Saturday, October 8, 2016

What Do You Do?

"POP quiz, hotshot," kata Payne di seberang telepon.


"There's a bomb on a bus. Once the bus goes 50 miles an hour, the bomb is armed. If it drops below 50, it blows up. What do you do? What do you do?"

Payne menantang Jack, polisi dari Departemen Kepolisian Los Angeles, AS, seusai memasang bom pada sebuah bus, untuk menjinakkan bos tersebut.

Ia mengingatkan, kalau ingin penumpang selamat, maka bus tak boleh melambat kurang dari 50 mil/jam.

Tetapi, ia tidak memberi tahu nomor bus dimaksud. Tentu ini bukan kondisi yang mudah dan diinginkan oleh siapa pun.

Siap tidak siap. Suka tidak suka. Jack Traven harus menerima tantangan Howard Payne (Dennis Hopper) dalam Speed (1994). Inilah film yang kemudian melambungkan nama Keeanu Revers.

Sekarang, maukah Anda menerima tantangan sejenis untuk Kaltim. Bukan soal bom! Ini soal masa depan Kaltim.

Selagi masih ada kesempatan berpikir dan menimbang-timbang. Tak ada salahnya kita berandai-andai. Apa yang akan Anda lakukan kalau diberi kesempatan menjadi Gubernur Kaltim 2018-2023?

Ya, mungkin banyak impian, harapan, dan ide tentang Kaltim yang lama mengendap di kepala Anda. Mungkin Anda pernah menuliskannya di media sosial. Pernah curhatkan kepada kawan. Anda obrolkan di kedai kopi. Anda jadikan bahan cacian kala berdemo. Atau hanya menjadi catatan kecil di bawah bantal.

Apa pun itu, ayo sekarang tunjukkan.

Kalau pun nanti Anda tidak terpilih, siapa tahu gubernur baru mau mendengarmu. Lalu menjadikannya bagian dari program prioritasnya. Tentu tak harus Anda keluarkan semua. Cukuplah satu-dua yang paling Anda inginkan.

Tetapi, sebelum menjawab itu, Anda perlu memahami kondisinya dulu. Provinsi kita ini tidak lagi sekaya dulu.

Memang kita pernah kaya. Kita memiliki hutan hujan tropis yang sangat luas, dengan keaneragaman hayati yang melimpah ruah. Riapnya menghijaukan lebih dari 14,9 juta hektare daratan Kalimantan. Ademnya turut mengayomi mahluk seisi bumi.

Sayangnya itu tak bertahan lama. Beberapa dekade kita mengalami kejayaan hutan itu.

Begitu kran ekspor log dibuka, ribuan chainsaw menyerbu. Meraung di mana-mana. Seperti orang kesetanan, mereka membabat semuanya. Tanpa jeda.

Ganti pola pemerintahan desentralisasi, ternyata hanya menggeser pembabatan, kian tahun kian ke pelosok. Hingga suatu saat kita menjadi  terhenyak sendiri. Tak ada lagi tegakan tersisa.

Rupanya selama kita telah begitu serakah. Pusat telah mengambil semua. Menjadikan orang-orang Jakarta sebagai raja.  Raja dari segala raja. Menjadikan mereka konglomerat. Power mereka mampu mempengaruhi kebijkan politk, keputusan kabinet dan mengatasi sekat-sekat regulasi.

Nyaris tidak menyisakan apa pun untuk anak cucu. Sekubik balok ulin dan papan bengkirai, sekedar untuk membangun gubuk kecil, pun tak diberi. Mereka kini menggunakan rangka dan kusen dari alumunium dan baja ringan.

Waktu terus berjalan.

Kita lalu melupakan yang sudah-sudah. Mereka tahu itu.Sebab kita memang mudah lupa, gampang pula memaafkan. Mungkin karena kita merasa masih banyak kekayaan alam yang lain di provinsi luas ini.

Hutan mulai habis, kita bor menyembur minyak bumi. Bahkan, lapisan tanah kita sibak pun terkuak batu bara. Wajah bumi yang bopeng kita tutupi hamparan sawit, yang membuat kita harus melakukan tebang habis tegakan. Cuci mangkok.

Kita gali, gali dan terus menggali.

