Tuesday, June 15, 2021

Bangun Dulu Mangkrak Kemudian

Empat tahun setelah Stadion Utama Palaran, Samarinda menjadi saksi tempat kemeriahan upacara pembukaan PON XVII-2008,  The Economist menurunkan laporan berjudul: "Power to the people! No, wait ..."

The Economist adalah majalah  -- produk cetaknya berbentuk majalah di kertas art paper, meski selalu menyebut dirinya sebagai surat kabar -- berpengaruh yang berbasis di Inggris dengan tiras 1,4 juta eksemplar di seluruh dunia. Tak ada perpustakaan besar di Indonesia, dan hampir tidak seorang pun ekonom, para kepala negara, para pengambil kebijakan nasional, mapun para "think thank" di Jakarta, yang tak melangganinya.

Majalah yang dewan redaksinya disesaki para wartawan bergelar doktor itu menyatakan,  desentralisasi mengakibatkan pemborosan dana publik yang luar biasa. Ia menyebut Stadion Palaran sebagai salah satu contoh. Ada kebanggan yang membuncah dari warga Kaltim, juga gubernur, saat ribuan kembang api terlontar di udara dan menerangi langit di atas Palaran yang selama ini gulita. 

Tetapi, mengingat peristiwa olahraga yang jarang sekali terjadi di daerah ini, pembangunan stadion empat tingkat berkapasitas 50 ribu penonton pada lahan seluas 46 hektare, di tengah rakyat yang masih terbelakang dan terbelit kemiskinan itu, menurutnya, merupakan wujud proyek mercusuar yang mubazir.

"The governor himself takes pride in it. But a pitchside inspection tells a sadder story. A weary groundsman is attacking knee-high weeds with a flymo under the hot sun," tulis The Economist.

Pemprov Kaltim, tambahnya, harus merogoh dana Rp 5 triliun lebih untuk membayar kebanggaan tersebut. Sayangnya, kemampuan pemprov membangun stadion megah itu tak diikuti dengan kemampuan untuk memanfaatkannya secara maksimal.  Terakhir kali  pertandingan sepak bola besar dimainkan di sini pada Mei 2010.

Pada medio 2010 itu, Tribun juga pernah menurunkan laporan berjudul "Kemegahan Stadion Utama Palaran Tidak Tampak Lagi." Pemprov boleh dibilang lebih pandai membangun ketimbang memelihara. Rumput ilalang dibiarkan tumbuh subur di halaman luar dan dalam pagar. Beberapa bangunan pun retak tak terurus. Upacara pembukaan dan penutupan PON XVII-2008 silam, agaknya menjadi klimaks dari semua upaya dan daya yang dimiliki Pemprov. Begitu pesta usai, berakhir pula perhatian terhadapnya.

Menyaksikan bangunan itu sekarang, mungkin tak pernah tergambar dalam benak orang bahwa ini adalah bangunan stadion yang diklaim paling megah di Indonesia. Tingginya setara dengan bangunan gedung bertingkat 20 lantai.

Tiga tahun kemudian, kondisinya masih tak berubah. Stadion itu masih merana. Bahkan meski pengelola, UPTD Pengelola Komplek Stadion Utama Madya (PKSUM), sudah menggratiskannya. Karena itu tak berlebihan kalau Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo pun turut menyindir saat meresmikan Graha Pemuda di Samarinda, 28 April 2014.

"Jangan sampai gedung yang megah seperti ini (Graha Pemuda) tak maksimal penggunaannya. Lihat Stadion Palaran, sayang sekali. Mestinya bisa dikembangkan maksimal," kata Roy.


Kondisi Hotel Atlet di komplek Stadion Madya Sempaja nyaris setali tiga uang. Sudah satu tahun, sejak Gubernur Awang Faroek meneken nota kesepahaman dengan PT Bakrie Nirwana Semesta (BNS), 24 Juni 2013 lalu, hotel itu tidak kunjung diremajakan. Perusahaan milik kelompok Bakrie ini adalah pemenang tender pengelolaan hotel tersebut, dan rencananya akan berganti nama menjadi Grand Elty Atlet Hotel.

Hotel delapan lantai tersebut dibiarkan  kusam tidak terawat. Banyak perabot berserak dan terpreteli. Beberapa kamar juga tak lagi berpendingin udara, entah kemana AC-nya. Hanya satu kawanan yang kini betah bersarang di dalamnya, serangga. Pada penghujung Maret 2012 lalu, sekitar 600 penghuni kamar hotel ini dibuat geger ketika menemukan sejumlah serangga mirip tomcat. Petugas Dinkes dan Pertanian pun dikerahkan untuk mensterilkan hotel tersebut.

"Saya juga tak tahu persis apa masalahnya kok belum jalan. Itu kini (urusan) Pemprov," kata Ednindar S Samad, Kepala UPTD PKSUM saat itu.

***

Berapa banyak proyek di Kaltim yang sempat mangkrak kelanjutannya, tak terurus, dan pemanfataannya tidak maksimal? Ternyata bukan cuma Stadion Palaran, dan Hotel Atlet. 

Lihat Jembatan Mahakam Kota II Samarinda. Sudah di-groundbreaking namun hinga 10 tahun kemudian pun waktu itu bentangnya belum tersambung.  Lihat pula Jembatan Kembar (sebelah Jembatan Mahakam Samarinda) yang digadang-gadang bisa segera mengurai kemacetan, baru satu setengah pilon yang tertanam di sungai sudah tertunda kelanjutannya. Ia dikalahkan oleh proyek lain. 

