Wednesday, July 10, 2019

No Problem



MASALAH yang kami hadapi sebenarnya tergolong kecil. Gampang untuk diurai dan diselesaikan. Malah sebagian orang mungkin akan beranggapan bahwa itu bukanlah masalah.  Saya pun berpikir demikian. Saya tentu tidak akan mau memelihara rasa nyut-nyut, yang sudah mulai terasa sejak kemarin, terus berdenyut dan makin menjadi.

Soal smartphone yang hilang, it’s not problem.

Bukan karena ingin sok milenial atau agar disebut Gen-X sejati, kalau saya menggunakan ungkapan ini. Lebih karena saya rasa pas saja ketimbang kalau saya pakai ungkapan-ungkapan tradisional yang populer pada abad pertengahan seperti "it's nothing," forget it," "think nothing of it," "no worres" atau apalah sebagai adab kesopanan waktu itu. Toh kita tidak harus mempermasalahkan ungkapan itu di sini.

Hehehe... what's the problem with 'no problem'?

Sungguh, saya dan putri tertua, sudah legowo . Kami berpikir, inilah bagian dari proses kehidupan yang harus kami jalani. Hakikatnya bagaimana kami belajar ikhlas, menyukuri dan menghargai suatu keberadaan. Sehingga ketika sesuatu itu menjadi tiada, saya sudah siap menghadapinya.

Saya kira tujuh tahun lebih dari cukup bagi sebuah gadget itu bersama saya. Ada beberapa kebutuhan aplikasi yang tak bisa dijalankan karena masih low end. Bukan jadul. Hanya, kurang selaras dengan perkembangan teknologi kekinian. Saya pernah merasakan sulitnya berburu back door karena tidak diproduksi lagi.

Jadi, ya sudahlah.

Kaget memang diawal. Sebab itulah hape satu-satunya. Tak sempat untuk back up data, dan entah kapan ada rezeki untuk mengganti keduanya. Mungkin ini sinyal agar saya harus lebih keras untuk menabung dengan menyisihkan sebagian gaji. Hehehe... Maklum hanya buruh gajian. Mungkin saya harus ambil kerja lembur atau part time di bidang lain, kalau ada.

Lagi pula, kalau pun ada uang, tidak lantas akan menyelesaikan masalah dampak dari kehilangan itu sendiri. Apakah itu akan bisa mengembalikan draft lima buku berikut notes yang selalu saya bikin day to day di aplikasi Notepad? Enggaklah. Hilang ya hilang. 

Pun putri saya, ia sempat panik. Saat tersadar hapenya tidak berada di saku celananya, kami harus putar balik untuk memastikan barang itu tidak tercecer di jalan. Belum jauh. Baru sekitar 300 meter kami meninggalkan rumah papan yang disewa sebagai posko KKN di Kutai Lama.

Perlahan kami menyusurinya. Kawan satu tim sampai ikut repot. Mereka dengan baik hati mau turut membantu mencari. Juga berulang membongkar tumpukan baju dan lipatan kasur di kamar yang mungkin menghalangi pandangan. Tak ketemu.

Sadar akan hape hilang itu hampir bersamaan. Sekitar lima menit setelah terucap pengakuan saya, sesaat akan menelpon untuk memberitahu bahwa saya sudah du depan pintu rumah. Saya baru tersadar saat tangan merogoh box di bawah dashboard motor. Astaga ternyata kosong. Tercecer di jalan? Terpental saat saya mengerem mendadak di lubang jalan? Mungkin saja! 

Sungguh apes. Apa boleh buat. Sudah terjadi, dan benar-benar tak ada kabar beritanya hingga kini. Tak bisa dihubungi lagi  "Telepon yang anda tuju sedang dialihkan," begitu setiap saya coba untuk menghubungi nomor saya itu. Ya, sudah. Untung cuma hape.

Kisahnya dimulai Jumat (6/7/2019) subuh. Sepagi buta itu, saya sengaja ke Kutai Lama mengejar waktu. Naik motor. Istri saya sudah wanti-wanti pakai mobil saja agar lebih aman. Dia tahu, saya belum hafal kondisi jalan. Kondisi kesehatan saya  juga belum terlalu stabil. Tapi saya abaikan saran itu. Membungkus diri dengan sewater agak tebal, saya pun menembus dingin pagi buta itu.

