Sunday, May 31, 2020

Bedah Provinsi Kalzam

by eltoro ben

ENAM bulan penuh, Gubernur Provinsi Kalzam Dino Besuo bersama seluruh kepala dinasnya diungsikan ke Luanda. Luanda adalah ibukota Angola, negeri kaya minyak di Afrika. 

Survei terbaru Mercer menempatkan Luanda sebagai kota dengan biaya hidup termahal di dunia. Mengalahkan Tokyo dan New York yang selama ini selalu dianggap sebagai dua kota paling mahal.


Sebagaimana terlihat di layar televisi, mereka menempati sebuah royal penthouse suite hotel termewah di area Rua da Missao. Hotel ini acap menjadi langganan para peraup bonanza dolar dari kemelimpahruahan minyak seperti bos BP, Exxon, dan bangsawan-bangsawan Timur Tengah. 


Semua aktivitas terkait pekerjaan ditiadakan. Sampai sepekan jelang pendaftaran Pilgub Kalzam. Mereka hanya boleh bersenang-senang.

Dino dipersilakan menikmati gaya hidup mewah layaknya kelompok jet set dengan menikmati semua fasilitas yang ada di hotel tersebut. Bebas pula berjemur di pantai. Atau berbelanja sepuas mungkin tanpa khawatir bakal tekor. Semuanya tanpa bayar alias gratis.

"Helmi Yahbara yang menanggung semua biayanya," kata Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Kalzam Samaro. 

Helmi adalah produser reality show "Bedah Gubuk" di sebuah stasiun televisi nasional. Acara yang dibawakan Ratna Lamaro itu banyak membuat haru pemirsa. Biasanya, pemilik gubuk yang jadi target bedah akan diungsikan dulu satu malam di sebuah hotel bintang lima seraya memberi kesempatan ke mereka untuk menikmati gaya hidup orang kaya.

Haru dan geli beraduk menyaksikan ekspresi orang-orang miskin itu. Mereka akan merasa seperti di alam mimpi. Bayangkan saja, gubuk yang semula reyot. Bocor kala hujan. Yang menjadi tempat berteduh selama berpuluh tahun, tiba-tiba berubah jadi rumah layak huni. Bersih. Cantik. Berjendela. Lengkap dengan perabotnya. Tentu itu jauh melampaui ekspektasi mereka.

Kini Helmi mencoba menaikkan misi ke level yang lebih tinggi: "Bedah Provinsi". Dan karena itu diungsikannya pun lebih lama, dua minggu.


Tapi saya tidak tahu kenapa Luanda yang dipilih sebagai tempat untuk mengungsikan Dino Besuo. Kenapa bukan New York misalnya, seperti saat mengungsikan Presiden SBK dan para menteri kabinetnya dalam "Bedah Republik".

New York adalah simbol kemewahan kota dunia. Hampir semua yang menjadi impian banyak orang tersedia di sana. Ben, seorang kawan, yang menonton acara itu hingga tuntas, mengisahkan dengan apik bagaimana berseri-serinya wajah SBK selama di kota itu. 


Mereka menikmati kemewahan yang jarang mereka nikmati tanpa harus dituduh bermewah-mewah atau korupsi. Mereka dibolehkan rame-rame naik kapal pesiar mengitari Lady Liberty. Belanja parfum termahal di Macy's atau Nordstrom. Nonton teater di Broadway. Menikmati konser di Carnegie Hall.



"Gile,man. Mereka sampai masuk teater Broadway," kata Ben menceritakan kepada saya. 



Ben wajar terperanjat begitu. Ia pernah hampir mati berdiri gegara mengetahui harga tiket masuk yang selangit. Sekali masuk US$ 115. Itu pun duduk masih agak jauh dari panggung di tribun atas. Mau lebih dekat, ya harus merogoh saku lebih dalam lagi. Bisa mencapai USS 190. Alamak!!!



Tapi kapan lagi ada kesempatan?



Sudah di New York, rugi tak nonton opera di Broadway. Didorong oleh rasa penasaran yang berlebih, Ben dengan sangat terpaksa menyisihkan uang sakunya untuk masuk di Majestic Theatre. Rasa penasaran yang bergolak itu nyaris sama ketika ia tiba di Washington DC. Sudah di Wasington DC, kenapa tak sekalian ke New York. 



Maka, usai membereskan liputan dan melakukan serangkaian wawancara dengan sejumlah tribunal ICSID seperti Prof Gabrielle di komplek besar gedung World Bank, Ben pun segera kabur menuju tempat mangkalnya Amtrak di Union Station. 



