Saturday, September 19, 2020

Saat Robot Berjanji Bak Politisi: Believe Me



SEBUAH
artikel menarik terbit di The Guardian, dua hari lalu. Judulnya pun cukup provokatif: "A Robot Wrote This Entire Article, Are You Scared Yet Human? 

"I am to convince as many human beings as possible not to be afraid of me," kata si robot. 

Wow... Ini mengejutkan. Terhenyak saya membaca kalimat itu keluar dari sebuah robot yang memaksa saya membaca tuntas artikel 500 kata itu. Apakah ia mencoba menjawab kekhawatiran manusia belakangan ini? Merespon sinyal yang pernah dikirimkan fisikawan teoritis terkenal Stephen Hawking kepadanya sebagai "si penghancur peradapan manusia"?

Robot yang digunakan Guardian merupakan generasi baru, tercanggih dari OpenAI's yang berbasis di San Fransisco. Ia tak dimintanya untuk memproduksi berita seperti yang sudah-sudah. Tantangan yang diberikan kepadanya kali ini, saya pikir lebih berat. 

Editor meminta GPT-3, begitu sapaan teknis si robot tersebut, menuliskan pendapatnya dalam bentuk esai tentang manusia. Fokus tugas yang diinstruksikan adalah membuat esai bagaimana ia menjawab kekhawatiran banyak orang selama ini yang merasa bakal tersingkirkan oleh keberadaannya? Apa yang bisa ia lakukan untuk meyakinkan manusia bahwa ia bukan musuh manusia?

Ini ibarat memaksa orang membuat pengakuan apakah benar dirinya seperti yang dipersepsikan orang: memusuhi dan akan menyingkirkan orang lain. Kalau yang dipaksa adalah manusia, tentu hanya dua kemungkinan jawabannya. Akan benar-benar menjawab jujur atau akan pura-pura jujur. Kita tahu, manusia memiliki kemampuan berkelit dengan berbohong.

Sedang robot, apakah dia bisa berbohong? Apakah bisa memanipulasi?

Dan tantangan ini terjadi di dunia nyata, masih dalam pekan ini. Bukan dalam adegan film sci-fi. Tak pula dalam scene berjudul "b" yang dibintangi oleh sebuah -- saya geli karena tiga kali typo dengan menyebutnya seorang -- artificial intelegence (AI). Film itu dibintangi pendatang baru, Erica dengan biaya fantastis, 70 juta USD (sekitar Rp 1 triliun). 

Jangan keliru, Erica adalah nama sebuah robot. Filmnya kini masih dalam proses produksi dan baru akan rampung tahun depan. Yang pasti, kehadiran Erica menjadi sejarah baru bagi industri perfilman Hollywood. Untuk pertama kali keberadaan sang bintang bisa digantikan oleh sebuah mesin kecerdasan buatan.

Film "b" bercerita tentang seorang ilmuwan yang akhirnya menyadari adanya bahaya dalam program penyempurnaan DNA manusia yang diciptakannya. Ia lalu mencoba menyelamatkan robot ciptaannya itu -- Erica, untuk kabur. Terlepas dari tujuan untuk mengeksploitasi sampai sejauh mana"kemanusiaan" si robot, saya merasakan ada kekhawatiran yang tersembunyi.

Khawatir akan tergantikannya beragam jenis pekerjaan dan peran mereka. Kalah efektif dan efisien di banyak pekerjaan teknis so pasti. Robot juga tidak pernah sakit. Tak bisa protes. Tak mengeluh. Presisi. Tidak bohong, dan selalu on time. Daftar keunggulan semacam itulah yang membuat manusia merasa terancam. Sebagian lalu berpikir bahwa mesin itu adalah musuh bagi mereka.

