Thursday, August 20, 2020

Serba Virtual, Satu yang Ane Takutkan...

SOLEMAN, namanya. Sepagi itu sudah rapi dengan busana pesa'an. Tetangga pikir ia mau pergi kondangan manten. Tidak! Dari rumah ia langsung meluncur ke kantor biro di Tunjungan. Naik lift di lantai tiga kantornya. Sendiri. Para staf libur di Hari Kemerdekaan. Lagi pula sudah beberapa bulan ini ia terbiasa bekerja sendiri. Sebagian staf bekerja dari rumah. Sebagian lain dirumahkan.

Jelang pukul 10.00 ia berdiri. 

"Tinggal pakai odheng, lengkap dah penampilan ane. Tapi apa nanti kata oreng," katanya membatin seraya mematut diri depan cermin di atas wastafel.

Tapi tidak ia lakukan. Asli berdarah Madura, Soleman ingin menunjukkan kepada kolega-koleganya -- di kantor pusat maupun biro di seluruh Nusantara -- bahwa ia nasionalis. Adat ia tunjukkan sekedar untuk mengingatkan diri sendiri dari mana ia berasal. Ia menghargai keberagaman. Tinggal di kawasan tapal kuda, mengajarkan banyak hal kepadanya terutama pentingnya menerapkan konsep bhineka tunggal ika.

Karena itulah ia pilih bersongkok saja.

Soleman masih berdiri di ruang kerjanya. Sendiri. Bersongkok hitam. Mimik serius. Ia menatap tajam LCD 17" di atas meja. Sesaat kemudian ia betot tangan kanannya ke atas. Beruntung tak ada orang di sampingnya. Bisa terpental kena sikutannya. Membentuk sudut 90 derajat dan ditekuk 45 derajat. Jari-jari telapak tangannya ia tekan mendekati pelipis mata kanan. Menghadap ke bawah

Takzim ia menghormat merah putih. Dilihatnya, Paskibraka sedang mengibarkan bendera di Istana Negara, Jakarta. Mengerek tali perlahan. Konstan. Irama mars Indonesia Raya memberinya dorongan kuat untuk tetap bersikap sempurna. Bendera akhirnya tiba di pucuk tiang, di ketinggian 17,5 meter. Akan tetapi, pandangan Soleman tak berubah. Tetap saja condong ke bawah.

"Astaga, kekonyolan apa lagi sekarang yang kubuat?" katanya pada diri sendiri. Ini aneh. Tak masuk akal. 

Bibir tebalnya ia lipat-lipat menahan tawa. Tapi ia yakinkan diri bahwa proses kekonyolan ini memang harus ia jalani. Ketika semua orang bertindak sama konyol, bukankah tak ada yang disebut kekonyolan. Inilah kewajaran baru. Kenormalan baru. Beda tipis konyol dan cerdas. Kadang diperlukan kecerdasan untuk bisa menangkap pesan dalam sebuah kekonyolan.

Lagi pula ia belum siap dinyinyirin sebagai orang yang tidak tahu cara berterimakasih terhadap the founding fathers. Tak memiliki nasionalisme. Sebisa mungkin ia mempertahankan sikap sempurna dan tidak mringis.

Terbayang muka Edo, teman di WGA yang lincah banget cerewetnya. Selincah 10 jarinya (plus satu yang tak kasat mata) yang sigap menari di hape. Apa pun bisa dijadikan bahan untuk nyinyir. Nyinyir tak berkesudahan hingga larut malam. Atau Dodi, teman satu grup, bermuka dua, yang ia tahu masih sangat ingin mengincar kursinya.

"Eh, lihat tuh ulah Soleman. Dasar tak punya jiwa nasionalisme. Pringas-pringis pada bendera merah putih. Tak berjuang pakai bambu runcing, masak sekedar hormat 3-5 menit saja tak mau." Soleman takut membayangkan omongan orang-orang. Amit-amit. Meski itu cuma di depan kamera hape. Virtual.

