Thursday, October 10, 2019

Hai Wakilku, Belajarlah Mendengar


SEORANG POLITIKUS yang baru dilantik menjadi anggota sebuah lembaga perwakilan rakyat duduk santai bersama istrinya. "Sayang, kamu harus menyampaikan ucapan selamat kepadaku, karena aku kini telah resmi menjadi anggota legislatif."

"Kamu sekarang tidak berbohong lagi kan?" Respon sang istri. Ia hafal betul tabiat sang suami selama ini.

"Hehehe...Aku kan sekarang sudah dilantik, jadi tak perlu membohongi orang lagi, sayang," katanya dengan senyum melebar, dagunya terangkat, seakan telah memenangkan sesuatu.

Satire itu beredar luas. Dari mulut ke mulut. Entah siapa yang memulai. Mungkin sekedar omong klobot di warung jenggo. Pun sambil nonton breaking news soal revisi UU KPK. Tapi, narasi itu punya konteks yang valid mengenai persepsi orang terhadap politikus di Senayan.

Seperti tadi malam, ya tadi malam, Rabu (9/10/2019), dua jam mata saya hampir tak berkedip dari layar televisi menyimak perdebatan di Mata Najwa. Masih soal revisi UU KPK. Kali ini bertajuk "Ragu-ragu Perppu KPK".


Tiga orang anggota DPR RI sengaja didudukkan di kanan Nana -- begitu tuan rumah Mata Najwa, Najwa Quraish Shihab, biasa disapa. Mereka adalah Johnny G Plate dari Nasdem, Arteria Dahlan dari PDI Perjuangan, dan Supratman Andi Agtas (Gerindra). 


Di sebelah kirinya juga duduk tiga orang. Hanya saja berbeda kapasitas. Ada Guru Besar UI Emil Salim, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari. Dua akademisi ini diundang Mata Najwa karena sebelumnya, Kamis (26/9/2019), bersama sejumlah tokoh lainnya, dimintai pendapat oleh Presiden Jokowi untuk cari solusi atas polemik revisi tersebut. Satunya lagi adalah Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan.

Saya tidak mengenal mereka secara pribadi. Kalau pun tahu sedikit lebih karena pemberitaan selama ini. Tetapi, tempat mereka duduk, entah kebetulan atau tidak, memang menunjukkan pro dan kontra terhadap revisi UU KPK, yang lalu berlanjut pada sikap mendorong dan tidak mendorong perlunya presiden mengeluarkan Perppu. 

Sehingga tampak sekali bahwa tiga orang yang duduk di sebelah kanan Nana seperti menggambarkan para anggota dewan yang pro revisi. Dan karena itu mereka selalu mengingatkan presiden untuk tidak mengeluarkan Perppu UU KPK. Saya sebut para anggota dewan karena kali ini kenyataannya seluruh fraksi sangat kompak. Malah partai yang diidentikan dalam koalisi partai pendukung pemerintah pun justru tampak garang dan bernafsu untuk melemahkan KPK.


Saya rakyat biasa. Seperti kebanyakan orang. Awam hukum. Tetapi, bukan berarti saya tidak tertarik pada KPK. Dan saya menangkap kesan revisi yang mereka lakukan itu bukannya untuk memperkuat, melainkan justru melemahkan KPK.


Kesan itu saya tangkap pada media mainstream yang ramai memberitakan kontroversi revisi UU No 30 Tahun 2002. Saya terus mengikuti isu itu, termasuk talkshow di televisi yang menghadirkan sejumlah pakar dan orang-orang yang berkompeten. Sedikit banyak akhirnya saya jadi tahu apa saja draft pasal yang dinilai melemahkan.


Mulai proses pembahasan yang ngebut lalu mengesahkannya di last minute, tanda tangan penolakan oleh ribuan dosen (termasuk guru besar) lintas universitas, hingga gelombang unjukrasa mahasiswa di depan gedung Senayan dan berbagai kota besar terhadap revisi itu.  Tentu saja termasuk  talkshow  tadi malam.