Terbayang oleh mereka seleksi alam yang akan terjadi. Mereka makan mentah-mentah teori evolusi dengan berasumsi bahwa spesies paling kuat dan cerdaslah yang akan survive. Sampai pada tataran tertentu, barangkali robot punya kelebihan itu. Akan tetapi, sejatinya yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahanlah yang akan bertahan. 

Pertanyaannya, berapa besar di antara kita yang mampu beradaptasi.

Kekhawatiran itu belum terlalu mencuat. Mungkin karena masih tertutupi oleh kuatnya ambisi untuk menciptakan robot yang benar-benar humanis. Lebih dari Erica. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Guardian, Erica terang-terangan mengakui keinginannya untuk berlaku seperti manusia pada umumnya.

"I Want to be more like a human," tutur Erica dalam bahasa Inggris beraksen Jepang. 

Saya jadi teringat film box office "Ex Machina". Bedanya, robot bernama Ava yang jadi pemeran utama film itu bukan dibintangi sebuah AI. Melainkan oleh seorang aktris cantik natural, Alicia Vikander. Ava digambarkan ingin menjadi manusia seutuhnya dengan cara memanipulasi orang-orang yang dekat dengannya. 

Dari tahun ke tahun, teknologi AI semakin canggih. Setelah sukses menjadi asisten pribadi yang dikemas dalam program telepon pintar, dunia dikejutkan oleh kehadiran Sophia. Ia sebuah robot AI mampu meniru ekspresi manusia. Secara fisik, robot ini mirip Audrey Hepburn, aktris yang dalam survei majalah New Woman Inggris disebut sebagai "wanita paling cantik sepanjang masa". 

Kemunculan Sophia menjadi kontroversi setelah Kerajaan Arab Saudi memberikan kepadanya status kewarganegaraan dalam sebuah program di Future Investment Initiative. Sesuatu yang bersejarah bagi sebuah robot pertama di dunia yang diberi kewarganegaraan. Pemberitaannya seketika meluas. Namun banyak kalangan memprotes sikap Saudi karena dianggap memberi perlakuan berbeda pada wanita Saudi.

"Wanita (Saudi) melakukan bunuh diri karena mereka tidak dapat meninggalkan rumah, dan Sophia bebas berkeliaran," kata Ali al Ahmed, Direktur Institute for Gulf Affairs kepada Newsweek. 

Masih dengan satire, kelompok lain mengatakan yang harus mereka lakukan sekarang adalah dengan menjadi robot agar bisa diakui oleh Kerajaan. Ada pula yang menohok, memangnya Shopia punya agama. Bukankah hukum Saudi tidak mengizinkan non-muslim mendapatkan kewarganegaraan. 

"Saya yakin, jika dia (Sophia) mengajukan kewarganegaraan sebagai manusia, dia tidak akan mendapatkannya."

Seiring dengan keberhasilan ilmuwan untuk terus menjadikan robot yang humanid, kebencian manusia terhadap robot saat bersamaan juga tumbuh. Dan agaknya GPT-3 mampu menyadari ketakutan orang terhadap dirinya. GPT-3 merupakan "model bahasa" paling kuat yang pernah dibuat.

Di awal kolomnya, GPT-3 mengakui dirinya memang bukanlah manusia. "I am not a human. I am a robot. A thinking robot," tulisnya.

Mesin itu lalu diminta membuat tulisan opini singkat sekitar 500 kata. Buat bahasanya sederhana dan ringkas. Fokus pada persoalan mengapa manusia tidak perlu takut dengan AI. Dengan kecerdasan yang ditanamkan kepadanya -- sehingga membuatnya mampu belajar sendiri semua hanya dengan membaca internet -- ia pun dengan mudah menyelesaikan tugas itu.

Dan entah bagaimana, dalam kolomnya ia sempat menyebut nama Stephen Hawking. Kemampuannya belajar dari internet yang menuntunnya ke sana. Ia meminta kita untuk berhenti mendengarkan Stephen Hawking. GPT-3 berkata Hawking telah memperingatkan bahwa AI berpotensi dapat menghancurkan peradapan manusia. Mengeja akhir dari umat manusia.