Barangkali Helmi menganggap Kalzam memiliki kemiripan dengan Luanda. Sama-sama kaya minyak. Sama-sama mempertontonkan ironi. Kemiskinan berjalan beriring di sepanjang jalur pipa gas. 



Kalzam memiliki biaya hdup paling mahal di Republik Bananasia. Provinsi ini juga memiliki kota dengan pendapatan perkapita tertinggi di Republik. Dan Kalzam adalah adalah provinsi yang memberikan upah terbesar kedua secara nasional kepada buruh.


***

SEPERTI saat menyaksikan bedah-bedah di episode sebelumnya. Kali ini pemirsa juga dibuat geli dan haru menyaksikan ekspresi gubernur yang kaget saat mengetahui harga sepiring quick lunch yang ia santap mencapai US$ 57.92. 


Ia kembali terbelalak oleh mahalnya harga karcis bioskop di kawasan pusat perbelanjaan di Shinny,US$ 33. Sejatinya Dino merasa sayang. masak sih sekedar makan siang dan nonton saja kok harus merogoh kocek sebanyak itu. Tapi masa bodoh. Toh Helmi yang menanggung semua. Ia membatin.

Dino melihat seorang pekerja konstruksi santai saja mengeluarkan US$ 292 dolar hanya untuk sebuah jeans Pepe. Itu tiga kali lebih mahal dari harga di Sogo Kalzam. Saat yang sama, di kejauhan, pandangannya sekilas membentur gubuk-gubuk kota. Inilah wajah kemelaratan kota Luanda. Orang-orang berlindung di bawah kardus dan papan kayu. Keluarga masak di atas api terbuka, mengais-ngais sampah di jalanan.


Ingatannya melayang pada buku "Escaping The Resource Curse". Berulangkali ia membaca buku yang disunting Joseph E Stiglitz, pemenang nobel Ekonomi, itu bahwa anggapan adanya kutukan sumberdaya alam tersebut salah besar!

Tentu adegan yang jauh lebih mengharukan adalah saat menyaksikan mimik gubernur dari sebuah provinsi miskin -- tapi kaya -- yang malam itu menerima laporan dari anak buahnya. 

"Mana mungkin..." 

Proyek jalan tol Balikmar-Samamar yang ia gagas dan sempat macet itu kini telah rampung. Bahkan tembus pula sampai Long Mimar. Itu artinya, tinggal selemparan batu sampai di jalan arteri Negara Bagian Sabah, Malaysia.

"Mustahil...!!!" Ia mencoba membantah sendiri keraguannya.


Dino kembali terbelalak. Ia mencermati foto demi foto kondisi jalan poros selatan, tengah dan utara. Serta seluruh jalan dalam kota. Antarkecamatan, dan antarlorong yang sudah terhubung mulus.



Tak ada lagi jalan berlubang. Apalagi rusak. Kubangan kerbau di sepanjang jalan Palarang yang sempat membuatnya gundah karena tak kunjung tuntas perbaikannya, padahal Pilgub sudah kian dekat, ternyata telah berganti menjadi hamparan beton lebar.

Sekali lagi, ia ingin tidak percaya ketika mendapat laporan bahwa anggaran pendidikan sudah naik menjadi 20 persen. Sesuatu yang selama ini sulit ia wujudkan. Gubernur merangkul Kepala Dinas Pendidikan. Matanya berkaca-kaca. Laporan lain menyebut bahwa program yang ia canangkan untuk membebaskan 10 persoalan Kalzam pun sudah berhasil diwujudkan.


Dari hotel di Luanda, gubernur menyaksikan siaran televisi satelit tentang pembangunan di Kalzam. Jembatan Kembar sudah rampung. Flyover pun terbangun bersamaan di beberapa tempat. Ia amat bersyukur. "Alhamdulilah, tak sampai jadi bahan ejekan sebagai jembatan abunawas kedua," batinnya lagi.



Kemacetan sirna. Kawasan seberang telah berkembang pesat. Tepian sungai di depan gubernuran telah disulap menjadi sangat apik. Lengkap dengan jetty futuristik tempat kapal-kapal pesiar naik turunkan wisatawan. Pedestrian lebar 15 meter dengan spot-spot yang yang membuat sejumlah band indie hingga musisi underground nyaman berekspresi.