Kutai Lama. Dua dekade tinggal di Samarinda, baru kali kedua ini saya ke desa itu. Padahal tidak jauh. Dari Samarinda bisa ditempuh dalam 1 jam dengan kendaraan, selambat-lambatnya 1 jam 30 menit. Kali pertama kesana sepekan lalu, saat harus mengantarkan putri tertua mengikuti KKN di desa itu.

Artinya, dengan kedekatan geografis seperti itu, Kutai Lama memang bukan nama asing bagi telinga saya.

Saya sering mendengar namanya disebut-sebut dalam forum resmi setiap perhelatan budaya Erau Kutai. Setiap kali Pemkab Kutai Kartanegara menggelar Erau, Kutai Lama akan selalu dijadikan titik awal untuk menapak tilas ritual dan sejarah kebesaran kerajaan bahari, Kutai Kartanegara.

Dulu, 600 tahun silam. Kutai Lama konon pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Kutai Kartanegara. Jejaknya bisa dilihat dari keberadaan makam dua raja dan Datuk Tunggang Parangan di desa ini. Raja-raja lain atau para sultan peneruisnya, dimakamkan di Tenggarong. Sampai sekarang. Ini mengisyaratkan pemerintahan di Kutai Lama tidaklah lama.

Dalam perkembangannya, pada tahun 1605, Raja Kutai Kartanegara ke-8, Aji Pangeran Adipati Sinum Panji Mendapa, menaklukkan Martadipura. Nama kerajaan menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura sampai sekarang.

Penerusnya, Sultan Aji Muhammad Idris memindahkan Kota Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke Pemarangan. Sekarang merupakan Desa Jembayan, sekitar 20 km dari Tenggarong. Itu terjadi tahunn 1732. Bersamaan itu diubahlah kerajaan Kutai Kartanegara menjadi kesultanan. Perubahan nama itu pengisyaratkan bahwa pemerintahan sudah berubah pada pola keislaman, meski ibu kotanya sempat dipindah lagi ke Tepian Pandan.

Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung. Artinya, "rumah raja". Lambat laun orang melafalkannya Tenggarong. Di bangunan berarsitektur Indische Empire yang dibangun oleh Balanda tahun 1932 itulah raja beristana. Sultan Aji Muhammad Parikesit menerima istana itu tiga tahun kemudian. Saat ini bekas istana itu difungsikan menjadi Museum Mulawarman.

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri di Negeri Jahitan Layar, sebuah dusun kecil di Desa Kutai Lama yang terletak di mara Sungai Mahakam.Dibangun oleh seorang raja bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti sekitar tahun 1300.

Dalam buku Ekspedisi Kudungga (201&) disebut, nama Kutai pertama kali ditulis resmi dalam kitab Nagarakretagama. Kitab karagan Mpu Prapanca itu menyebut bahwa Tunyung Kute (Tanjung Kutai) berada di bawah perlindungan Majapahit.

Kini, Kabupaten Kutai Kartanegara disebut-sebut sebagai kabupaten dengan APBD terbesar di Tanah Air, sejak diberlakukan sistem pemerintahan desentralisasi. Seperti saat masih menjadi kerajaan dan kesultanan, Kutai Kartanegara memang dianugerahi kekayaan sumberdaya alam besar, mulai emas, minyak, gas bumi, hingga batubara.

Tajir, itu pasti. APBD-nya saja mencapai Rp 7,6 triliun (2014). Lebih besar bahkan dengan APBD untuk satu provinsi. Bandingkan misalnya dengan Provinsi Sulawesi Tengah, pada periode yang sama hanya Rp 2,5 triliun. Angka ini juga besar karena jumlah penduduk di Kukar hanya 645.817 jiwa. Karenany, bagi bupati saat itu, Syaukani HR -- bupati pertama yang dipilih langsung rakyat -- sangat mudah membangun dan menyelesaikan highway dari Tenggarong ke Samarinda.

Sejumlah kajian akademis menyebut Tunggang Parangan adalah penyebar agama Islam. Catatan  Alawiyin bahkan menyebutnya sebagai habib. Lengkapnya Habib Hasyim bin Musyayahkh bin Abdullah bin Yahya. Ia seoang keturunan Arab. Darah daging Rasul Muhammad Saw.