Bandara Samarinda Baru (SBS) Sei Siring -- Bandara APT Pranoto -- pun begitu. Bertahun-tahun sempat terseok-seok, tak kelar ditangani Pemkot. Diambil alih Pemprov Kaltim, tidak lantas menjadi jaminan lebih cepat selesai. Sisi darat sudah rampung, sisi udaranya tak kunjung terbangun. 

Sampai-sampai sempat muncul gurauan, jangan-jangan saat sisi udaranya selesai, giliran bangunan darat yang harus dipermak lagi karena terlalu lama tidak difungsikan. Jika demikian, berapa lagi dana publik yang bakal mubazir? Untunglah keadaan berubah lebih baik setelah Gubernur Awang Farouk Ishak (saat itu) bertekad menyelesaikannya sendiri dengan APBD.

Kekhawatiran akan adanya proyek lain yang terbengkelai pun menular bagai virus. Jangan-jangan pula, gedung serbaguna (convention hall) yang megah di komplek Stadion Sempaja  bakal mengalami nasib serupa. Sudah selesai dikerjakan dengan dana Rp 256 miliar, tetapi tidak dapat difungsikan. 

"Perlu ratusan miliar lagi untuk bisa difungsikan. Masih perlu desain interior, mebeler, taman dan parkir," kata Muhammad  Taufik, Kepala Dinas PU Kaltim di era itu. Gedung itu sedianya akan diresmikan Presiden SBY bersama 28 proyek MP3EI lainnya di Kaltim, akhir Juni.

Sudah bertahun-tahun kita juga menyaksikan Terminal Angkot Bukit Pinang dan Termimal Barang di Seberang mangkrak. Di Kota Bangun, Kutai Kartanegara, kita melihat jembatan Ing Martadipura yang dibangun pada era Bupati Syaukani HR, tidak bisa difungsikan karena tiadanya jalan pendekat.

Ledekan publik sebagai jembatan Abunawas masih melekat hingga kini, sebagai satire terhadap proyek jembatan lain yang sudah tersambung namun belum dapat segera difungsikan karena belum adanya jalan pendekat. Sepertinya, virus Abunawas masih menular ke jembatan PPU.


Penyelesaian jalan tol Balikpapan-Samarinda juga sempat  jadi tanda tanya. Sudah habiskan sedikitnya Rp 2,5 triliun dari APBD Kaltim, tetapi, sekedar pondasi atau badan jalannya saja belum tersambung antarsegmen. Total kebutuhan dana yang pada awal proyek dikatakan "hanya" Rp 6,2 triliun, ternyata membengkak hingga dua kali lipat. Konsultan perencana mungkin salah menghitung. Agaknya, saat itu sedang terburu-buru sehingga tidak teliti melihat kondisi riil di lapangan.

Proyek sempat mangkrak, tertunda bertahun-tahun. Berbagai fasilitas tak bisa dimanfaatkan secara maksimal, menunjukkan lemahnya perencanaan dan lemahnya manajemen kontrol. Acapkali kita begitu bernafsu membangun proyek-proyek besar, tanpa melihat prioritas. Dengan total APBD terbesar kedua di Indonesia, kita sering bersikap seolah-olah memiliki dana tak terbatas. Padahal, kenyataannya terbatas.

Walikota Samarinda (era Syaharie Jaang) misalnya, tiba-tiba berpikiran ingin membangun jembatan mahakam yang kelima (tembus Jalan Awang Long) dengan anggaran Rp 716 miliar. Padahal, dua jembatan yang ada saja ketika itu belum tuntas. Jembatan Mahulu pun entah kenapa dibikin sempit, sehingga ketika trailer lewat kendaraan dari lawan arah harus menunggu. 

Rencana membangun Tepian Mahakam, yang diharap dapat melepaskan  dahaga masyarakat kota terhadap hadirnya obyek wisata yang membanggakan, masih sebatas konsep dan desain apik yang tersimpan di laci. Entah kapan baru dapat diwujudkan oleh walikota periode berikutnya?

Otonomi daerah, yang diikuti dengan melimpahnya dana besar ke Kaltim, rupanya membuat banyak elit menjadi "mabok". Lazimnya orang mabok, ia sulit fokus. Rencana dibuat tanpa perlu mengetahui apa yang diinginkan rakyat. Bermanfaat atau tidak nantinya bagi banyak orang, bisa difungsikan atau tidak, bukan lagi urusannya. Ia tidak memiliki sedikit pun rasa bersalah. Namanya juga mabok.

Tetapi, bagi yang elit yang berpikiran luas dan bervisi ke depan  -- dan itu masih ada -- akan beranggapan implementasi otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No 32/2004 itu masih setengah hati. Apa yang oleh pusat disebut bahwa dirinya telah menggelontorkan dana besar bak air terjun Niagara, sesungguhnya belumlah seberapa dibanding apa yang telah mereka ambil selama ini dari Kaltim. 

Belum lagi bicara mengenai konsep keadilan yang diterapkan pusat terhadap daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam yang masih harus mengejar ketertinggalannya. Maka, pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kaltim (PPU) seharusnya menyadarkan kita semua bahwa itu sekaligus untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik dan berkeadilan.*** 

Air Hitam, 15 Juni 2021