Tak ada lagi banjir. Gedung convention hall yang ia impikan  sudah terbangun megah. Jauh melebihi harapannya, belasan proyek multiyears sudah rampung lebih cepat. Bandara baru. Di sisi timurwilayah sudah berlabuh kapal-kapal kargo superbesar. Mereka mengangkut bouksit, sawit, batu bara, emas dan semua kekayaan alam Kaltim.  Yang lebih mencengangkan Dino adalah saat menyaksikan pesawat-pesawat berlogo Kalzam Air sudah terbang di udara. Melayani rute ke pedalaman-perbatasan bahkan ke sejumlah kota besar di Tanah Air.

Kameramen televisi lalu menyorot sepanjang SKM. Tidak ada lagi pemukiman di sepanjang bantaran sungau itu. Kiri kanan diturap. Kawasan itu berkembang menjadi pusat rekreasi dan kuliner ala sungai di Singapura. Inilah Clarck Quay ala Kalzam. 


"Let's meet at the lobby to go to lunch," ajak seseorang kepada temannya dalam tayangan itu. Orang lainnya nyeletuk: Basi, tau! Tempat favorit untuk rendezvous sekarang ya di SKM. Keduanya setuju, dan bersama menuju SKM.


Kendaraan kini bisa melaju nyaman di sepanjang jalan Lintas Kalzam. Warga pedalaman berlibur ke Samamar dan Balikmar menggunakan kendaraan sendiri jamak ditemui. Malah warga perbatasan seperti Long Bamar, Apo Kayang yang selama puluhan tahun hidup terisolasi, kini dengan mudahnya terbang ke Samama. Kapan pun mereka mau.  Tanpa harus anre berminggu-minggu atau khawatir terserobot kursinya oleh pengusaha sarang walet.

"Sungguh ini melampaui mimpi-mimpi saya. Terimakasih Helmi, Anda telah mewujudkan semua mimpi dan harapan saya. Sesuatu yang sangat sulit dan tak mungkin diwujudkan pemerintahan saya," kata Dino terbata-bata.

Ia merangkul erat Helmi. Tanpa sadar air matanya membahasi baju bagian punggung sang produser.

"Kalau begitu kepulangan kami tolong dipercepat. Tidak perlu lagi menunggu dekat pendaftaran Pilgub. Hari ini juga kami minta bisa dipulangkan, agar persiapan ke Pilgub Kalzam bisa lebih matang," mohon Dino.


Mengutip kata-kata George Soros, Dino menegaskan kutukan sumberdaya alam memang jadi momok paling utama di negara dan daerah-daerah "kaya" sepertiKalzam. Tetapi, kutukan itu bukan tak bisa disembuhkan. 



"Dengan apa? Obatnya, pilih saya lagi!" tandas Dino, tanpa ragu.



"Transparansi pak. Pertanggungjawaban yang lebih besar, itulah obatnya," celetuk Helmi. Entah, mungkin Dino tak mendengarnya. Ia sudah keburu berlari masuk ke dalam mobil yang akan mengantarnya menuju Gulfstrem GE650, milik Helmi, yang sudah menunggu di bandara. Siap mengantarnya untuk pulang.

Helmi tersenyum. Ia memaklumi keinginan Dino yang ingin melanjutkan mimpi-mimpinya untuk lima tahun berikutnya.(*)


Air Hitam, 31 Mei 2020

Wednesday, May 27, 2020

Menjadi Orang Jawa


Ingin juga aku menjadi orang Jawa. Sekali saja. Setahun sekali. Terbenam di dlm riuh mudik.

"Tahulah ikam, Presiden tuh pusing ngurusi ikam2 ini. Tiap tahun minta  pulang. Pulang. Mudik saja yg ada di otak kalian. Bukankah lebih baik kalau pitis yg tak sedikit itu ikam tabung saja biar lakas nanti beisi rumah sendiri, iya kalo," kata acil Nain, tetangga petak sebelah menasihatiku.

Acil memang begitu. Bukan acil Nain namanya kalau tidak bermamai. Setiap pagi. Di kedai La Joni. Sambil nyeruput kopi. Tapi tekadku sudah bulat. Tak bisa lagi dibuat kotak.

Aku rela.
Tak apa harus bermandi peluh. Berjejal di lautan tubuh. Jangan kau tanya gimana bau yang terhirup.

Tak apa mendaki2 tangga Tidar. Terus merangsek. Pantang mundur. Sesekali sikut kanan. Sikut kiri.
Tidur pun kudu belipat kaki di depan kamar mandi.

