Saturday, May 11, 2019

Kacamata Seorang Pewarta

WARNING? Nasihat? Ah, bergurau kamu. Tentu saja sudah. Sering kali malah.

Ben menatapku tajam dari balik kaca mata minusnya yg tebal, seperti hendak menebak arah pertanyaanku. Ia longgarkan dasinya warna icy blue. Dipadu kemeja biru navy, ia tampak lebih mirip profesional keuangan ketimbang seorang pewarta.

"Yang menyampaikannya pun bukan sembarang orang. Lewat artikel, kolom2, konsultasi keuangan, hingga surat protes resmi. Sudah semua. Surat terakhir itu bahkan diteken 1.140 ekonom, termasuk 14 peraih Nobel. Tapi, mental!!!"

Kami duduk berhadapan di sebuah kedai sarapan di Newhampshire Avenue, ditemani kopi ginseng. Kedai ini tak jauh dari Capitol Hill. Satu dua senator dari Republik sering suka nyasar ke sini. Sekedar ganti suasana. Kadang nguping gosip-gosip teranyar. Sekalian nyicip carpaccio kuda.

Aku menolak dengan halus saat Ben merekomendasikan menu itu, termasuk mengganti daging dengan pilihan Salmon.

"It taste absolutely fantastic!" bujuknya. Ben mencoba meyakinkanku lagi bahwa carpaccio di resto ini yg paling sedap di seputaran Capitol Hill.

Seorang maitre d' yg berdiri di ujung kupanggil: Is carpaccio raw meat?

Ia tersenyum geli. Mungkin merasa aneh dgn pertanyaanku. "Of course. It is a dish of raw meat or fish."

Tenderloin -- kadang ikan -- itu akan disajikan dalam irisan-irisan tipis. Sebenarnya mirip Sashimi atau Sushi dari Jepang. Ceviche dari Amerika Selatan
Tapi itulah masalahnya. Lidahku jarang bisa kompromi dengan makanan-makaan asing. Apalagi mentah. Dalam bentuk setengah matang saja, seperti saat dijamu oleh pengusaha Jos Sutomo di resto Jepang miliknya, perutku langsung bereaksi.

Karena itu aku memilih grilled salmon saja, dan quiche. Ben menambahkan sarapannya dengan flatbreads.

"Kamu ingat Dick? Ia sampai tiga kali menulis kolom khusus di USA Today," sambung Ben lagi, melanjutkan tema pembicaraan kami yg terputus.

Tentu saja aku masih ingat Dicky Stanley. Ia profesional muda di sebuah agen keuangan ternama. Kantornya menjulang di gedung pencakar langit di Madison Ave, NY. Kami tak sengaja bertemu di konferensi internasional "Stable and Just Global Monetary System" di KL, 2002 silam.

Aku tertarik untuk mengenalnya lebih dalam setelah dia bicara keras di forum itu. Dia satu-satunya orang barat yang teran-terangan meragukan efektivitas gold dinar yang ditawarkan Prof Ahmed Kameell sebagai satu instrumen dalam sistem moneter global.

Dua tahun kemudian, Kameell mencoba menegaskan kembali kebenaran tesisnya bahwa sistem uang fiat itu tidak stabil dan tidak adil dalam sebuah buku yg meledak: "The Theft of Nations: Returning to Gold."

Dick ekonom muda. Cerdas dan pernah jadi sampul muka di sebuah majalah ekonomi yg kerap menjadi rujukan bagi para pelaku pasar hingga pejabat-pejabat keuangan dunia. Awak redaksinya penuh sesak oleh para jebolan sekolah-sekolah bisnis ternama, bergelar PhD.

Ben adalah satu di antaranya. Aku sering berdiskusi dalam jarak jauh, terutama saat muncul isu-isu menarik dunia Barat, baik melalui skype maupun surel.

Beberapa kritik Dick terhadap IMF dan World Bank menghiasi halaman-halama utama surat kabar dan review ekonomi di AS.


