Friday, June 11, 2021

The Kalimantan Dream

SEPERTI umumnya para pendatang di daerah ini -- kampung Bentian Besar di hulu Sungai Lawa -- Joko Sudiran pun menaruh harapan tinggi terhadap lahan baru yang ia pijak. Lahan sepetak yang ia harapkan suatu saat bisa turut menjadi miliknya. 

Dari situlah ia berangan kelak akan mampu membangun gubuk untuk keluarga. Tempat ia bisa berhuma. Menanam ubi jalar, jagung, talas, dan sekedar sayuran. Tempat yang pasti tak akan lagi digusur² oleh aparat pemerintah.

Rumah orang tua di kampung sudah lama tak bersisa. 

Sebuah panggung besar depan rumah, dengan kelir warna warni, telah dirobohkan. Rata dengan tanah. Di usianya yang masih ingusan, ia cuma bisa menangis dn menangis saat menyaksikan puluhan petugas bersepatu laras berderap merobohkan rumah-rumah dan panggung yang biasa digunakan ayahnya untuk pentas ludruk. Tempat ayahnya sekaligus menghabiskan siang dengan menghisap rokok klobot sambil mempersiapkan script.

Pohon asem dan mahoni di kiri panggung tempat sejumlah temannya sering mengintip pentas tak luput dari sasaran. Gergaji mesin sebentar saja menumbangkannya. Berubah menjadi bangunan mentereng SDN Inpres, lengkap dengan lapangan bolanya. Lahan yang terletak persis di depan kuburan, pinggir jalan raya pantura itu memang milik pemerintah. Selama puluhan tahun orang-orang kampung begitu saja mematok dan membangun rumahnya.

*** 

TAK ada panggung, maka tak ada pentas. Tak ada lagi guyonan khas jula-juli "Cak Kenthus" -- yang biasa diperankan ayahnya saban malam. Hilang pula mata pencaharian. Sejak itulah ayahnya jadi pendiam. Sesekali terdengar parikan dan tembang macapat dalam kesendiriannya, hingga penyakit tua menggerogoti tubuh ayahnya. 

Joko sadar ini tak mudah. Bekal yang ia bawa dari kampung bisa jadi tak cukup. Itu pun jika tekad masih layak disebut sebagai modal. Tapi ia bertekad untuk mencapai impian itu. Seberat apa pun rintangan yang ia akan hadapi. Biarlah ini menjadi dendam yang mengakar dalam dirinya, "The Kalimantan dream".

***

ITU pulalah yang merasuki Joseph Donelly dan Shannon Christie saat nekat meninggalkan tanah kelahiran di Irlandia, menuju Oklahoma, jauh di padang savana benua AS. Wilayah yang kini berjuluk "city of legends" di selatan-tengah AS itu awalnya merupakan belantara sub-tropis, padang rumput luas yang oleh pemerintah setempat kemudian dipetak² dan dibuka peluang pada siapa pun untuk memilikinya secara gratis.

Amerika memang dikenal sebagai tempat pembauran etnis. Sejak imigran asal Inggris mendirikan koloni pertama di Jamestown, Virginia, pada tahun 1607, para imigran terus berdatangan. Baik dari kelompok aristokrat kaya maupun rakya kebanyakan yang papa. Periode puncaknya terjadi 1880-1920. Sebagian besar adalah orang Eropa Selatan dan Eropa Timur. Banyak pula bangsa kulit kuning dari China.

Gelombang awal imigran dari China berlabuh di San Fransisco. Kota ini berkembang menjadi pelabuhan masuk tidak resmi bagi imigran China yang melarikan diri dari kekacauan ekonomi politik pada abad pertengahan 1800-an.

Mereka berbondong berjuang untuk meraih harapan dan masa depan yang lebih baik. Luasnya wilayah koloni jadi salah satu alasan. Kesempatan masih terbuka. Terlebih pemerintah setempat memberikan peluang kepada imigran untuk mendapatkan petak-petak "land run" tahun 1893.

Joseph terngiang pesan mendiang ayahnya, sesaat sebelum meninggal, untuk tidak melepaskan mimpinya memiliki tanah sendiri suatu hari nanti. Sebagai petani miskin ia merasakan betul kesewenangan tuan tanah dan penderitaan karena tak memiliki tanah.

"Tanah adalah jiwa seorang manusia," kata bapaknya, sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir dalam "Far and Away".

Saat menjadi imigran, Joseph dan Shannon tidaklah berawal sebagai sepasang kekasih. Joseph punya dendam terhadap ayah Shanon. Rumah keluarganya dibakar habis oleh anak buah tuan tanah Daniel Christie, ayah Shannon, karena tiga bulan sewa yang belum terbayar. Joseph begitu marah, dan berencana membunuhnya. 

Berbekal amarah dan bedil tua, satu²nya harta keluarga yang tersisa, ia pun menuju kediaman Daniel. Tetapi, saat bedil dikokang justru melukai dirinya sendiri. Nora, istri Daniel, merawat lukanya dengan niat orang akan lebih mudah nanti menggantungnya. 

Shannon diam² datang membujuk. Ia ingin Joseph menemaninya berlayar naik kapal ke Amerika. Ia tahu Joseph juga mendambakan tanah. Sebuah guntingan iklan mengenai adanya lahan di benua yang "far and away'" akan diberikan gratis di sana, sangat mengobsesi dirinya. Terbayang olehnya rumah impian dengan landscap padang rumput hijau yang luas. 