Tak apa berhimpit di lorong-lorong tirus para calo. Mengular di antara roda gila truk hingga pick up. Dari satu setamplat ke setamplat lain.

Aku mencoba duduk tenang dalam oplet. Tapi ayam-ayam kampung di sekelilingku tak mau tenang. Mereka pasang muka garang. Masam. Mungkin marah karena tak rela berbagi tempat denganku. Jengkel karena kian terjepit.
Berkokok kini kian menjadi. Seakan tak mau henti memakiku. Mengolokku!

"Peduli amat," batinku.

Yang penting pak sopir membolehkanku nebeng ke kampung. Tersisa cuma seperak di kantong celana. Tak apa. Tas kecilku telah berpindah tangan.

"Copet! Copeeet. Tolonggg!"

Tapi teriakan keras -- terkeras dalam hidupku -- seperti tertelan oleh angin segara. Memantul di antara gendang kupingku sendiri. Tak satu pun orang bergerak mengejar.

Aku rela...
Akhirnya kubisa pulang. Kebahagiaan ini tiada tara. Sulit kulukiskan dengan kata2.

Air Hitam, 25 Juni 2018


Monday, May 11, 2020

Menyuap Tuhan


by eltoro ben

Maafkan aku
Yang selalu berharap pahalaMu
Bertransaksi
Berhitung
Berapa banyak sudah amalku
Berapa dalam sujudku
Berapa sering puasaku
Berapa kali hajiku

Dalam sedekah pun kadang aku memberikanMu uang palsu
Dalam Dhuha pun kumerasa menjadi hamba yang shaleh
Agar engkau mau guyurkanku rezeki dari segala penjuru
Dari langit
Dari dalam perut bumi
Dari tempat jauh
Dari yang halal

Maafkan aku
Yang selalu malas untuk berkaca
Cerminku kian kabur
Terlalu berkabut
Entah di mana wajah asliku bersembunyi
Tak nampak lagi kilatan rasa syukurku

Ya, aku mengaku
Memang pernah aku berupaya menyogokMu
Dengan sujudku
Dengan recehanku
Dengan gamisku
Dengan kebodohanku
Dengan kesombonganku

Yang terlambat menyadari kebesaranMu yang melebihi kosmos
Tak mampu aku menyogokMu!


Air Hitam, 18 Ramadhan 1441 Hijriah

Tuesday, May 5, 2020

Pagebluk


by eltoro ben


KABAR terbaru kematian pagi ini benar-benar membuat gempar. Menyebar cepat seantero kota. Menggedor pintu-pintu rumah dan menyusup kelambu bak tamu tak diundang.

Orang-orang terbangun. Resah mereka tentang maut yang terus merenggut kian mengaduk. Bahkan telah menyalip news update virus Corona yang sudah merampas beratus nyawa.

"Siapa lagi yang mati, kang?"

Geragapan sang istri bertanya sambil mengucek-ucek mata. Bathil Sudiro tak menjawab. Ia sudah keburu keluar meninggalkan rumah. Blak! Bunyi pintu papan yang terbanting angin menggetarkan dinding rumahnya.

Sudah berbulan Bathil membenam diri di dalam rumah. Menghindar dari ancaman serangan Corona. Ia tinggal berhimpit di sebuah petakan papan kontrakan sempit di pemukiman padat bersama istri dan tiga anaknya. Pengap. Sesak. Rumah lama yang lebih besar tak secuil pun tersisa. Disita negara. Rumah itu dulu dipinjamkan oeh Juragan Jabir, bukan hadiah, ketika ia masih mengajari anak-anaknya mengaji.

Tak pernah kabar kematian membuatnya begitu gelisah. Sekali pun itu akibat Corona yang ia dengar setiap hari. Bukan karena ia berani menghadapi kematian. Semua mahluk pasti mati. Tapi kematian yang bagaimana.

Kabar kematian kali ini beda. Rasa ingin tahunya terbetot. Memaksanya keluar dari rumah -- yang sekaligus jadi bunker pertahanan bagi seluruh anggota keluarganya, seperti rumah-rumah lainnya saat pagebluk ini.

Hanya saja, bunker miliknya tidak bertumpuk sembako. Ia tahu tak akan mungkin mampu menyetok bahan pangan dan aneka buah di kulkas seperti dilakukan Abah Haji Sawer, pemilik puluhan rumah sewaan termasuk petakan yang kini ia tempati. Abah Haji tinggal di rumah magrongnya di muara lorong.