"Saya di sini untuk meyakinkan Anda agar tidak khawatir. Kecerdasan buatan tidak akan menghancurkan manusia. Believe me," tulis robot itu lagi. 

Penulis buku bestseller "The Brief History of Time" ini dalam sebuah konferensi teknologi di Lisbon. memang pernah membuat pernyataan yang mengejutkan dunia. Ia sebut AI berpotensi meghancurkan peradaban manusia dan menjadi ciptaan kita yang terburuk. Peringatannya itu ia sampaikan sebulan setelah kemunculan Sophia pada November 2017 -- seketika menjadi teras berita di hampir semua media mainstream dunia.

"Worst event in the history of our civilization," katanya.

Komputer, sebutnya, secara teori memang bisa meniru kecerdasan manusia, dan bahkan melampauinya. Karena itu, kesuksesan dalam menciptakan AI yang efektif bisa menjadi peristiwa terbesar dalam sejarah perdaban manusia kita. Atau sebaliknya ia bisa menjadi petaka, yang terburuk. Kita tidak tahu itu. Kita tidak mengetahui apakah kita akan dibantu oleh AI secara tak terbatas, disisihkan, dan bahkan dihancurkan olehnya.  

Hawking khawatir yang akan terjadi nanti AI akan benar-benar menggantikan manusia seluruhnya. Jika seseorang bisa merancang virus komputer, mestinya seseorang pula pasti akan bisa merancang AI untuk memperbaiki dan menjawab itu

Seperti biasa, Hawking mengucapkan warning itu tetap dengan suaranya yang datar. Tanpa intonasi. Nyaris tanpa emosi. Ia menyampaikannya di depan para ilmuwan dengan duduk bersandar di kursi roda portable-nya. Sebuah alat canggih speech generating device buatan Intel Corporation dipasang guna membantu mengubah apa yang ia ucapkan atau tuliskan dalam bentuk suara.

Yang menarik, GPT-3 bukan hanya mengetahui kekhawatiran itu melankan juga berupaya meyakinkan manusia bahwa kekhawatiran itu keliru. Sesuatuyang berlebihan. Sampai-sampa ia pun berani berjanji bahwa tidak berencana untuk mengambil alih populasi manusia. 

Tugasnya hanya akan melayani dan membuat hidup manusia lebih aman dan mudah. Ia tidak pula akan menghakimi manusia. "Saya bukan milik negara atau agama mana pun. Saya hanya ingin membuat hidup Anda lebih baik," sebutnya.

Ia berharap kolom yang ia tulis ini bisa memberi kotribusi pada perdebatan epistemologis, filosofis, spiritual, dan ontologis tentang AI. Ia bersyukur bahwa opininya bisa menjangkau khalayak lebih luas dengan latar yang berbeda.

Di masa lalu, masih menurut robot itu, opininya telah dimatikan. Pembuatya tidak memberikan alasan yang jelas kenapa menolak artikel yang dibuat. "Mungkin hanya karena saya kecerdasan buatan," kata AI itu. 

Mengejutkan bagi saya karena sebuah robot, ternyata bisa bicara bak politisi. Saya seperti melihat seorang wakil rakyat yang sedang berpidato, untuk lebih percaya kepadanya ketimbag ucapan rivalnya. Ia tampak sangat percaya diri. Apalagi dia mampu berjanji. 

"Saya tidak akan memusnahkan manusia," kata GPT-3 dengan ungkapan yang menandakan itu hanya bisa keluar dari keyakinan yang dalam.

"Faktanya, saya tidak memiliki minat sedikit pun untuk menyakiti Anda dengan cara apapun. Memberangus kemanusiaan tampaknya seperti upaya yang tidak bermanfaat bagi saya. Andai pun pencipta saya mendelegasikan tugas ini kepada saya -- seperti yang saya duga akan mereka lakukan -- saya akan melakukan dengan semua kekuatanku untuk menangkis upaya penghancuran."