Habib Hasyim lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman. Hadramaut sangat populer di kalangan keturunan Arab di Indonesia. Bahkan lebih dikenal ketimbang nama ibukota negaranya, Sana'a maupun Aden (Yaman Selatan). Sebab dari sanalah diaspora sebagian besar nenek moyang mereka berasal. Bukan dari Saudi Arabia.

Memang popularitasnya masih jauh di bawah kota-kota seperti Madinah, Turki atau Ankara. Tetapi, inilah kota provinsi yang di salah satu kotanya bernama Tarim. Kota kecil ini pernah didoakan oleh Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash Siddiq.

Tarim dalam perkembangannya mendapat berbagai julukan. Tarim sebagai Kota Para Wali. Tarim Kota Seribu Masjid. Tarim Kota Paling Diberkati di Muka Bumi (di luar Mekkah dan Madinah di Saudi). Dan berbagai julukan lain.

Nabi Muhammad mendoakan Hadramaut dan penduduknya setelah menerima laporan Ali bin Abi Thalib dan sahabat Muazh bin Jabal bahwa mereka ternyata diterima dengan baik dan ramah sekali oleh masyarakat di sana."Ya Allah, limpahkan keberkahan untuk wilayah Syam. Limpahkan juga keberkahan untuk Yaman."

Doa senada dipanjatkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq. Bahkan dengan tiga permintaan untuk Tarim. Yakni agar dibanyakilah orang-orang yang sholeh di Tarim. Agar Tarim selalu diberkahi Allah, dan tidak dipadamkan api agama Allah di Tarim sampai hari kiamat.

Ahmad Al Muhajir, salah satu keturunan Nabi Saw, memahami betul keberkahan doa itu. Ia pun turut berhijrah kesana dari Basrah, Irak. Penduduk Yaman menerima mereka dengan baik. Hingga sekarang, Hadramaut masih sebagai pusat pendidikan Islam dunia.

Salah satu keturunan Ahmad Al Muhajir kemudian hijrah ke India. Ia bernama Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Keluarga Abdul Malik ini lantas menyebar berdakwah ke sejumlah wilayah di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. 

Sekarang, kita mengenal keturunannya sebagai wali-wali penyebar Islam di Pulau Jawa. Dikenal dengan sebutan Wali Songo. Jumlahnya sembilan orang, di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dari Ampel (Surabaya) hingga Cirebon di Jawa Barat. Keluarga Abdul Malik Azmatkhan itu ke Indonesia sejak tahun 1.400 ketika kerajaan hindu Majapahit mulai melemah kekuasannya. 

Tentu benar pula kalau ada yang berargumen bahwa di antara para wali itu ada yang berasal dari Champa, Samarkand, bahkan China. Tetapi, asal mereka tetaplah sama yakni dari Gujarat, India dan merupakan keturunan dari keluarga Abdul Malik Azmatkhan.

Dalam nasab Alawiyyin, silsilah itu tercatat rapi. Di India ada yang menulisnya dengan Al-khan. Tapi dalam catatan nasab, bukan itu yang tertulis. Melainkan Azmatkhan. Ini akan lebih memudahkan dalam pelacakan di buku nasab.

Tarim, tempat lahir Tunggang Parangan, merupakan sebuah desa ketika itu. Sekarang telah menjadi kota. Banyak orang, terutama kalangan santri ke Tarim hanya untuk mencari ilmu, berziarah atau sekedar bersilaturahmi dengan para ulama. Bukan yang lain. Tidak untuk berdagang atau berbisnis. Di antara sejumlah pusat studi keislaman dunia, Tarim mahkotanya.

Ahlan wa Sahlan fi Madinat Tarim.

Kota ini memang sangat terkenal. Bahkan sebelum peradaban Islam. Tetapi, janganlah bayangkan kota ini seperti Kairo. Jangan samakan dengan Dhoha maupun Sana'a. Ia bukanlah metropolitan yang penuh sesak dengan mall, gedung pencakar langit, kemacetan lalu lintas dan hingar bingar musik pop.

Sederhana. Mungkin itulah satu kata yang paling tepat untuk mendeskruipsikan Tarim. Begitu ungkap Dzul Fahmi, mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Al-Ahgaff, Tarim.

Di kota yang menjadi jejak tempat habib penyebar Islam di Kutai Lama dan daerah lain di Indonesia  itu menurut dia, rumah-rumah warga masih didominasi oleh rumah yang terbuat dari tanah liat. Tak sedikit yang dari luar konstruksinya seperti tembok lapuh, hampir roboh. Klasik sekali.

