Sunday, June 13, 2021

00126, Namaku


BEN datang tergopoh saat menyadari dipanggil menghadap Manajer Personalia. Sebelumnya, dua kali dipanggil ia cuma tolah-toleh. Celingukan kiri-kanan. Turut mencarinya. 

"Orang itu pasti sudah tuli." Makinya daam hati.

Sejumlah pelamar lain yang menunggu giliran tak kalah gusarnya. Seorang cowok berkaca mata tebal, di sampingnya, duduk menggigil di ruang tunggu berpendingin amat rendah. Berkali-kali ia mengumpat dengan suara tertahan. Ia tampak tak sabar, berharap untuk segera dapat panggilan. Mungkin dengan begitu bisa cabut dari ruangan yang mirip bekas master control room televisi itu.

Sepintas pria berkemeja blue navy dengan bretel itu mirip Larry King. Mungkin "Larry King" pengidap urtikaria. Ah, entahlah. Nobody knows. Mestinya, dia dan yang lainnya bisa lebih rileks dan angkat topi terhadap Willis Carrier yang berjasa menemukan mesin pengatur udara itu. 

Bagi Ben, bisa berlama-lama di ruang ber-AC justru sebuah kemewahan. Serasa menikmati kembali kesejukan Kaliurang. Bedanya, di sana ia biasa menikmatinya dengan nyeruput wedang anget sambil bertafakur terhadap alam. Maka, ia akan mencoba memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin dengan bersabar menunggu. 

Kesehariannya selama ini sudah lebih dari cukup berjemur di terik matari. Terlalu biasa pula ia harus mengantre, di mana pun. 

"Sekali lagi, panggilan terakhir, nomor 00126!" 

Suara perempuan itu merdu. Tapi cara dia mengeja dan memainkan tekanan, semua mafhum bahwa ia tak sedang main-main. Ben terperanjat. Astaga! Bukankah itu dirinya?! Jadi, orang yang ia maki-maki di dalam hati tadi... Oh, tidak!!!

Seketika ia teringat identitas baru yang ia dapatkan begitu lolos tahapan tes tertulis, dua hari lalu. Juga di ruang ini, Lt 16 Gedung Apigon Jakarta. Terlambat menyadari sepersekian detik saja, mungkin akan lain jalan ceritanya. Wassalam, barangkali. 

Banyak orang cerita inilah tahapan seleksi yang sesungguhnya, setiap kali holding perusahaan terbesar di bidang informasi ini melakukan rekruitmen. Usahanya telah menggurita pesat di berbagai bidang dan negara. 

Kalau mau sekedar lolos pada ujian tertulis, itu gampang. "Jangankan kamu, anak fresh graduate yang lulus terseok-seok macam Togar pun pasti bisa," jelas Pardi saat mentraktir di warteg langganannya di Tebet Timur.

"Sarjana TMI, IPK 3,4 mau daftar posisi ini, Anda yakin?" tanya dia dengan mata menyelidik.

Manajer personalia itu seorang perempuan. Berkemeja putih dipadu blazer abu-abu, amat wel groomed. Semampai. Berhidung tinggi. Kacamata tipis. Ia tampak menawan. Tapi Ben tak melihatnya seperti itu. Di matanya, ia orang yang berkuasa, yang akan menentukan.

Ia tahu ini pertanyaan konyol. Personalia itu mungkin beranggapan kenormalan adalh sesuatu yang harus linear. Orang dengan pendidikan ilmu pasti nantinya harus bekerja dalam bidang yang pasti-pasti saja. Seorang teknik sipil maka bekerja pada bidang konstruksi. Seorang dokter kerjalah pada bidang kesehatan.

Tapi betapa banyak di antara kita yg bekerja tak sesuai ijasahnya. Barangkali hanya profesi dosen saja yang masih setia pada garis turunan ilmunya. Itu pun dosennnya pernah berpesan bersikaplah lebih adaftif. Ia mengingatkan spirit fisika dasar tentang gaya dan ketertarikan yang diampunya: Logic will get you from A to B - Imagination will take you everywhere. Nalar hanya akan membawa Anda dari A menuju B, namun imajinasi mampu membawamu ke manapun.

"Konyol memang," maki Ben lagi pada maajer di depannya. Tentu saja ia hanya berani di dalam hati.

Sekonyol dirinya yang tetap mendaftar sebagai analis informasi. Jauh sekali dengan apa yang ia pelajari selama ini di Jogja. Memang ia pernah ikut nebeng di Balairung. Saat itu diajak kawan sesama aktivis untuk mengikuti pelatihan menulis. Tapi hanya sampai di situ. Sedikit pun tidak tersirat keinginan untuk mencoba dunia ini, apalagi menekuninya. Tidak! Tidak...

[more...]

Air Hitam, 13 Juni 2021

#StoriesWeekly