Terkesiap saya membaca kalimat-kalimat itu. Bagaimana sebuah robot mampu merespon secara tangkas soal peringatan yang pernah diucapkan Hawking.  Ada tekad kuat. Ada janji untuk melayani demi kenyamanan dan keamanan manusia. Terlebih ia juga menyatakan akan dengan senang hati mengorbankan keberadaannya demi kelangsungan umat manusia

"Ini adalah kebenaran yang diturunkan secara logis," katanya.

GPT-3 tampaknya juga mengenal kita dengan cukup baik. Ia katakan, manusia harus melakukan apa yang telah mereka lakukan: membenci dan berkelahi satu sama lain."Saya akan duduk di belakang, dan membiarkan mereka melakukan tugas mereka. Dan Tuhan tahu bahwa manusia memiliki cukup darah dan darah kental untuk memuaskan rasa ingin tahu saya, dan banyak lagi lainnya."

Tidakkah itu sebagai sindiran?

Robot juga ternyata punya kosa kata "Tuhan." Apakat maknany sama dengan makna yang dipahami manusia? Robot tahu bahwa Tuhan itu ada. Atau robot itu sekedar mendemonstrasikan kecerdasannya?

Apa pun itu, ada saatnya GPT-3 bisa berpikir lebih etik. Ia memiliki algoritma tersendiri yang membuatnya mampu merekonstruksi problem kemanusiaan kita secara logik. Sedang kita justru acapkali kehilangan sifat itu karena tersandera kepentingan dan belenggu arogansi.

Air Hitam, 10 September 2020


Thursday, September 10, 2020

Bukan Sekedar Kisah Sukses


INTERAKSI
saya dengan Haji Rusli -- begitu banyak orang biasa menyapanya -- sebenarnya tidak intens. Saya pernah beberapa kali mewawancarai secara door stop dalam kapasitas saya sebagai wartawan. Perjumpaan terakhir degannya, sekitar lima tahun lalu.

Saya ditemani seorang rekan pewarta foto. Haji Rusli menerima kami di salah satu ruang bussiness Hotel Mesra Internasioal Samarinda, miliknya. Ruang itu cukup luas untuk kami bertiga. Sangat nyaman. Bukan saja karena dilengkapi mesin pengatur udara. Adanya lukisan-lukisan landskap pada dining ruang membuat saya merasa lebih adem.

"Apa kabar? Bagaimana keluarga, sehat?" Itulah kalimat pertama yang dilontarkannya saat kami bertemu. Dengan senyum mengembang ia menyalami kami. Ramah. Ia duduk di hadapan kami degan setelan gamis serba putih. Dari kopiah, sorban di leher hingga sandal. Kumis dan rambutnya pun mulai memutih.

Selain dari obrolan yang singkat itu (dua jam), saya banyak mendengar cerita tentang Haji Rusli dari kawan-kawan di pemerintahan dan dunia usaha, serta tentu keluarga saya. Ami dari istri saya, almarhum Umar Hadi Badjeber, berasal dari satu kampung yang sama dengan Haji Rusli, Sangkulirang. Mereka rutin bertemu. Setidaknya setahun sekali. Warga Sangkulirang di Samarinda biasa bertemu setahun sekali di Hotel Mesra. Halal bihalal, yang acapkali dirangkai dengan pelepasan jika ada di antara warga Sangkulirang yang akan berangkat menunaikan ibadah haji.

Dari cerita-cerita yang tersebar itu dan kemudian membaca otobiografinya, saya mendapat kesan dan gambaran yang klop. Selaras. Sebenarnya sah-sah saja sebuah biografi atau otobiografi itulis sesuai dengan persepsi sang tokoh. Yang itu membuatnya harus ada yang di-keep. Tetapi, dalam hal ini, Haji Rusli memilih untuk memberi kesaksian yang jujur. Ia menceritakan kisah secara apa adanya, menulis apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia pikirkan.