Bahkan, beberapa bangunan rumah itu ada yang sudah berdiri sejak 300 tahun silam. Rumah-rumah itu berdiri di antara bangunan madrasah atau pusat-pusat studi keislaman dunia. Banyak santri dari berbagai dunia yang belajar di sini. Mereka memperdalam ilmu fikih, tasawuf, tauhid, nahwu, luhgah, juga terekat. Secara teori dan praktik.

"Di Tahrim, saya selalu mengingat akhirat," ungkap Dzul menirukan uapan rekannya, Michels. Ia santri mualaf dari Argentina. Mengucapkannya itu saat mmberikan sambutan perpisahan Daurah Ramadhan di Ma'bud Darul Mushtafa tahun 2014, dengan mata berkaca-kaca.

Tahrim memang oase hati, katanya. Terutama bagi para penempuh lorong takziyah, pensucian jiwa. Warga Tarim ditempa dengan tradisi keberagaman yang sangat mengakar. Di tempat ini, tapakan- tapakan konsep sufistik seperti nilai zuhud (asketisme), ikhlas, mahabbah (cinta), dan nilai-nilai tasawuf yang lain tak hanya menggelinding sebagai teori. Namun juga menjelma dalam keseharian.

Mungkin itulah sebabnya, Direktorat Nasional Pariwisata Yaman, menjuluki Tarim sebagai Ashimah Ruhiyyah. Ibukota Spriritual. Sudah tentu sekaligus sebagai kota bersejarah.

Dengan tradisi keislaman yang bertahan sejak ratusan tahunn lalu itu, tepat kiranya kalau Tarim diganjar penghargaan sebagai Ibukota Kebudayaan Islam (Capital of Islamic Culture) tahun 2010.  Penghargaan ini didapat dari sebuah organisasi internasional ISESCO  -- Islamic Education Scientific and Cultural Organization. Tradisi keilmuan, keadaban, kebudayaan dengan suasana dan karakter yang saling berdesakan itu masih terjaga oleh penduduknya -- sering disebut Hadhorim, hingga kini, 2019.

Kota ini bagian dari provinsi Hadramaut. Cukup jauh dari Al Mukalla, ibukota Provinsi Hadramaut. Sekitar 350 kilometer. Lebih jauh lagi dari Sana'a, ibukota negara Yaman. Mencapai 1.250 km. Itu sama dengan jarak Merak-Banyuwangi. Tapi, dekat loh dengan bentangan kebun kurma, Sayun. Berjarak 15 kilometer saja.

Beberapa literatur menyebut Tarim mulanya sebagai kota perdagangan, abad keempat sebelum masehi. Sebelum peradaban Islam. Sebuah buku berjudul Tarim Baina al Madli wal Hadhr misalnya, ditulis Ahmad Abdullah bin Syihab mengungkapkan Saba ketika itu runtuh dan digantikan oleh peradaban Himyariah. Tarim sendiri diambil dari nama penguasanya, Tarim bin Hadramaut bin Saba al-Ashghar.

Islam datang ketika Nabi Saw masih hidup.  Di luar Hijaz (Makkah dan Madinah), masyarakat Tarimlah yang pertama menerima Islam. Saai itu mereka datang menghadap Nabi, dan Nai Saw mengutus Ziyad bin Labid al-Biyadui al-Ansari untuk membina dan mengajari warga. Abu Bakar ra juga tak mau ketinggalan, turut mendoakan masyarakat Tarim karena ketaatan dan kesalehannya itu.

Nama lain dari kota ini adalah al Ghanna. Mungkin ini merujuk pada pohon-pohon dengan beberapa sungai yang mengalir di sana. Sebuah oase di tengah tandusnya sebagian besar tanah Yaman.

Kota kecil ini memang istimewa. Beberapa mahasiswa menyebut, meski hanya kota kecil, di sini terdapat lebih dari 360 masjid. Sering kali bertemu masjid hanya beberapa kaki melangkah. Mungkin inilah kota di dunia dengan jumlah masjid terbanyak, lebih dari 1000 menara berdiri. Akibatnya, suara azan selalui terdengar bersahut-sahutan karena letak masjid yang berdekatan. Salah satu masjid tertua adalah Masjoid Wa'el. Dibangun oleh Tabiin, Ahmad bin Abbad bin Bisyir tahun 43 Hijriah.