Kita ambil bahan mentah itu sebanyak mungkin. Kita keruk habis-habisan batu bara untuk menerangi listrik di belahan bumi lain. Ke Korea, China, Eropa, Jepang dan lainnya. Tapi, kita biarkan daerah sendiri byar pet.

Booming kayu, minyak, kemudian batu bara membuat kita kurang mawas diri. Apalagi APBD besar. Triliunan. Seiring membesarnya nilai ekspor komoditas sumberdaya alam kita.

Kita pun berlagak seperti orang kaya baru. Ke sana kemari dengan setelan perlente. Selalu hadir di setiap event dan undangan. Kalau perlu, mencari undangan. Bak si Ratu Pesta, kata Pinkan Mambo.

Kita bangun apa pun yang kita mau. Tanpa perlu membukanya lebih dulu kepada masyarakat. Bikin kegiatan apa pun yang terlintas di kepala. Asal dana terserap 100 persen.

Tak penting bermanfaat atau tidak. Dibutuhkan atau tidak. Itu urusan belakang, katanya. Kalau pun nanti mangkrak, tak masalah. Buat saja proposal baru,  penyesuaian bangunan dengan kondisi terkini. Selesai!

Saya jadi teringat cerita kawan mengenai perilaku sebagian masyarakat ketika banjir kap. Mungkin didorong oleh kemudahan dalam mendapatkan uang, mereka mengalami apa yang lazim disebut kejutan budaya.

Datang ke toko. Beli ini beli itu,  tanpa menawar. Barang-barang elektronik seri terbaru seperti kulkas, mesin cuci, dan televisi mereka angkut ke desa. Padahal, di rumah belum ada sambungan listrik.

Maka, barang-barang "mewah" itu hanya jadi pajangan. Kulkas berubah fungsi menjadi lemari pakaian. Mesin cuci jadi tempat menyimpan beras. Alamak.

Mereka beli barang-barang bukan lagi dilandasi kebutuhan. Lebih karena keinginan untuk memiliki apa yang juga dipunyai warga perkotaan. Mereka seperti mengejek kemiskinan dan keterbatasan yang lama menyandera.

Tidakkah perilaku kita kini masih sama? Semoga tidak! Sebab belum tentu akan datang lagi kesempatan keempat, kelima dan seterusnya.

Anda juga perlu tahu provinsi kita tak lagi sesehat dulu.

Ekonomi kita sedang meriang. Pertumbuhan minus. Kinerjanya paling buruk se-Kalimantan. Ketika banyak provinsi lainnya tumbuh positip, kita justru minus 1,3 persen.

Tiga tahun lalu kita malah paling jeblok se-Indonesia. Berkebalikan dengan Papua yang menjulang ke puncak 14,84 persen.

Harga batubara anjlok. Berapa banyak perusahaan yang kemarin bak jamur di musim hujan, kini rontok bertumbangan. Dan berapa banyak usaha ikutan lainnya yang dirintis masyarakat akhirnya ikut terkapar.

Minyak kini di titik terendah. Tak cuma ekonomi mikro yang menderita, APBD kita ikut berdarah-darah. Dana bagi hasil migas dan sumberdaya alam tertahan.

Defisit anggaran kian membesar. Tahun ini Rp 1,76 triliun. Tahun depan diprediksi akan lebih besar lagi. Beginilah kalau kita selalu mengandalkan ekspor bahan mentah.

Jadi, dengan kondisi seperti itu, apa yang akan Anda lakukan jika menjadi gubernur? Apakah Anda akan menerima tantangan itu, sebagaimana Jack Traven harus menerima tantangan dari Howard Payne?

Sekali lagi, apa yang akan Anda lakukan dengan kondisi Kaltim yang begini? Apakah Anda akan kembali jualan bahan mentah untuk menopang struktur APBD Kaltim? [achmad bintoro]

Friday, October 7, 2016

Sungai Cheonggyecheon


SUTRADARA CHOI Dong-hoon punya alasan matang ketika ia memutuskan sungai Cheonggyecheon sebagai lokasi syuting untuk beberapa scene Woochi. Judul lengkapnya Jeon Woo Chi: The Taoist Wizard.