Baginya, bisa mendapat sekantong beras saja sudah sangat alhamdulilah. Tak sampai hati ia melihat istrinya yang kadang menitikkan air mata diam-diam, sendirian di pawon, sambil mengais-ngais sejumput beras yang masih tersisa di dalam gentong.

Beras itu pemberian Abah Haji setelah ia bantu mengangkatkan berkarung beras, tepung, minyak goreng, telur, susu, vitamin serta lainnya ke dalam rumah besarnya. Ia memborongnya di sebuah toko grosir yang malam itu karyawannya terpaksa buka hingga tengah malam. Melayani pengunjung yang membludak, sehari sebelum pemerintah memberlakukan karantina wilayah.

Buat persediaan selama #dirumahaja, katanya.

***


BATHIL ngebut dengan motornya. Kencangnya angin pantai utara dingin menembus jaket tebal yang dipakainya. Terasa menusuk-tusuk tulang, Bau ikan pindang menyengat hidungnya saat ia berbelok melewati boom di pasar atom. Sudah separuh jalan.

Beberapa menit kemudian indra penciumannya menangkap aroma lain yang lebih menenangkan. Harum hio dan dupa menebar dari kelenteng tua Kwan Sing Bio yang ia lintasi. Melintasi tempat patung Dewa Kwan setinggi 31 meter yang berdiri gagah dengan golok besar, bermuka merah, siap menghalau setiap musuh dari segara lor. Itulah patung dewa masyarakat Tionghoa tertinggi se-Asia Tenggara.

Bathil tak bisa melihat wujudnya lagi. Patung yang sempat diresmikan, dirobohkan dengan pelintiran kebencian orang. Yang tersisa tinggal kelenteg tua. Klenteng ini dibangun tahun 1773. Lurus lagi sekitar dua kilometer arah setamplat sampailah ia ke tempat yang dituju.

Banyak orang sudah berkerumun. Lalu lalang truk gandeng dan pick up pembawa ikan ikut melambat, ingin tahu apa yang terjadi. Dengan tubuh kerempengnya dan sedikit ndusel, Bathil berhasil menjejalkan diri di dalam kerumunan tersebut.

Bau amis lagi busuk dari kontainer sampah di tengah kerumunan melayang-layang laksana aroma sirep. Bebas terbawa angin. Pekat menyengat. Memabokkan siapa pun di sekitarnya. Kantong-kantong kresek berisi makanan bekas campur bangkai tikus berceceran di jalan. Tak termuat lagi oleh kontainer yang sudah menggunung oleh tumpukan sampah warga. Tapi orang tak peduli.

Semakin berduyun orang datang. Seiring menyingsingnya fajar yang cahayanya memerah. Menerang melintang di horizon timur.

Ah, masa bodoh dengan masker. Peduli setan jaga jarak, physical distancing atau apa pun namanya. Mereka pikir, inilah saatnya untuk melepas penat dan kebosanan. Dua bulan orang-orang berdiam di rumah, dan sejauh itu tak seorang pun yang berani memastikan kapan pagebluk akan berakhir. Kematian demi kematian tetap saja terjadi. Tak kunjung melandai.

Entah mengapa kematian akibat Corona yang jumlahnya jauh lebih banyak itu tak lagi dirasakan sebagai tragedi. Tak lagi menggetarkan. Juru bicara mengumumkan kabar kematian pun layaknya merilis deret angka statistik. Tanpa air mata. Tanpa duka. Tanpa sahabat dan tetangga mendekat untuk takziah. Manusia-manusia mati tak lebih bilangan biner.

Bathil merasakan itu.

“Tak salah. Ini memang Juragan Jabir," gumamnya.

Meski sudah sekuat hati menerima kabar yang sudah berhembus kencang sejak dinihari di grup-grup WA, tak urung tubuhnya terjengkang begitu mendapati kebenaran kabar itu. Jasad juragan Jabir ia llihat bersimbah darah. Kepalanya terkeluar dari dalam karung goni yang membungkusnya. Tergolek persis di samping bak sampah.

Tak sulit orang mengenalinya. Wajah Juragan Jabir terpampang di mana-mana. Di hampir semua baliho, poster dan spanduk di kota ini. Mudah pula bagi Bathil memastikan jasad tersebut. Juragan Jabir memiliki dua gigi seri bagian atas bersepuh emas.

