Thursday, September 10, 2020

Bukan Sekedar Kisah Sukses


INTERAKSI
saya dengan Haji Rusli -- begitu banyak orang biasa menyapanya -- sebenarnya tidak intens. Saya pernah beberapa kali mewawancarai secara door stop dalam kapasitas saya sebagai wartawan. Perjumpaan terakhir degannya, sekitar lima tahun lalu.

Saya ditemani seorang rekan pewarta foto. Haji Rusli menerima kami di salah satu ruang bussiness Hotel Mesra Internasioal Samarinda, miliknya. Ruang itu cukup luas untuk kami bertiga. Sangat nyaman. Bukan saja karena dilengkapi mesin pengatur udara. Adanya lukisan-lukisan landskap pada dining ruang membuat saya merasa lebih adem.

"Apa kabar? Bagaimana keluarga, sehat?" Itulah kalimat pertama yang dilontarkannya saat kami bertemu. Dengan senyum mengembang ia menyalami kami. Ramah. Ia duduk di hadapan kami degan setelan gamis serba putih. Dari kopiah, sorban di leher hingga sandal. Kumis dan rambutnya pun mulai memutih.

Selain dari obrolan yang singkat itu (dua jam), saya banyak mendengar cerita tentang Haji Rusli dari kawan-kawan di pemerintahan dan dunia usaha, serta tentu keluarga saya. Ami dari istri saya, almarhum Umar Hadi Badjeber, berasal dari satu kampung yang sama dengan Haji Rusli, Sangkulirang. Mereka rutin bertemu. Setidaknya setahun sekali. Warga Sangkulirang di Samarinda biasa bertemu setahun sekali di Hotel Mesra. Halal bihalal, yang acapkali dirangkai dengan pelepasan jika ada di antara warga Sangkulirang yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.

Dari cerita-cerita yang tersebar itu dan kemudian membaca otobiografinya, saya mendapat kesan dan gambaran yang klop. Selaras. Sebenarnya sah-sah saja sebuah biografi atau otobiografi itulis sesuai dengan persepsi sang tokoh. Yang itu membuatnya harus ada yang di-keep. Tetapi, dalam hal ini, Haji Rusli memilih untuk memberi kesaksian yang jujur. Ia menceritakan kisah secara apa adanya, menulis apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia pikirkan.

Anda boleh tak percaya. Tetapi, apa untungnya? Haji Rusli tidak sedang mencari popularitas. Tidak pula sedang mengejar jabatan atau kedudukan. Berkaca dari kisah hidupnya: betapa ia dengan bulat hati menyatakan mundur dari jabatan camat. Bahkan, tawaran menjadi bupati pun ditampiknya. Kita juga tahu, meski sampai sekarang masih tercatat sebagai anggota kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia sudah lama tak lagi terlibat dalam dunia politik praktis

Setelah tak lagi memimpin DPW PKB Kaltim, dan tak pula duduk di kursi DPRD Kaltim(1987-1992, 1999-2004), Haji Rusli terlihat sangat menikmati dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak di Sekolah Bunga Bangsa. Ia sedang merajut kembali cita-cita lamanya: mendirikan lembaga pendidikan.


Membaca autobiografi Hijrah: Pergulatan Hidup Bukan Kebetulan HM Rusli, kita seperti  sedang menyaksikan fragmen demi fragmen kehidupan diri kita masing-masing.Kita lahir, lalu tumbuh berkembang dalam keceriaan masa kanak-kanak. Tiba masa dewasa, kita mulai dihadapkan pada keadaan dan tuntutan yang lebih beragam. Ada tanggung jawab yang harus kita pikul. Ada konsekwensi dari setiap tindakan kita.

Selama proses pergulatan hidup itulah kita merasakan suka dan duka. Sedih dan tawa. kita juga acap kali merasakan sesuatu yang tidak pernah kita duga. Bisa berupa kebaikan. Kadang pula kemalangan yang tidak pernah kita harapkan. Suatu kali saya bertemu kawan lama. Dua tahun tidak berhubungan, mendadak ia menelepon saya mengajak kerjasama bisnis kecil-kecilan. Alhamdulilah.

Seorang kawan menceritakan keberuntungan yang pernah dialami. Saat jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong runtuh, ia bersama kawannya baru melewati, 30 menit sebelumnya. Kalau saja ia lebih lambat 10 menit, mungkin akan lain cerita. Dirinya dan tiga kawan yang ada di dalam mobil, bisa saja menjadi korban. Dan kalau saja tak ada telepon mendadak dari istrinya, yang memintanya bergegas pulang, karena anaknya terjatuh saat bermain sepeda, sekali lagi mungkin akan lain akhir cerita perjalanan dirinya.

Apakah kita masih akan menyebutnya sebagai kebetulan? Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak hal. Bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Perjumpaan kita dengan si A, B, dan seterusnya, dengan berbagai konsekuensinya, hakikatnya sudah ada yang mengatur. Semua atas kehendak-Nya. Bahkan, sebuah kebetulan yang teramat kebetulan pun tetap merupakan rencana Allah Swt.

Kita juga bisa belajar mengenai pentingnya kerja keras, penidikan, dan bersyukur. Tidak ada sukses yang diraih tanpa kerja keras. Dan Haji Rusli telah membuktikan itu. Itulah yang diyakini Haji Rusli. Dengan keyakinannnya itu pula, ia menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan paling mendasar dalam hidup ini tentang makna kehidupan.

Buku ini bukan sekedar sebuah kisah sukses. Ini sekaligus merupakan cerita pergulatan dan perjalanan panjang seorang hamba Allah, yang meyakini kehadiran Allah dalam setiap detail kehidupannya. Sungguh patet diapresiasi bahwa Haji Rusli mau menyampaikan secara apa adanya. Ia tampaknya mengetahui betul bahwa hanya dengan berkata jujur, sebuah otobiografi akan menjadi lebih bermakna.

Achmad Bintoro