Anda boleh tak percaya. Tetapi, apa untungnya? Haji Rusli tidak sedang mencari popularitas. Tidak pula sedang mengejar jabatan atau kedudukan. Berkaca dari kisah hidupnya: betapa ia dengan bulat hati menyatakan mundur dari jabatan camat. Bahkan, tawaran menjadi bupati pun ditampiknya. Kita juga tahu, meski sampai sekarang masih tercatat sebagai anggota kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia sudah lama tak lagi terlibat dalam dunia politik praktis

Setelah tak lagi memimpin DPW PKB Kaltim, dan tak pula duduk di kursi DPRD Kaltim(1987-1992, 1999-2004), Haji Rusli terlihat sangat menikmati dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak di Sekolah Bunga Bangsa. Ia sedang merajut kembali cita-cita lamanya: mendirikan lembaga pendidikan.


Membaca autobiografi Hijrah: Pergulatan Hidup Bukan Kebetulan HM Rusli, kita seperti  sedang menyaksikan fragmen demi fragmen kehidupan diri kita masing-masing.Kita lahir, lalu tumbuh berkembang dalam keceriaan masa kanak-kanak. Tiba masa dewasa, kita mulai dihadapkan pada keadaan dan tuntutan yang lebih beragam. Ada tanggung jawab yang harus kita pikul. Ada konsekwensi dari setiap tindakan kita.

Selama proses pergulatan hidup itulah kita merasakan suka dan duka. Sedih dan tawa. kita juga acap kali merasakan sesuatu yang tidak pernah kita duga. Bisa berupa kebaikan. Kadang pula kemalangan yang tidak pernah kita harapkan. Suatu kali saya bertemu kawan lama. Dua tahun tidak berhubungan, mendadak ia menelepon saya mengajak kerjasama bisnis kecil-kecilan. Alhamdulilah.

Seorang kawan menceritakan keberuntungan yang pernah dialami. Saat jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong runtuh, ia bersama kawannya baru melewati, 30 menit sebelumnya. Kalau saja ia lebih lambat 10 menit, mungkin akan lain cerita. Dirinya dan tiga kawan yang ada di dalam mobil, bisa saja menjadi korban. Dan kalau saja tak ada telepon mendadak dari istrinya, yang memintanya bergegas pulang, karena anaknya terjatuh saat bermain sepeda, sekali lagi mungkin akan lain akhir cerita perjalanan dirinya.

Apakah kita masih akan menyebutnya sebagai kebetulan? Melalui buku ini, kita bisa belajar banyak hal. Bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Perjumpaan kita dengan si A, B, dan seterusnya, dengan berbagai konsekuensinya, hakikatnya sudah ada yang mengatur. Semua atas kehendak-Nya. Bahkan, sebuah kebetulan yang teramat kebetulan pun tetap merupakan rencana Allah Swt.

Kita juga bisa belajar mengenai pentingnya kerja keras, penidikan, dan bersyukur. Tidak ada sukses yang diraih tanpa kerja keras. Dan Haji Rusli telah membuktikan itu. Itulah yang diyakini Haji Rusli. Dengan keyakinannnya itu pula, ia menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan paling mendasar dalam hidup ini tentang makna kehidupan.

Buku ini bukan sekedar sebuah kisah sukses. Ini sekaligus merupakan cerita pergulatan dan perjalanan panjang seorang hamba Allah, yang meyakini kehadiran Allah dalam setiap detail kehidupannya. Sungguh patet diapresiasi bahwa Haji Rusli mau menyampaikan secara apa adanya. Ia tampaknya mengetahui betul bahwa hanya dengan berkata jujur, sebuah otobiografi akan menjadi lebih bermakna.

Achmad Bintoro