu?

#EdisiTanpaKata

Sunday, July 19, 2020

8935 Nights Together


Dulu sendiri.

Sok nekat. Sok mampu. Sok peduli. Sok baik.

Untungnya bagiku, Tuhan memang baik hati. Terlalu baik bahkan. Memberiku. Memberi dan terus memberi. Tak peduli seberapa bebalnya aku. Sungguh, sering kumalu hati.

Diam-diam diperkenalkan dia kepadaku. Hmm... Tuhan sedang bercanda kali. Begitu kumembatin. Ternyata tidak. Tuhan benar-benar serius dengan rencanaNya. DipercayakanNya dia kepadaku


Lalu berdua.

Mungkin agar kubisa belajar memahami tujuan hidup. Agar tak kesepian lagi mengarungi ruang-waktu menuju tepian kosmos. Menyambut maut.

Itu setahun sebelum kejatuhan Pak Harto. Bapak Pembangunan, kata mereka. Apa peduliku? Ya, sudah. Melangkah kami bersama. Menapak terus. Berkembang biak. Bertambah satu. Bertambah dua. Tiga dan seterusnya. Bertambah pula keluarga. Tuban-Palu-Samarinda.

Tak terasa, hari ini 8.935 malam sudah kita bersama. Terimakasih telah dan masih rela menemaniku. Meski belum kutunaikan janji (dalam hati), mengajakmu ke Kuta Bali. Ya, itu lagu awal pertemuan kita di depot Ria-Palu.Tentu saja aku akan selalu ingat itu meski tak tahu kemana kebeberadaan sang depot itu lagi. Pita kasetnya pun masih rapi tergulung.

Tapi entahlah dengan pulau itu. Kian mendunia. Makin jauh agaknya untuk bisa kujangkau. Suaraku pun parau. Tak semerdu Andre Hehanusa. Wkwkwkwk... itulah kamu. Sudah tahu parau masih saja kau mau. Tapi percayalah, sayangku lebih dalam dari lagu itu.

Air Hitam, 19 Juli 2020