Bukan saja menjadi tahu materi kontroversi, saya juga bisa melihat bagaimana cara wakil rakyat kita itu bersikap terhadap masalah itu. Arteria Dahlan misalnya, agak menyita perhatian saya. Muda (44), energik, dan berpendidikan. Berwawasan luas. Selain menyelesaikan S1 dan S2 Fakultas Hukum UI, ia juga menamatkan S1 Teknik Elektro Universitas Trisakti.


Tetapi, bukan soal itu yang menyita perhatian saya. Melainkan cara dia berdebat dan mendebat Emil Salim, Feri Amsari, dan Djayadi Hanan. Saya cuma bisa mengelus dada. Usai nonton acara itu, saya kemudian mencoba memahami keadaan. 


Menjadi Wakil Rakyat memang tak mudah. Sehingga mungkin ada yang merasa telah mendapatkan kehormatan yang luar biasa saat berhasil memenangkan diri sebagai wakil rakyat di dapilnya. Duduk di kursi kehormatan itu. Namun lebih tak mudah lagi menjadi rendah hati. 


Saat awal reformasi, saya pernah berharap memiliki sosok wakil rakyat yang benar-benar terhormat. Ia bersahaja. Kapabel. Tak mudah ikut arus. Dalam bahasa agama kita menyebutnya sidik, amanah, fathanah, dan tablik. 


Hingga kini pun saya masih berharap. Pintar bagus. Namun jika merasa paling pintar, paling jago dan merasa paling benar? Orang tua bahari berkata, kalau pun kamu pintar, tak usahlah kamu perlihatkan sama orang. Kalau pun kamu ahli tahajud, tak perlu kamu tunjukkan kepada orang lain. Cukup orang paham dari perbuatan dan lakumu.

Pandai berdebat, bersilat lidah, it's ok. Itulah memang modal seorang wakil rakyat. Tetapi, alangkah baiknya kalau juga mau mendengar. Mendengar suara hati. Mendengar suara rakyat. Ya, belajarlah mendengar, wakilku. Itu saja!



ACHMAD BINTORO


Credit photo:
Instagram/NajwaShihab


Monday, October 7, 2019

Beralih Profesi di Ibu Kota Negara


MUNGKIN SAYA perlu beralih profesi. Bertangan dingin seperti taipan Eka Tipta Widjaja yang mengelola Hotel Grand Hyatt di MH Thamrin Jakarta lewat Sinar Mas Group miliknya. Atau sehangat jabat tangan Sukamdani Sahid Gitosardjono, yang hijrah dari seorang pamong praja kecamatan di Sukoharjo menjadi pendiri Hotel Grand Sahid di Jl Sudirman Jakarta dan 13 hotel lainnya di Indonesia.

Ya, menjadi pengusaha hotel. Bukan hotel melati. Bukan pula hotel kebanyakan. Tapi, hotel besar.

Tentu tidak harus semegah dan semewah hotel-hotel luxury di Dubai, Hongkong atau Amerika seperti The Venetian Resort di Las Vegas Strip, Nevada -- tempat saya pernah enam hari menginap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah tenggara menyusuri highway sepanjang 500 km menuju Arizona. Tak pula harus segede First World Hotel di Dataran Tinggi Genting, Malaysia dengan 7.351 kamarnya. Cukuplah kalau itu menjadi salah satu yang temegah dan terbesar di Indonesia, syukur bisa se-Asia, lengkap dengan fasilitas meeting incentive converence exhibition berkelas dunia.

Mimpi kamu! Tegur seorang kawan dengan ketawa saat saya sampaikan hal ini. Tiap hari ia melihat saya masih harus memancal motor butut antar anak ke SD Negeri. Jadi, aneh saja ketika tiba-tiba mendengar lompatan rencana saya itu. Dia tidak keliru. Kali ini saya memang bermimpi.