Ini merupakan film bergenre komedi-fantasi dan action, dengan latar periode sekitar 500 tahun lalu. Tepatya pada dinasti Joseon. Aktor utamanya seorang bintang beken-ganteng yang digandrungi kawula muda kala itu -- bahkan hingga kini -- Kang Dong Won.

Saat dirilis tahun 2009, film ini berhasil masuk jajaran box office. Menjadi film terlaris ketiga di Korea dengan jumlah tiket terjual 6,1 juta pada musim dingin. Sebuah pencapaian yang cukup besar, apalagi dirilis hanya seminggu setelah tayang Avatar. Tiga tahun kemudian barulah diproduksi serialnya dalam tayangan drama televisi di KBS2.

Saya bukan penggemar film Korea, apalagi dramanya. Beda dengan anak saya. Ia terlihar benar-benar kecantol Korean Wave sehingga sangat familiar dengan nama-nama bintang Korea itu. Padahal, bagi saya, mengeja namanya saja sulitnya minta ampun. Nama-nama itu terdengar sama di kuping, sukar lidah saya untuk mengucapkannya.

Kalau tidak Kang, pasti Jong. Atau Jang, Jung, Gang, Wong, Kim, Young, Il, Woo, Hee, Byung, dan semacamnya.

Untuk film Asia Timur, saya lebih menyukai film-film silat klasik produksi Hongkong yang berlatar dinasti-dinasti China. Barangkali karena sejak kecil film-film itulah (sebagai film asing) yang lebih banyak diputar di tiga gedung bioskop di kampung saya dulu.

Biasanya, film-film itu dipromosikan lewat radio pemda dan woro-woro pengeras suara di mobil yang mobile di seantero penjuru kota. Mereka akan start dari gedung bioskop siang hari, lalu menyusuri jalan-jalan perkotaan sambil membagikan poster-poster kepada warga.

Saya dan kawan-kawan acap berlomba mengejar mobil itu setiap sore. Kami teriak gembira sekali saat poster-poster cantik dari cetakan mengkilat itu akhirnya jatuh ke tangan kami. Sudah tentu jadi rebutan, seperti layaknya dulu kami mengejar layang-layang putus. Saya menyimpannya. Sekedar untuk koleksi. Sebab tak selalu punya uang untuk nonton.

Cheng Lung misalnya, adalah aktor kung fu yang jarang saya lewatkan film-filmnya. Drunken Master (1978) sampai harus beberapa kali saya tonton. Aktingnya sering membuat kami ketawa, meski itu bukan film komedi. Tangkas. Lihai berbela diri. Belakangan dia memiliki brand baru sebagai Jacky Chan.

Julukan baru ini ia ambil dari temannya, sesama pekerja bangunan, yang menjadi pengawasnya saat bermigrasi di Canberra. Lambat laun ia dijuluki sebagai Little Jack, yang akhirnya dipendekkan jadi Jacky, dan populer dengan julukan Jackie Chan.

Saya juga akrab dengan nama lain seangkatannya seperti Sammo Hung, atau pendahulunya: Chen Kuan-tai yang rajin memenuhi film silat produksi Hong Kong.

Film Woochi juga berlatar zaman dulu. Tapi sengaja dibuat dengan taget lintas generasi, sehingga dipilihlah aktor Kang Dong. Publik di Indonesia sebenarnya lebih familiar dengan nama-nama lain aktor ahjussi seperti Gang Yoo, Jo In Sung, So Ji Sub atau Ji Sung,. Tetapi, Kang Dong-won tidak kalah tenar.

"Saya ingin menjadi seorang aktor yang dicintai berbagai generasi," kata Kang dalam wawancara di majalah entertainment.

Dengan aktor pendukung yang kuat, anggaran yang cukup tinggi, dan arahan sutradara andal Choi Dong-hoon, terbukti Woochi mampu menjadi film blockbuster di musim liburan saat itu. Kini, di usianya yang ke-38 tahun, Kang tetap jadi aktor yang ahjussi, tepatnya ahjussi rasa oppa. Berpostur tinggi semampai dan tampang androgini membuatnya ia tetap digandrungi banyak remaja.