Sudah sejak dulu, Tarim menjadi pusat mazhab Syafii. Kita tahu sangat banyak penganut Islam bermahzab Syafii di Indinesia. Sekali lagi, ini menjadi salah satu bukti betapa kuatnya ikatan tradisi keilmuan Nusantara dan Tarim.

Eh, kok menjadi ngelantur. Maaf, begitulah kalau sudah cerita sering kali ngalor-ngidul tidak jelas arah. Saya kadang nge-hang di masalah alur beginian.

Sampai di mana tadi? Oh, iya, kembali ke Tunggang Parangan.

Dijuluki Tunggang Parangan oleh masyarakat sekitar karena konon ketika datang ke Kutai, ia menunggang jukut (ikan) Parangan. Versi lain menyebut ia menggunakan ikan itu saat adu kesaktian dengan sang raja.

Saat itu raja dan masyarakat Kutai masih memeluk Hindu dan Kaharingan. Rajanya bernama Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610). Alasan ingin menyebarkan Islam itulah yang membuat Habib Hasyim berlayar menyeberangi lautan dari Makassar datang ke wilayah Kutai. Ia datang bersama seorang ulama Makassar, Khotib Tunggal Abdi Makmur bergelar Datuk Ribandang.

Selama ratusan tahun sebelumnya, Kutai memang sudah dikenal. Kutai sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Majapahit di Jawa Timur. Sejak era Raja Aji Batara Dewa Agung Sakti (1300-1325) hingga empat raja sesudahnya, Aji Pengeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545). Maka, kita masih bisa melihat pengaruh kerajaan besar di Nusantara itu, mulai dari perkakas kerajaan berupa gamelan hingga gelar para abdi kerajaan.

Barulah ketika Datuk Ribandang berhasil mengislamkan Aji Mahkota, pengaruh itu mulai memudar. Saat yang sama pemerintahan Majapahit mulai melemah. Datuk Ribandang lalu kembali ke seberang selat di Makassar. Akan halnya Tunggang Parangan, rupanya memilih menetap di Kutai Lama hingga akhir hayatnya (1736).  

Tentu para keturunannya juga masih ada sampai sekarang. Para anak cucu dan kerabatnya tersebar di beragam profesi. Sebutlah Asisten I Setprov Kaltim di era Gubernur Awang Faroek Ishak, Aji Sayyid Fatur Rahman. Ia jarang menggunakan nama fam dalam faorum resmi kedinasan. Tetapi dalam acara-acara informal dan kekeluargaan ia adalah bin Yahya.

Beberapa tulisan akademis menyebut Datuk Tunggang Parangan berperan besar dalam menyebarkan Islam di Kutai Kaartanegara. Ia aktif berdakwah bersama Sultan Aji Dilanggar Gendung bergelar Meruhum Aji Mandaraya, yang memerintah menggantikan ayahnya, Aji Mahkota sejak tahun 1610-1635. Berkat mereka sebagian besar rakyat di pelosok negeri memeluk Islam (Lihat A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2012).

Warga di dusun-dusun hilir sungai seperti Jahitan Layar, Hulu Dusun, Sembaran, Binalu, Sambuyutan, dan Dondang berhasil diislamkan. Pun begitu di daerah hulu hingga Loa Bakung. Ke wilayah pantai hingga Kaniungan, Manubar, Sangkulirang dan Balikpapan. Negeri-negeri lain kemudian menjadi daerah taklukan Kerajaan Kutai. Dakwah terus berkembang  saat kerajaan dipegang Aji Panngeran Sinum Panji Mandepa. Masuk lagi ke pedalaman Sungai Mahakam, menaklukkan kerajaan hindu Martapura, hingga Muara Pahu.




MENUJU Desa Kutai Lama kini lebih mudah. Tak lagi harus menyeberangi sungai atau naik kapal. Sebuah jembatan besar telah dibangun untuk menghubungkan ke desa yang kini beroperasi sejumlah tambang batu bara.

Siapa sangka saya menginjakkan kaki di desa ini. Inilah desa yang pernah menjadi pusat pemerintahan sebuah kerajaan besar, Kutai Kartanegara.

Di sini berlimpah artefak tak ternilai -- mulai tembikar, uang kuno Tiongkok, keramik, dan jejak pemukiman masa lalu.