Ceritanya begini. Saya melihat bagaimana kerepotan yang dialami penyelenggara setiap kali harus menggelar event besar di Balikpapan. Sebenarnya tak besar-besar amat. Hanya sebuah talkshow  Kesiapan Kaltim sebagai Ibu Kota Negara. Peserta sebagian besar dari Jakarta. Esoknya berkunjung ke calon ibu kota negara baru di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Sekembali dari sana, berlanjut Dialog Nasional Membahas Rancang Bangun Ibu Kota Negara, Rabu (2/9/2019).

Seperti biasa, acara ini diinsiasi Bappenas RI. Seorang wartawan senior nyeletuk, kalau ada menteri paling disenangi Presiden Jokowi saat ini, guna membahas rencana pemindahan ibu kota negara, salah satunya adalah Bambang Brodjonegoro. Ia Menteri PPN/Kepala Bappenas RI yang smart. Guru besar yang pernah studi di University of Illinois AS ini sebelumnya menjabat Menteri Keuangan (2014-2016). Dialah sang konduktor pemindahan ini, yang secara intensif kajiannya sudah dimulai sejak dua tahun lalu.


Bambang memboyong sejumlah koleganya ke Balikpapan. Kepala BPN/Menteri Agraria Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, hingga pihak Kementerian LH. Sudah tentu hadir tuan rumah Gubernur Kaltim Isran Noor, dan Bupati PPU Abdul Gafur Mas'ud. Walikota Balikpapan Rizal Effendi turut hadir. Meski mengeluh tidak pernah dilibatkan membahas pemindahan ibu kota negara ini, Rizal menyatakan siap menjadikan kotanya sebagai penyangga.

Saya tak melihat Bupati Kutai Kartanegara Edi Damansyah hadir di ballroom Novotel. Kemana dia?
Bappenas kabarnya sudah melayangkan undangan. Rupanya Edi tidak bisa datang. Ia sudah memiliki jadwal untuk membuka MTQ di Kecamatan Tabang,  dan kemudian mewakilkannya kepada Kepala Bappeda Kukar.

Dialog kali ini melibatkan beberapa kementerian dan pemda. Ratusan tamu dari ibu kota hadir. Bisa dimengerti kalau hotel-hotel berbintang di Balikpapan umumnya kebanjiran pengunjung. Novotel dan Grand Senyiur misalnya fully booked sejak Senin. Saya beruntung masih dapat kamar bagus di Blue Sky. Ini semata karena kebaikan seorang kawan di gubernuran.

Saya sehotel bersama Sayid Alwy Alaydrus. Ia sesepuh jurnalis Kaltim, pendiri SKM Mimbar Masyarakat Samarinda -- tempat Dahlan Iskan pertama kali melabuhkan diri menjadi wartawan. Selebihnya merupakan tamu dari Jakarta. Tak sedikit yang terpaksa berpencar di hotel-hotel sekitarnya. Hanya beberapa jam sebelumnya, di hotel ini juga, Gubernur Isran dan Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK menyambut rombongan para menteri negara tetangga sebelah, Sabah, yang dipimpin Ketua Menteri Sabah Yang Amat Berhormat Datuk Seri Panglima Haji Mohammad Shefie Bin Haji Apdal.

Bisa dibayangkan bagaimana akan lebih repotnya mereka saat ibu kota negara sudah harus dipindah ke Kaltim. Presiden menargetkan tahun depan pembangunannya bakal dimulai, dan paling lambat tahun 2024 sudah harus pindah. Itu artinya, Istana Presiden berikut gedung-gedung lembaga tinggi negara dan kementerian yang dibangun di ibu kota negara baru, termasuk gedung DPR/MPR/DPD RI sudah harus diisi.

Di Samboja atau di Sepaku? Sejauh ini pemerintah belum mengumumkan pilihan titik koordinatnya. Isran pun mengunci rapat saat beberapa kali ditanya wartawan asing yang sengaja mewawancarai di ruang kerjanya.

"I will not inform you about that for the real coordinate. That is my agreement with my president," tegas Isran ketika dibujuk Raheela Mahumed, wartawan Al Jazeera. Ia sengaja terbang dari Doha, Qatar untuk melihat kondisi calon ibu kota negara.