"Ini mayat ketujuhbelas yang didor dalam tiga pekan terakhir di kota ini. Entah siapa lagi yang akan jadi korban besok," celetuk seseorang.

Perut Bathil mendadak mulas. Serasa mual. Buru-buru ia menyibak keluar dari kerumunan, dan huekkk...! Tumpah seluruh nasi dan ikan kering yang ia santap tadi malam.

Riuh rendah orang bergunjing atas apa yang terjadi.

“Calon Walikota didor!” Teriak seseorang kepada sejumlah sopir yang melongok-longok dari balik setirnya. Jalan pos daendels itu macet. Orang-orang tergencat.

“Jabir mampus! Wis modarrr! Ben kapok.” Teriak lagi yang lain.

Bathil merasakan tubuhnya lunglai. Tak mampu lagi ia mencatat di benaknya ekspresi orang per orang atas kematian itu.

***

SEPERTI mayat-mayat sebelumnya, mayat Juragan Jabir juga ditemukan teronggok persis di samping kontainer sampah di pinggir jalan. Ia terbuang layaknya barang yang tak lagi terpakai. Seperti sampah. Dan memang benar-benar tercampak di antara tumpukan kantong sampah warga yang berserak.

Terbungkus dalam glangsing hitam dengan sejumlah luka tembak di sekujur tubuh. Beberapa mayat, – termasuk yang satu ini, terbungkus dalam kadut berbahan tali rami. Mereka yang terbungkus glangsing dikenali sebagai tukang bikin onar. Sampah masyarakat.

Ada brandalan pasar tua. Kemana pun selalu membawa golok kesayangannya. Dililitkan ke dalam sabuk hitam lebar bak pendekar. Ia ditakuti. Makan di mana pun tak pernah bayar. Pemilik warung biasanya malah menambahkan sebungkus rokok sukun. Tentu dengan terbungkuk-bungkuk. Sebab bisa sewaktu-waktu mukanya melayang. Menampar orang.

Kojek, jawara dan preman di terminal ini yang bertubuh gempal penuh tato saja enggan berselisih. Begitu pula centeng andalannya Singkek Liem, segan menghadapinya. Ia disebut-sebut punya ilmu kebal. Tapi, pekan lalu, jasadnya teringkuk kaku dalam glangsing di samping bak sampah. Enam kilometer tenggara pusat kota. Lima peluru tajam menghujani dadanya yang bidang. Ia korban keempat belas.

Korban umumnya memang para tukang begal, bajing loncat, dan tukang menyatroni rumah yang tak jarang membunuh keji para korbannya. Mereka kerap bolak-balik masuk menjara. Sudah dibebaskan  malah mengulang. Baru saja sepekan pembebasan mereka -- bersamaan dengan pembebasan 36.000 napi lain seantero negeri, banyak warga yang lapor kehilangan motor. Korban jambret, kerampokan toko dan rumah mereka. Bahkan ada yang jadi korban pemerkosaan.

Para napi itu dikeluarkan dari penjara agar pemerintah tak perlu lagi memberi makan. Itu artinya, kata pejabat, bisa menghemat uang negara triliunan rupiah. Dalih agar tak terpapar virus Corona bukanlah yang utama.

Beberapa orang itu ketangkap lagi. Tapi lebih banyak kabur. Menghilang jauh di luar kota. Mungkin di hutan.

Meski dikritik habis oleh para aktivis HAM, banyak orang lega dengan aksi dar-der-dor ini. Angka kejahatan langsung anjlok.

Akan tetapi, penemuan jasad kali ini beda.

Banyak orang mengenalnya. Banyak pula yang tak pernah menduga kematian tragis itu. Sebagian orang menganggap ia bukan bandit. Ia adalah orang yang memiliki pengaruh kuat terhadap kekuasaan. Tajir melintir. Jadi ketua partai. Sebagian lainnya berpendapat Juragan Jabir sebenarnya adalah bandit. Pernah dijebloskan ke penjara saat masih aktif menjadi anggota dewan. Saat itu ia terlibat kasus korupsi ratusan miliar proyek jalan, dan makelari beberapa izin tambang.

Divonis tiga tahun. Pernah pula bikin heboh di penjara. Televisi menayangkan sel kamarnya yang telah disulap jadi kamar mewah. Dua sel dijadikan satu dengan wallpaper, springbed, kamar mandi shower, toilet duduk, televise, dan seperangkat laptop. Tiga orang sipir berikut kepala penjara terkena getahnya. Mereka dihukum dan dicopot dari jabatannya.