Diadaptasi dari legenda rakyat, film ini tentang seorang penyihir urakan, Woochi (diperankan Kang Dong-won) yang dipenjara ratusan tahun. Agar bisa bebas, ia diberi tugas oleh tiga dewa Tao untuk menangkap goblin sekaligus mendapatkan seruling Archgod, pengendali goblin. Dalam kembaranya itu, termasuk di dunia modern, Woochi ditemani Choragyi. Ia seekor kuda -- sebenarnya merupakan anjing berwujud manusia -- yang menjadi teman karibnya.

Kalau Anda menontonnya, pasti pernah melihat beberapa scene film ini yang berlatar sungai Cheonggyecheon. Seperti nama-nama aktornya, nama sungai ini juga agak sulit untuk saya ingat dan dilafalkan. Lain dengan nama Han, induk dari sungai itu. Ada satu scene Woochi sedang bertarung seru di sungai. Itulah nama sungai yang sangat fenomenal.





CHEONGGYECHEON MENGALIR di tengah kota Soeol. Orang dulu mengenal kota itu dengan sebutan Hanyang. Ia telah ratusan tahun menjadi pusat pemerintahan, sejak Dinasti Joseon memindahkan ibukotanya dari Gaegyeong, 28 Oktober 1394.

Informasi ini saya peroleh dari  leaflet dan booklet perjalanan yang saya ambil gratis di information box di sebuah mal di Seoul.

Sama seperti sungai Karang Mumus yang mengalir di kota Samarinda dan bermuara di Mahakam, Cheongyecheon mengalir sejauh 8,5 kilometer, dan bermuara di sungai Han (Hanggang).

Pekan lalu saya berkesempatan ke sana. Ini kali kedua saya ke negeri ginseng tersebut. Kali ini saat singgah menuju San Fransisco. Lumayan, saya masih memiliki waktu seharian sebelum meneruskan pindah pesawat menyeberangi samudra Pasifik.

Beres urusan imigrasi saya segera meninggalkan Bandara Incheon menuju Seoul. Saya cukup bugar, meski sebelumnya harus duduk 5-6 jam dari Kuala Lumpur, Malaysia. Cukup dengan meregangkan kedua kaki. Kebetulan, selama di pesawat saya gunakan waktu untuk tidur setelah novel Deception Point habis saya lahap.

Incheon merupakan bandara termewah di Korea Selatan. Bahkan ketiga terbaik di dunia, pun sangat sibuk. Kemegahannya bolehlah disetarakan dengan Changi, Singapura, Keren habis. Di sini juga dilengkapi praying room, meski tidak sebesar dan senyaman di Terminal 3 Bandara Soetta Jakarta.

Saya menggunakan bis menuju Seoul. Keluar dari bandara, sweater yang saya pakai seperti tak mampu lagi menghangatkan badan. Suhu udara drop. Musim gugur di Korea Sekatan hampir berakhir dan akan segera memasuki winter. Angin dingin serasa menusuk tulang.

Tak sulit untuk keluar bandara. Meski merupakan bandara besar dan super sibuk dengan berderet outlet branded, petunjuk arah cukup lengkap. Semua petunjuk menggunakan huruf Hanguel, tetapi di bawahnya ada padanan kata berhuruf latin dalam bahasa Inggris.

Saya sempat tanya ke petugas moda transportasi yang tersedia. Petugasnya anak muda, tampan, dan sangat ramah. Ia menjelaskan dalam bahasa Inggris. Menurutnya, ada tiga moda transportasi dari bandara yakni taksi, bus, dan kereta. Saya malas kalau harus turun lagi menuju subway, maka pilihan jatuh menggunakan bus menuju Seoul.

Sekitar 1 jam 10 menit saya tiba di ibu kota negeri ginseng itu. Cukup waktu bagi saya sebelum kembali pada malam hari untuk melanjutkan penerbangan 14 jam lagi menuju Bandara San Fransisco di California itu. Inilah saat saya menjelajah lebih dari separuh belahan bumi, dan merasakan sensasi jetlag karena perbedaan waktu sekitar 13 jam antarbandara.

Tiba di Cheonggyecheon, tak ada ekspresi lebih pas selain kekaguman. Saya sempat tidak percaya bahwa ini sebelumnya merupakan sungai kotor, kumuh dan bau karena menjadi tempat warga migran buang segala hajat.