Pada konferensi pers beberapa waktu lalu, Jokowi hanya bilang pindah ke Kaltim, calonnya berada di dua kabupaten, Kukar dan PPU.

Tetapi saya akhirnya menjadi mafhum, ketika panitia mengarahkan kunjungan lapangan hanya pada satu titik yakni di Sepaku. Tidak berlanjut ke Samboja di Kukar. Agaknya, pilihan sudah ditetapkan, meski belum diumumkan resmi. Puluhan longboat disiapkan di Pelabuhan Semayang Balikpapan untuk mengangkut rombongan yang ingin melihat langsung kondisi titik calon ibu kota negara itu ke arah barat laut.

Mungkin ini sinyal bahwa titik pembangunan Istana Presiden berikut kementerian, lembaga-lembaga negara akan berada di Sepaku. Boleh jadi.

Yang pasti, saat perpindahan itu terjadi, akan ada sekitar 800.000 ASN (termasuk personil TNI/Polri) yang harus ikut boyongan. Ditambah dengan keluarganya, setidaknya ada 1,5 juta jiwa. Balikpapan  akan menjadi daerah penyangga utama. Keluar masuk ibu kota negara akan melalui kota ini karena di sini terletak bandara internasional.

Itulah kemudian kenapa saya ingin menjadi pengusaha hotel. Pasar jelas. Peluang terbuka. Akan ada banyak kementerian dan lembaga tinggi negara di ibu kota negara.

Istana Presiden dan kantor-kantor mereka boleh saja di Sepaku, di IKN baru. Tetapi, Bagaimana pun mereka tetap akan perlu hotel-hotel berkelas untuk mewadahi seabrek kegiatan seperti seminar, rapat koordinasi, eksibisi, focus group discussion, sosialisasi, bimtek, dan semacamnya. Kadang pula harus menggelar even nasional, bahkan internasional.

Jadi, terlebih dulu saya akan mencari lahan strategis di Balikpapan. Lalu saya bangun hotel besar dan mewah. Sekelas Four Season, Borobudur, Mulia atau Ritz Cartlon bolehlah. Namun saya ingin lebih besar dari hotel-hotel itu. Ada penthouse di rooftop dan president suite-nya tentu, yang bisa menjadi tempat rehat nyaman bagi orang-orang kaya baru, atau bagi pemimpin negeri lain yang datang mempererat hubungan bilateral, multilateral.

Saya akan hire orang-orang profesional di bidangnya. Ambil manajer andal dengan list pengalaman segudang. Para pelanggan hotel akan saya manjakan lidah mereka dengan masakan dari chef-chef terkenal. Kalau pun Jean Goerges enggan saya bajak dari hotelnya, The Mark Hotel New York -- 15 menit timur laut dari markas besar harian New York Time, saya pikir masih ada chef lain peraih bintang Michelin seperti Giuseppe Lanotti, yang mungkin mau saya ajak.

Jangan harap bisa menjadi excetive chef di hotel berbintang papan atas jika Anda bukan orang Swiss, Perancis, Italia, Belgia atau Jerman. Begitu ungkapan yang sering saya dengar. Tidak dipungkiri sejauh ini mostly executive pastry chef adalah orang bule. Masih ada sedikit racism sehingga orang Asia, apalagi Indonesia, umumnya sulit menembus jajaran itu. Perlu saya tegaskan bahwa itu tidak akan berlaku dalam kebijakan hotel saya. Sepanjang jago, dari mana pun Anda, akan kami terima dengan senang hati.

Bahkan, saya akan bujuk chef Budi Setiyono untuk pulang ke Tanah Air dan berkarir di hotel mewah yang saya bangun di Balikpapan. Ia tak kalah kesohor dengan mereka. Sudah melanglang benua dari satu hotel ke hotel mewah lainnya di Texas, Kanada hingga Karibia. Saat ini ia menjadi Executive Pastry Chef di Waldorf Astoria Hotel & Resort, salah satu hotel mewah di kawasan Palm Jumeirah, Dubai. Ini merupakan hotel papan atas di bawah jaringan kelompok Hilton.