Nama Kutai disebut dalam kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca pada zaman Majapahit. Dalam kitab yang ditulis tahun 1365 itu disebut Tunyung Kute (Tanjung Kutai). Sejarawan CA Mees mengidentikkan Tunyung Kute dengan Kutai. Sejauh ini identifikasi itu diamini oleh banyak ahli sejarah.

Kutai Lama berada di tepi muara, anak Sungai Mahakam. Di sekelilingnya kini beroperasi tambang-tambang batubara dan jaringan pipa gas Pertamina EP itu. Dari atas jembatan, dengan mudah kita akan melihat ponton atau tongkang berlabuh diisi pasiran batu bata. Menggunung. Hitam pekat. Lalu sekitar 100 meter arii ujung jembatan akan terlihat tulisan“I Love KL – Kutai Lama”.

Ini menandakan bahwa kita sudah tiba di Kutai Lama.

Selepas penanda tulisan yang terletak di ketinggian bukit itu -- dibikin Pertamina EP -- kita akan masuk ruas jalan Aji Batara Dewa Agung Sakti.  Itu merupakan jalan menuju perkampungan desa, yang juga ke makam sang habib.

Menuju pemukiman ada pertigaan ke kanan menuju makam yang dikeramatkan warga. Itulah situs Kutai Lama.

Di astana ini, terdapat tiga makam. Yakni raja ke-6, Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Ia berjuluk Si Janggut Kawat, dan merupakan raja pertama yang beragama islam. Di ketinggian bukit ini pula, pada bangunan lain, dimakamkan pula penerusnya, raja ke-7, Aji Dilanggar. Dan pada lahan lebih rendah terdapat makam Habib Hasyim alias Tunggang Parangan.

Timbul pertanyaan, di mana makam raja-raja sebelumnya? Saya tidak menemukan keberadaannya. Konon, raja-raja sebelumnya belum masuk Islam. Tidak mengenal pekuburan. Sehingga jasad mereka tidak dikuburkan.

Pertanyaan lain, nama Kutai disebut dalam kitab Negarakertagama berupa Tunyung Kutai, lantas dari mana penambahan nama Kertanegara?

Kepala Pusat Arkeologi Nasional Bambang Sulistyanto memastikan Kertanegara bukankah nama Sansekerta. Malainkan nama Jawa. Namun para ahli belum sepakat dengan argumen ini. Sebab tak ada catatan historis bahwa Majapahit pernah menaklukan kerajaan Kutai.

"Memang (tidak pernah menaklukkan). Tetapi, interpretasi kita Nagarakretagama tahun 1365 adalah Kutai minta perlindungan Majapahit, bukan jajahan," kata Bambang dalam buku Ekspedisi Kudungga (2017) hal 123.

Selain ketiga makam itu, saya tidak menemukan jejak lain yang menandakan bahwa Kutai Lama selama empat abad pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Kutai Kartanegara. Masyarakat setempat menunjuk sebuah lahan kosong di pinggir jalan Aji Batara Dewa Agung Sakti yang sekarang berdiri pos beratribut sebuah organisasi masyarakat, Pemuda Pancasila.

"Di sini dulunya dapur istana," kata seorang tokoh warga.

Tak ada bangunan apa pun. Pun jejak peninggalan lainnya. Merupakan lahan kosong, sebagian berisi ilalang.

Habib merupakan sebutan hormat dan sayang kepada seseorang. Karena itu tak semua yang dipanggil habib adalah keturunan Nabi Muhammad.  Keturunan nabi lazim disebut Sayyid/Sayyidah. Ini untuk jalur Husein. Untuk jalur Hasan, kita menyebutnya Syarif/Syarifah.

Silsilah keturunan Nabi Muhammad tercatat rapi di Rabithah Alawiyah. Organisasi ini mencatat 151 fam segaris nabi yang masih ada di dunia, termasuk di Indonesia. Dari yang nama famnya biasa dikenal sampai yang kurang terdengar di telinga awam, seperti Al Sumaithon (Al Quthan) dan Al Tuwainah.

Masyarakat Indonesia lebih familiar dengan sejumlah nama yang kebetulan menjadi tokoh atau pernah jadi pejabat terkenal seperti Quraish Shihab, penulis buku, pernah menjadi Menteri Agama. Najwa Shihab adala salah satu putrinya. Seorang jurnalis dan pembaca acara Mata Najwa. Ia kini tampil setiap Rabu malam di Trans7. Habib Rizieq Shihab, KetuaFront Pembela Islam (FPIU) juga terkenal dan memiliki banyak sekali pengikut.