Aku sempat membaca ulasanya di USA Today. Salah satu kritiknya yang menyentak para peminpin dunia menyebut IMF dan World Bank tak memberikan nilai tambah apa pun bagi masyarakat dunia. Yang miskin, katanya tetap miskin. Malah sebaliknya menggerogoti kedaulatan suatu negara.

Sayangnya USA Today bukan The Washington Post. Tak bisa pula dipadankan dgn The New York Time, maupun The Economic. Diperlukan media lebih kuat untuk bisa menembus sekat-sekat dan filter di Gedung Putih agar kritik semacam itu bisa tiba di meja Resolute, tempat Donald Trump bekerja di Ruang Oval-nya.

USA Today tak cukup kuat untuk menghadapi sunset. Meski dimiliki oleh kelompok media papan atas, Newsquest, yg terbit di London, tetap saja ia harus lakukan perubahan besar-besaran utk bertahan. Ukurannya pun sekarang menyusut dari broadsheet ke barliner harian.

Ben bercerita bagaimana Robert Shiller ikut turun tangan. Peraih Nobel dari Yale University ini melihat aksi Trump menabuh genderang perang dagang dgn China sangatlah membahayakan dunia. Krisis ekonomi bisa terjadi. Sebab tentu saja RRC tidak akan tinggal diam.

Bahkan, koleganya, Joseph Stiglitz, kepala ekonom untuk World Bank pun tak sungkan lagi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap cara-cara Trump. AS adalah contoh buruk, yg seharusnya tidak diikuti oleh negara-negara lain.

"Ini surprise. Seorang Stiglitz berani nyatakan itu. Kamu tahu, dia bukan cuma ekonom besar yg disegani. Tapi juga memiliki pengaruh besar di World Bank," katanya.

Lalu apa hasilnya?

"Mental juga. Semua. Semuanya buntu!!!"

Ben menggurutu. Kadang ia lupa bahwa dirinya adalah pewarta. Tapi kupikir masih wajar. Emosional pribadi semacam itu diungkapkan hanya kepada kawan diskusi, seperti saya. Narasinya di media tetap berimbang dan clear.

"WILL you resign?" Tanyaku.

Sepekan sebelum aku mampir bertemu di sebuah kedai di Washington DC, Ben sempat curhat kepadaku melalui Skype. Salah satunya mengenai keinginannya untuk menyudahi karir di jurnalistik. Saya kaget saat itu, dan sempat mencegahnya.

Berat memang, kata Ben. Bagaimana pun inilah dunia yang sempat melambungkan namanya. Mungkin ia tak akan kenal banyak tokoh politik dan ekonom dunia, tanpa melalui jalur ini. Banyak relasi dan kini pun masih terjalin hubungan baik, ia akui perkenalannya berawal dari wawancara untuk berita-beritanya.

Adelle misalnya, asisten salah satu direktur di IMF, adalah wanita cantik dan gesit yang sering kasih bocoran informasi penting kepadanya. Seperti bosnya, Adelle selalu tampil modis meski dalam event yang dihadiri kebanyakan lelaki itu. Berdarah Perancis, namun lahir dan kuliah di Amerika.

Aku pernah melihatnya beberapa kali. Pertama, saat diperkenalkan dengannya di sebuah event di Brussel. Ia tampil dengan setelan formal yang effortlessy chic. Adelle memesannya khusus dari rumah mode ternama. Tentu sekalian untuk sang bos.

Wanita yang dulu dikenal sebagai aktivis penggerak perempuan ini -- sekarang pun masih, meski dengan cara berbeda -- tak jarang memadukan gaya formalnya dengan scarf terang. Hermes adalah salah satu brand ternama favoritnya untuk scarf.

Dalam kondisi tidak resmi pun ia masih tampil anggun dan stylish. Tampak ia menyesuaikan dengan penampilan bosnya, berkemeja dan celana dengan tambahan blazer lansiran Chanel.




(ahmad bintoro/bersambung...]

Credit photo: impactboom.org/axios.com