Ia pikir dengan cara itu dirinya akan bisa terbebas dari tekanan kolot keluarga yang terus mendesaknya  menikah dengan pemuda (manajer ayahnya) angkuh yang tidak dicintainya.

***

MAU ke Kalimantan atau berlayar jauh mengelilingi lebih separuh Bumi di Amerika, para pendatang selalu membawa spirit yang kurang lebih sama: ingin sukses, masa depan lebih baik. Gambaran ini juga yang ditangkap Prof Dr Kutowijoyo. Dosen UGM Yogyakarta ini memotret 30 keluarga Indonesia yang hijrah di Amerika dalam American Dream.

Ia lakukan itu di sela-sela kesibukannya menyelesaikan studi Ph.D-nya di Universitas Colombia, AS. Ini merupakan sebuah universitas "Ivy League" di Manhattan, pusat kota New York. Kampusnya yang terletak di Morningside Heights selalu menarik para pelajar dan turis yang berkunjung ke NYC. Hanya sekitar 20 menit dari tempt-tempat wisata di kota Big Apple ini dengan naik subway seperti dari Times Square, Patung Liberty, dan Rockfeller.

Di depan anak tangga menuju Low Memorial Library -- sebuah gedung perpustakaan kampus pusat yang sangat besar, nyaman dan megah bergaya arsitektur neoklasik -- berdiri patung Alma Mater dewi Yunani-Romawi. Patung pahatan Daniel Chester ini dianggap identik dengan karakter dan semangat Universitas Colombia. Konon terdapat burung hantu, simbol pengetahuan dan pembelajaran, yang tersembunyi di lipatan jubah Alma Mater dekat kaki kirinya.

***

American Dream merupakan istilah yang merujuk pada cita-cita banyak peduduk dunia yang ingin hijrah an hidup lebih baik di Amerika. 

Banyak orang dari berbagai belahan Bumi dari Eropa, Afrika, Asia -- termasuk sebagian kecil dari Indonesia -- menjadikan benua ini sebagai tempat tinggal baru. Lahan pijakan baru bagi diri dan anak-cucu mereka. Senyum mereka akan langsung mengembang begitu kapal-kapal para imigran itu lepas jangkar di pelabuhan New York, seolah menandakan akan datangnya kebebasan. 

Tak berlebihan kalau "Lady Liberty" raksasa dibangun di Pulau Liberty, muara Sungai hudson di New York Harbor. Ini patung paling ikonik di NYC, bahkan Amerika. Sebagian orang beranggapan belum benar-benar ke Amerika kalau belum pernah mengijakkan kaki di Patung Liberty. Sama kalau Anda ke Singapura. Dulu, dianggap belum sah jika tidak berfoto di Patung Merlion. Kini patung ikonik itu telah dibongkar. Pemerintah Singapura menjadikannya jalan raya bagian dari proyek wisata Sensoryscape.yang menghubungkan Pulau Sentosa bagian selatan dan utara.

Apa yang aebenarnya begitu didambakan oleh para pendatang itu? 

Menurut Kuntowijoyo, Impian Amerika adalah kebebasan (belenggu menjadi kemerdekaan), mobilitas ekonomi (kemiskinan menjadi kelimpahruahan), mobilitas sosial (karyawan menjadi majikan) dan mobilitas budaya keterbelakangan menjadi kemajuan. 

"Dari sejumlah harapan orang itu yang tersisa barangkali hanya kebebasan (termasuk kebebasan untuk rusak, kafir, dan mati)," katanya.

Orang-orang datang ke New York City dengan cita-cita dan latar belakang berbeda. Namun masing-masing orang itu tertarik ddengan Amerika karena mereka punya "Impian Amerika". Maka, yang akan terjadi bisa saja berupa gegar budaya. 

Simak misalnya kisah Soleman. Ia orang Madura. Jangan lupa nulisnya es-ou-el-em-are-en. Ke mana pun pergi ia selalu bilang dirinya orang Madura dengan kebanggaan tertentu, sekali pun semua orang di NYC tahu dia dilahirkan di Surabaya. Soleman manikah dengan Mary, orang barat, bukan Maryam atau Marhamah. Tapi itulah jodoh. 

Cerita berpuncak saat prosesi penguburan Soleman. Anak-anaknya sempat bingung karena sang ayah berpesa ingin dikubur di Madura. Akhirnya datanglah anak laki-lakinya yang bertubuh gempal -- mungkin menurun dari ibunya, bekerja di kapal,dan tangan penuh tato.

"Stop that bullshit. Ayah akan dikubur di sini," kata anak itu.

Orang semua heran, bagaimana Soleman bisa punya anak sekasar itu. Ibunya sampaimemperingatkan, "Jangan kasar-kasar di depan keranda ayahmu!". Tapi anak itu menjawab, "Kata ayah yang tak boleh itu hanya menyekutukan Tuhan, membunuh, berzina, minum alkohol, dan makan babi."

"Ya, benar. Tapi jangan omong kasar di depan kita yang terhormat. Ayo minta maaf pada semua orang!"

"Ya, Mom. Ladies and gentlement I am sorry." Sambil berbisik dia bilang pada ibunya, "Kata ayah, semua orang itu sama. Tidak ada orang terhormat an tidak. Yang ada hanyalah orang yang percaya dan tidak percaya."

Ibunya bilang, "Ah, kau stubborn seperti ayahmu!" Kemudian perempuan tua itu menghapus  air matanya.(***)

Air Hitam, 11 Juni 2021