Gambaran kekumuhan saya saksikan saat tiba di museum. Batin saya, gile nih sang Walikota Seoul Lee Myung Bak. Tak cuma melakukan restorasi sungai menjadi ikon wisata baru Korea Selatan, tapi juga melengkapinya dengan museum yang berisi diorama perjalanan kali ini dari dulu hingga pasca-restorasi.

Kali Cheonggye mengalir jernih di antara gedung pencakar langit di tenga kota Seoul. Jernih, bersih. Satu jam menyusuri sungai itu, saya tak menemukan seonggok pun sampah. Saya dapat melihat bebatuan dan pasir di dasar sungai. Ikan-ikan kecil berenang gesit.

Siapa sangka kalau sungai ini jorok dan kumuh. Bahkan, kekumuhan itu sengaja ditutupi dengan hutan beton pada tahun 1958. Tahun 1970-an, overpass dengan lebar 16 meter dibangun di atasnya.  Sehingga ribuan barak pemukiman masyarakat urban yang berjejal di gubuk-gubuk sepanjang sungai itu menjadi tak terlihar lagi.

Dari atas, sepintas, kawasan itu normal saja. Tetapi, di sanalah segala sampah kota dan kotoran warga berakhir. Di sanalah tempat puncak dan pusat polusi udara. Saat itu, cara ini dianggap sebagai solusi jitu menutupi dampak dari industrialisasi dan modernisasi Korea Selatan.

Tetapi, pada tahun 1980-an, justru kali itu dianggap sebagai penyebab buruknya kualitas udara. Sumber kemacetan dan bobroknya lingkungan. Kali itu pula dianggap sebagai garis kesalahan kota yang memisahkan area selatan yang dinamis dan area utara yang tertinggal dan kurang mampu bersaing.

Ya, seperti Samarinda yang dipisahkan sungai dan tanpa sadar telah menjadi garis pemisah antara area selatan yang relatif kampung dengan area utara yang lebih maju perekonomiannya.

Akhirnya, tahun 2003, Lee Myung Bak, walikota saat itu -- yang kemudian menjadi Presiden Korea Selatan, memutuskan untuk mengembalikan sungai dan menyelesaikan masalah lingkungannya. Saat bersamaan ia juga menjadikan ruang publik dan sebuah simpul bisnis, keuangan, layanan industri dan lainnya

Lee Myung membongkar jalan layang itu, dan membabat habis deretan paku bumi yang tertanam di sepanjang sungai. Sungai dibersihkan. Air harus digerojokkan dari Sungai Han untuk membersihkan kali melalui beberapa pompa besar. Bantaran yang dipenuhi gubuk-gubuk kumuh para buruh migran turut dibongkar.

Sebuah taman linier dibangun untuk mengkaver ruang publik yang nyaman. Area publik ini seluas 400 hektare, tiga kali lebih besar dari Hyde Park di London. Di dalamnya termasuk membangun jaringan jalan bagi pejalan kaki di kedua sisi, dan merestorasi jembatan bersejarah Gwanggyo dan Supyogyo.

Walikota Seoul tidak butuh waktu lama. Untuk merestorasi semua itu, ia hanya membutuhkan waktu dua tahun. Proyek dimulai Juli 2003 dan rampung Oktober 2005, dengan biaya 367 juta Dolar AS. Kini perubahan itu telah mendatangkan wisatawan berpuluh juta orang. Sebagai gambaran, tiga tahun setelah dibuka, sekitar 70 juta wisatawan telah datang ke sungai itu.

Nilai keuntungan sosial ekonominya disebut sudah mencapai lebih dari 3.500 juta Dolarr AS. Ini seiring dengan kenaikan kesempatan kerja dan jumlah kegiatan bisnis di koridor sungai. Harga properti di sekitarnya pun ikut terdongkrak.

Saat memulai proyek restorasi, bukan berarti mulus-mulus saja. Pro kontra dan hujatan bertubi-tubi datang kepada Lee Myung. Namun Lee Myung berhasil meyakinkan warga dan stakeholders lain bahwa proyek ini sangat penting bagi Korea Selatan.