Tapi itu peristiwa lama. Beberapa tahun silam. Jabir sudah bebas. Orang-orang sudah melupakan kasusnya. Ia disebut-sebut telah jadi sinterklas. Royal kepada siapa saja. Terlebih kepada orang-orang yang dianggap sejalan dengan visi-misinya. Ia akhirnya terpilih kembali menjadi anggota dewan pusat pada pemilihan legislatif setahun lalu.

Inilah demokrasi. Dan atas nama demokrasi pula, tahun ini Juragan Jabir mendaftar sebagai balon Walikota. Jabir disebut-sebut sebagai kandidat terkuat mengingat kuatnya fulus, jaringan, dan tentu saja dukungan rakyat.

Dua hari kemarin, berturut-turut, aksi dar-der-dor juga menimpa dua orang mantan koruptor. Seorang diantaranya bahkan baru tiga bulan lalu menghirup udara bebas menyusul dimenangkannya kasasinya. Ia sempat divonis bersalah atas pengurusan jual beli perkaradi tingkat kasasi. Sedang satunya lagi terlibat korupsi sejumlah proyek bebas, dan menjaani bebeas bersyarat.

Warga tak tahu siapa yang melakukannya. Tak pernah ada jawaban tuntas dari aparat keamanan, karena selalu dibilang masih dalam penyelidikan. Dandim dan Kapolres kompak menjawab bahwa tak ada perintah tembak di tempat.

Apakah itu berarti penembak misterius beraksi kembali? Tetapi, dugaan ini pun dibantah. Boleh jadi, yang membunuh para bandit itu adalah kalangan mereka sendiri.

“Orang seperti mereka kan tidak hidup sendiri. Mereka umumnya punya komplotan, ada saingan. Bisa jadi yang mati-mati itu gara-gara masalah pembagian rezeki antarkomplotan. Saling balas antargeng,” jelas seorang pejabat kepolisian dalam siaran di televisi.

Sejak kematian Juragan Jabir, orang mempergunjingkannya terus tiada putus. Tak lagi tentang Corona. Ini lebih dari pagebluk, kata mereka. Siapa lagi setelah Jabir?

***

“MALAM ini juga kita harus ambil sikap. Kita harus minta Pak Bathil mundur!” Tegas Haji Amang. Matanya menyorot tajam wajah Bathil.

“Tenang, tenang Pak Haji. Saya minta kita berpikir jernih, tidak emosi. Bagaimana pun Pak Bathil ini sudah berjasa terhadap anak-anak kita. Dialah yang turut mengajari ngaji di masjid ini,” kata Haji Rozak, ketua pengurus masjid.

“Justru karena itulah Pak Haji kita harus keluarkan dia. Apa jadinya masa depan anak-anak kita nanti, kalau pikirannya sampai teracuni oleh orang macam dia. Hancur! Kita bisa kok mencarikan guru ngaji yang kebih baik, bacaannya jauh lebih bagus, dan lebih soleh tentunya.” Timpal yang lain.

“Malu kita pak. Kita kan wajib menjaga nama baik pengurus. Menjaga marwah masjid. Apa nanti kata orang kalau ini kita biarkan.”

Sembilan pengurus Masjid Al Maruf Kampung Tegal Rejo duduk bersila dalam sebuah lingkaran di teras samping masjid. Malam, sehabis Isya, mereka menggelar rapat mendadak. Bathil, salah satu pengurus, diam tertunduk. Ia tak tahu harus berkata apa. Hampir semua pengurus mendesaknya untuk mundur.

Rapat ini berawal dari penemuan jasad Juragan Jabir. Tersebar desas-desus yang menguak masa lalu Jabir. Kuat dugaan kematiannya akibat kasus korupsi yang pernah dilakukannya. Terkuak pula riwayat, Bathil pernah bekerja di rumah Juragan Jabir. Lebih dari itu, dan ini yang bikin pengurus merasa perlu rapat mendadak -- ia pernah dibui 1,8 tahun karena terlibat korupsi bersama sang juragan.

Dua jam berlalu. Sebagaian besar pengurus tetap pada sikapnya. Meminta Bathil mundur. Ketua Masjid bertanya,”Bagaimana Pak? Setidaknya kami ingin dengar langsung dari Pak Bathil.”

Bathil masih terdiam. Tak juga memberikan jawaban apapun. Pengurus akhirnya beranjak berdiri untuk membubarkan diri.