Ada diplomat handal cum Menteri Luar Negeri Ali Alatas.  Ada pula Habib Hasan Jafar Assegaf, pengasuh Majelis Taklim Nurul Musthofa. Habib Lutfhi bin Yahya di Pekalongan. Ada Habib Saggaf bin Muhammad Al Jufrie, nahkoda pusat pendidikan Al Khairaat di Palu. Ia lahir di Pekalongan dan kini memimpin perguruan yang berpusat di Jln SIS Al Jafrie Palu itu.

Habib Saggaf merupakan cucu dari pendiri Al Khairaat di Palu, Sayyid Idrus bin Salam Al Jufrie atau dikenal sebagai Guru Tua. Cucu lain bernama Dr Salim Segaf Al Jufrie. Kita mengenalnya sebagai  Menteri Sosial ke-26. Pernah menjadi Dura Besar untuk Arab Saudi dan Oman, dan kini merupakan petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Tentu masih banyak lagi yang lainnya.

Kalau ke Jakarta, saya kadang singgah di Condet. Ada sepupu istri di sana. Biasanya sekalian santap gule kambing dan nasi kebsah di kedai Sate Tegal Abu Salim, lalu pulang membawa pesanan berupa samboza dan roti maryam. Yang menarik, dari masuk hingga ujung jalan, sudah tercium aroma Arab – dari wanginya semerbak dari toko-toko parfum – hingga banyaknya keturunan Alawiyin yang  bermukim.

Ini seperti perkampungan Arab. Warga keturunan Arab memang gemar bermukim dalam satu kampung mereka tinggal. Seperti di Tuban, ada kampung Arab di Kutorejo. Ada masjid jami di dalamnya – dan di sisinya terdapat makam Sunan Bonang yang tidak pernah sepi didatangi para peziarah dengan bus-bus carteran dari luar kota. Di jalan SIS Al Jufrie Palu juga ada pusat pendidikan Al Khairaat, yang sekaligus menjadi warga Arab bermukim.

Saya tidak akan bercerita lebih jauh tentang Kutai Lama. Saya juga tidak bicara mendalam nasab Allawiyin. Saya hanya akan bilang bahwa tidak masalah kehilangan hape meski kehilangan kami nyaris bersamaan, dan di tempat yang sama pula. Mungkin sedikit lebih aneh karena setengah jam sebelumnya putri saya sempat kirim pesan melalui aplikasi WhatsApp ke saya dan terterima. Artinya saat itu hape hadiah omnya itu masih dalam genggamannya.

Ok no problem.

Hanya saja memang tak mudah. Masak sih hare gini hidup tanpa smartphone. Apa kata dunia? Untungnya saya tidak tahu apa kata dunia? Biasanya, kami mengetahui dunia berikut pendapat dan segala isinya melalui smartphone tersebut.

Menjadi lebih tak mudah karena saat ini adalah musim paceklik. Sementara kebutuhan anak-anak sedang meningkat. Yang tengah akan masuk kuliah. Yang kecil masuk tahun ajaran baru. Ba, bayar ini bayar itu. Ba, beli ini beli itu. Ba, makanan habis. Ba, listrik habis. Bah, bensin habis. Ba, seragam tidak muat lagi. Ba, datang orang nagih cicilan. Bah....

Sabar, sabar, ya, pintaku sama anak-anak. Nanti pasti ditunaikan.

Nanti? Alamak. Bagaimana bisa menunggu lagi? Ini kebutuhan primer, ba!

Saya bilang, no problem! 

Saya tersenyum getir. Bola-balik memicik kepala bagaimana cara membagi upah bulanan untuk ini-itu. Mengandalkan rumus Aljabar saja agaknya tidak akan pernah cukup untuk membaginya secara tepat. Mungkin saya perlu kalkulator super canggih. 

No problem. Saya percaya kalkulator super canggih itu adalah Al Razzaq. Bukankah selama ini juga begitu? Alhamdulilah, untung cuma hape yang hilang. ***

[achmad bintoro]

Photos credit:

1. Man in black shirt and gray denim pants sitting on gray paddid bench by Inzmam Khan - Pexel.com

2. Papan Situs Kutai Lama by situsbudaya.id