Lewat manajemen yang terbuka dan persiapan matang, ia pun membangun beberapa organisasi untuk mewadahi dan menyeesaikan sejumlah persoalan yang timbul. Sebutlah Cheonggyecheon Restoration Project yang menangani seluruh manajemen dan koordinasi.

Cheonggyecheon Restoration Research Corp, menangani persiapan perencanaan urban renewal, dan The Citizen’s Comitte for Cheonggyecheon Restoration Project yang menangani penyelesaian konflik antara pemerintah kota Seoul dan asosiasi bisnis lokal. 

Misalnya, saat menangani masalah lalu-lintas selama pelaksanaan konstruksi, maka Cheonggyecheon Restoration Project akan mengambil langkah khusus menangani arus lalu-lintas di area-area yang terkena dampak. Perubahan secara terkoordinasi dilakukan di sistem lalu lintas berdasar rekomendasi dari kantor yang bertanggungjawab pada proyek urban renewal.

Dampak lain dari restorasi sungai ini juga terlihat pada budaya mobilitas warga. Penggunaan mobil pribadi berkurang 170.000 unit setiap hari. Sebagai gantinya mereka memilih subway naik sekitar 4,3 persen, atau dengan bus (naik sekitar 1,4 persen), dan penciptaan rute-rute bagi pejalan kaki. Hal ini menimbulkan efek kepada lingkungan, partikel kecil di udara ikut berkurang dari 74 menjadi 48 mirkogram per meter kubik. Udara menjadi lebih segar seiring turunnya temepratur area hingga 5 derajat.

Cheonggye menjadi katalis bagi semua proses revitalisasi di Seoul. Warga yang semula bersikap skeptis, bahkan pesimis, atas proyek ini, berubah menjadi antusias dan menyambut baik. Ruang terbuka di sekitarnya bukan saja disambut dan dijaga sebagai destinasi wisata, namun juga memungkinkan sebagai lokasi kegiatan ekonomi baru.

Tidak berlebihan kalau sungai itu kini telah menjadi simbol kemakmuran Korea Selatan. Saya belum pernah melihat sungai yang sama, bukan di daerah pedesaat atau pegunungan, melainkan di tengah kepadatan megapolitan, begitu eksotis. Tak cuma menarik di siang hari. Ia menjadi tempat hangout  yang romantis di malam hari.

Bagi orang seperti saya, dan mungkin jutaan penikmat lainnya, yang pasti menyenangkan sekali bisa melihat candlelight fountain dan menikmati sajian beberapa street musician alias pengamen di sungai itu. Dengan gitar atau alat musik lainnya, lengkap dengan spaeaker portable, mereka bermain sangat apik lagu-lagu barat maupun Korea.

Daya tarik sungai yang kuat itulah yang membuat Choi Dong-hoon mengambil gambar dengan latar Cheonggyecheon di beberapa scene Woochi. Memang beberapa scene lainnya berada di lokasi lain, dari Seoul hingga Busan, bahkan Filipina. Tetapi, yang paling gampang diingat penonton adalah sungai Cheonggye karena itulah ikon Korea.

Sungainya bersih. Satu jam saya mencoba menyusuri sungai itu, saya tak menemukan seonggok pun sampah. Airnya jernih.

Saya dapat melihat bebatuan dan pasir di dasar sungai. Ikan-ikan berenang dengan gesitnya. Awalnya, saya mengira ini adalah sungai buatan. Dugaan saya keliru. Sangat keliru. Sebab faktanya, seperti sudah saya tulis di awal, ini dulunya adalah sungai jorok di tengah kepadatan kota. Puluhan tahun kejorokan itu ditutupi dengan membangun highway di atasnya.

Trik demikian, dalam skala kecil, juga pernah dilakukan Pemkot Samarinda.

Baliho besar dipasang dan berjejer di sebelah jembatan gang Nibung, jalan Dr Sutomo untuk menutupi sisi kumuh bantaran Sungai Karang Mumus di sebelah Pasar Induk Segiri itu. Kadang terpampang wajah-wajah kandidat walikota atau gubernur. Kadang berisi ucapan selamat, slogan dan himbauan untuk tidak membung sampah sembarangan. Entah apa yang terpikirkan di benak para kandidat itu saat mereka memasang baliho-baliho itu.