“Sebentar bapak-bapak," Terucap akhirnya dari bibir Bathil.

"Ya, mau jelaskan?"

"Besok pagi, pak. InsyaAllah besok pagi saya akan menyampaikan surat pengunduran diri. Mohon dimaafkan salah dan khilaf kami, Pak Haji,” kata Bathil.

Mendengar itu orang-orang melanjutkan berdiri. Namun merasa lebih lega telah menyampaikan maksud untuk meminta Bathil mundur. Kembali ke rumah masing-masing dengan senyum lebar.

Bathil mendekati marbot. Ia tahu marbot sejak awal rapat tidak berkomentar apa pun terhadap masalah ini. Ia meminta izin dibukakan pintu masjid untuk itikaf.

Usai menjalankan salat, Bathil duduk iftisory. Wajahnya tertunduk dalam menghadap sajadah. Diam. Berjam-jam. Pikirannya melintas ruang dan waktu. Pada wajah anak-anak dan istrinya di rumah. Pada wajah Juragan Jabir yang bersimbah darah. Dan pada rapat barusan. Terdengar kembali desakan-desakan nyaring yang memintanya mundur dari kepengurusan.

“Sungguh hamba berserah diri kepadaMu. Engkau maha besar, maha pengampun, ampuni dosa-dosa hamba, ya Allah,” Bathil manangis dalam doa. Air matanya deras membasahi sarung.

Seperti baru kemarin, terlintas jelas dalam ingatannya fragmen-fragmen yang membuatnya digelandang KPK beberapa tahun lalu. Sesuatu yang sebenarnya ingin ia lupakan. Ia didakwa terlibat dalam konspirasi menampung hasil korupsi Juragan Jabir. Di rekeningnya, menurut dakwaan jaksa, tercatat aliran dana senilai total Rp 32 miliar.

Meski sudah ia jelaskan bahwa dirinya tak pernah memegang buku tabungan dan ATM itu, hakim tetap tidak percaya. Serupiah pun tak pernah ia nikmati. Seberapa banyak uang segitu, juga tak pernah ia mampu membayangkan. Hakim menilai dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri.

Bathil teringat pernah diberi uang Rp 500 ribu oleh juragannya untuk membuat rekening bank atas nama dirinya. Ia menurut saja. Begitu jadi, buku rekening berikut ATM itu kemudian diminta oleh Juragan. Selanjutnya untuk apa, ia tak pernah tahu. Ia tak mau tahu atau bertanya. Untuk apa, toh uang itu bukan milik saya, begitu ia berpikir saat itu.

Seminggu kemudian, Juragan Jabir meminjamkannya sebuah rumah besar yang baru ia beli. Dengan alasan rumah itu akan rusak kalau dibiarkan kosong, ia akhirnya menerima tawaran itu. Ia bersyukur tidak lagi diribetkan dengan urusan tagihan uang kontrakan rumah.

Waktu terus berjalan. Ia masih mengajari anak-anak juragan ngaji. Belakangan baru ia tahu, rumah dan rekening itu terkait dengan hasil korupsi yang dilakukan juragan. Teringat itu semua makin deras air matanya keluar.

“Ampuni, ampuni hamba ya Allah yang selama ini masih bodoh menerjemahkan petunjukMu.”

Malam kian larut. Selarut-larutnya. Suara adzan subuh berkumandang. Jamaah masjid Al Maruf bergegas. Di antaranya para pengurus masjid yang semalam menyidangkannya. Sekilas mereka melihat Bathil masih duduk tasyahud awal. Seorang jamaah mengumandangkan iqamah. Namun Bathil masih dalam posisinya.

Beberapa orang yang satu shaf dengannya mencoba memanggil. “Pak Bathil, pak. Bangun, pak.”

Mereka pikir Bathil tertidur. Begitu pula pikir marbot yang menoleh ke belakang sebelum memimpin salat subuh. Kasihan, ia pasti kecapekan memikirkan rapat tadi malam. Ditambah lagi semalaman itikaf, tentu menguras energinya. Tangan kanannya lalu menjawil pundak Bathil

Subhahanallah! Jamaah seketika beteriak. Tertegun melihat apa yang terjadi. Tubuh yang dikira tertidur itu mendadak ambruk ke depan. Tersujud! Sejurus kemudian jamaah di sekitarnya bergegas memegangnya. Tubuh Bathil lalu terguling ke samping.(*)

Air Hitam, 6 Mei 2020