Dengan menjadi pengusaha, saya akan memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Saya juga akan turut mempercepat pertumbuhan ekonomi Kaltim. Saat ini ekonomi Kaltim nyaris stagnan, hanya sekitar 2,7 persen. Paling rendah dibanding daerah lain di Indonesia.

Bambang Brodjonegoro mengatakan, pertumbuhan rendah itu terjadi karena Kaltim selama ini selalu menumpukan diri pada eksploitasi kekayaan sumberdaya alam. Mengekspor semua barang mentah itu ke luar. Tapi begitu ekonomi global limbung, harga anjlok, efeknya seketika menimpa Kaltim. Ia berharap provinsi ini bisa belajar dari pengalaman tersebut dan segera melakukan diversifikasi.

Hadirnya IKN sudah pasti akan membantu percepatan peningkatan ekonominya. Dalam kalkulasinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi Kaltim akan melonjak menjadi 8-9 persen. Itu akan terjadi selama masa konstruksi dan operasi. Akan ada uang bergulir sangat besar, Rp 466 triliun selama masa pembangunan dan pemindahan IKN. Sebuah angka yang tidak kecil yang tentu bakal memberikan damak ekonomi positif bagi berkembangnya sektor jasa.

Sebagian dana itu sudah akan mulai bergulir pada semester dua tahun 2020. Jokowi minta bergerak cepat, bisa rampung dalam lima tahun.

Sudah ada contohnya. Brazil misalnya, hanya perlu waktu lima tahun untuk memindahkan ibu kota negaranya dari Rio de Janeiro ke Brazilia. Hampir mirip bahkan kondisinya. Brazil memindahkannya dari kawasan pantai jauh ke dalam belantara Amazon. Indonesia memindahkannya dari Jakarta, ke Kalimantan. Sebuah pulau terbesar ketiga dunia yang selama ini diidentikkan sebagai paru-paru dunia, sehingga mendapat julukan Jamrud Khatulistiwa.

"Yang pasti akan ada kontraktor, sub kontraktor dan pekerjanya. Nah, hendaknya oppurtinity ini bisa dimanfaatkan dengan baik. Apakah Kaltim akan menjadi kontraktornya, sub kontraktor atau hanya pekerjanya?" tutur Bambang.

Itu semua, menurutnya, sangat tergantung bagaimana kesiapan Kaltim. Penyiapan itu harus dimulai dari sekarang. Jangan nanti mengeluh dan merasa Kaltim hanya menjadi penonton. Mene=geluhkan pekerjanya kebanyakan dari Jawa. Kok Jawa lagi yang datang padahal mayoritas penduduk Kaltim suku Jawa.

"Janga ada kesan itu. Ini harus dinetralkan. Harus benar-benar disiapkan dan dipastikan bahwa tenaga kerja yang dilibatkan adalah mereka yang memiliki ketrampilan, pun pengusahanya," kata Menteri PPN.

Dengan peluang besar seperti itu, tidak ada salahnya kalau saya perlu pindah jalur. Pindah profesi jadi pengusaha. Biarlah kawan-kawan lain yang berebut kue jasa untuk membangun infrastruktur di lokasi IKN. Bagi saya, cukuplah kalau bisa bergelut di bidang ini, menangkap peluang yang ada, tanam duit di bisnis perhotelan ini.

"Hei, bangun! Bangun! Sudah selesai nih."

Teriakan seseorang seketika membangunkan saya dari mimpi. Astaga, rupanya saya tertidur selama dialog. Ballroom tinggal beberapa orang. Narasumber sudah bubar. Para peserta pun sudah kembali ke hotel masing-masing.

Berjalan perlahan, saya meninggalkan Novotel sambil mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah saya mimpikan tadi. Alamak ternyata... Saya tersenyum pahit mengingatnya. Balik menuju Blue Sky, saya pun melanjutkan mimpi.

ACHMAD BINTORO

Credit photos
1. Bapenas RU
2. Fachmi Rachman/TribunKaltim.co