Selama 25 tahun, sungai Cheongye seolah menghilang dari kehidupan warga Seoul. Tertutup rapi oleh dua lapis jalan beton yang kokoh membentang di atasnya.

Kenyataannya, air hitam masih mengalir di sepanjang Cheongyecheon menuju sungai Han.

Barulah pada 2003, sang walikota Lee Myung-bak melakukan perubahan revolusioner. Lee lahir dari keluarga urban yang miskin.

Seperti ia tulis dalam buku biografinya, untuk membiayai kuliahnya di Universitas Korea, ia harus menjadi penyapu jalanan paruh waktu. Setahun setelah dilantik, Lee melakukan restorasi pada sungai Cheonggyecheon.


Ia ingin mengembalikan Cheonggyecheon kembali pada statusnya semula, sebagai anak sungai kecil yang mengalir jernih di jantung ibukota.

Sejumlah jalan layang di atasnya ia singkirkan. Begitu pun tiang-tiang pancang, lapisan beton yang menutupnya.

Lee tak perlu waktu lama. Ia tak harus lebih dulu menjadi wakil walikota untuk belajar cara birokrasi berencana dan mengesekusi keputusannya. Lee sebelumnya adalah CEO perusahaan besar, Hyundai Engineering and Construction.

Ia juga merasa tak perlu harus menjadi gubernur terlebih dulu untuk bisa mewujudkan semua impiannya membangun kota yang indah dan ramah lingkungan.

Bahwa lima tahun kemudian ia terpilih menjadi Prsiden Korsel (2007-2012), itu semata karena rakyat Korsel melihat dan merasakan terobosannya. Ia wujudkan impiannya di Cheonggyecheon sebelum terpilih menjadi presiden.

Proyek restorasi sungai itu bahkan ia rampungkan hanya dalam dua tahun tiga bulan, Juli 2003 hingga Oktober 2005.

Kini Cheonggyecheon telah berubah menjadi kali sungguhan yang eksotik. Yang mampu menarik wisatawan domestik dan mancanegara. Ia bangun sebuah air terjun mini, yang jika malam menjadi lebih romantis oleh lampu-lampu bak kunang-kunang.

Di kanan kiri sungai, Lee bangun jalan setapak agar pengunjungnang bisa berjalan-jalan melihat ornamen dan karya-karya seni yang dipajang di sepanjang dinding sungai. Instansi terkait turut menyemarakkannya dengan beragam acara seperti festival lampion, dan berbagai atraksi untuk menarik wisatawan.

Tak kurang dari 20 jembatan melintasi sungai yang berlokasi di Taepyeong-ro 1-ga, Jung-gu, Seoul ini.

Dua yang terkenal adalah Narae Bridge, di sebelahnya ada ratusan payung yang menggambarkan kupu-kupu terbang. Dan Gwanggyo Bridge yang di bawahnya terdapat galeri foto melambangkan harmonisasi masa lalu dan masa depan.

Juga ada The Rhythmic Wall Stream, yakni dinding yang dilapisi marmer halus dan patung yang menghiasi jembatan ini.

Semua yang tersaji di sungai itu membikin saya tak henti berkata: Wow!!!

Saya kagum. Bukan semata karena kehebatan arsitek di belakangnya, dan komitmen tinggi Lee untuk menyelesaikan proyek itu dalam waktu sangat cepat. Dua tahun tiga bulan, seperti kisah di negeri dongeng, bro.

Melainkan juga karena kota dan negara yang kita kenal dengan kemajuan teknologi industrinya itu ternyata masih amat menyadari pentingnya membangun dan menarik sebanyak mungkin wisatawan untuk datang.

Ia manfaatkan potensi sungai, kedalaman histori, dan kekayaan budayanya untuk dinikmati pelancong. Bus-bus pariwisata yang nyaman hilir mudik di jalanan kota. Keluar masuk bandara angkut rombongan wisatawan, setiap hari.(*)

ACHMAD BINTORO

Credit Photo:
1. Restorasi Sungai Cheonggyecheon/DesignToInprove
2.  Sungai Cheonggyecheon dibanjiri wisatawan by Luci Wang/Inhabitat