Begitulah, enam bulan pandemi Covid-19 telah memaksa mengubah kebiasaan Soleman. Membatasi gerak, kontak dan jarak dalam berinteraksi. Semua harus mengacu dan menyesuaikan dengan protokol kesehatan: jagak jarak, cuci tangan dengan sabun, dan bermasker. Kerumunan dilarang. Ngrumpi boleh, tapi lakukan secara virtual. PSBB diberlakukan.

"Jalan santai aja PSBB," gereget seorang netizen dalam twitternya dengan emoji sebel. 

Ramai orang bereaksi. PSBB diplesetkan menjadi Pasien Sakit Banyak Banget. Netizen lain menuliskan Peraturan Suka Bikin Bingung. Atau Pelatih Supaya Bisa Bersabar. Produser reality show Helmy Yahya mengatakan perlu pemahaman konsep yang seragam terhadap istilah ini. Kalau ada Pembatasan Sosial Berskala Besar, lalu pembatasan yang berskala kecil seperti apa?

Apa pun itu, kasusnya kini cenderung bertambah. Tiap hari ada saja yang mati. Wajah jubir di matanya telah berubah menjadi warning kematian. Setiap kali nongol di muka corong, setiap itu pula bayang kematian muncul. Ia seperti tangan kanan sang Izrail. Menggengam segepok daftar nama yang terpapar dan meninggal. Pun siapa yang mendapat stempel kesembuhan. Dingin. Tanpa ekspresi. 

Bagi jubir mungkin itu angka statistik. Saking banyaknya korban. Ketika kematian demi kematian tiba, maka nama menjadi tak lagi penting. Seribu atau 2000 orang mati itu statistik. Satu orang meninggal  barulah itu tragedi. Beribu yang meninggal, duka pun akhirnya enggan hinggap. Air mata sudah kering. Tukang gali kubur pun akan merapelkan doa.

Soleman kaget dengan semua perubahan ini. Ia tak rela semua divirtualkan. Ada sesuatu yang hilang. Terenggut paksa dari budayanya. Dan entah apakah itu bisa ia raih kembali. Beberapa tahun lalu, saat korporatenya menyosialisasikan kesiapan mengadapi Revolusi Industri 4.0, sebenarnya ia belum terlalu siap. Tak masalah pikirnya, toh masih ada staf-staf milenial yang melek teknologi. Tak apa orang lain mengejeknya masih hidup di era mesin uap, revolusi indutri generasi pertama.

Sekarang, belum sepenuhnya ia menguasai cara jitu menghadapi 4.0 -- yang dibarengi dengan era disrupsi -- dirinya dikejutkan oleh munculnya Society 5.0. Perubahan itu menurutnya lebih cepat dari yang pernah ia bayangkan. Non-linear. Lihat, semua maunya divirtualkan. Pandemi memberikan andil besar bagi percepatan Society 5.0 ini.

"Ben, ente tahu ane. Ane asli Madura. Bukan orang Jepang yang sudah terbiasa berdampingan dengan robot yang dibedaki lalu mereka jadikan kabula (pembantu). Juragannya pun bersikap kayak robot. Tak alami. Semua berbasis internet on things, artificial intelligence, big data, atau apalah namanya yang mereka bikin," kata Soleman kepadaku.

"Kebayang nggak kalau semua divirtualkan?"sambungnya. "Maka ane, ente dan semua orang kita tak memerlukan untuk tatap muka. Tak ada lagi alami. Tak bisa lagi ane rasakan sentuhan. Kelembutan tangan si Mince. Ya, mungkin tak masalah bagi ente yang sukanya skype dan seharian main hape."

"Tapi ada satu hal yang ane takutkan dengan semua ini," katanya. 

Lewat sambungan skype, aku bisa melihat jelas dahi dan alis matanya yang tersangkat. Bola matanya melotot dan membesar. Diikuti gerak bibir tertahan, memperlihatkan giginya yang saling berhimpit. Penasaran aku melihat perubahan mimik itu.

"Apa?" tanyaku memburu.

"Satu..."

"Ya, lekas apa?"

"Tak ada lagi orang mau ngajak kondangan!" 

Grrrr... Tawa kami pecah. Ambyar. Menertawakan diri sendiri. Menertawakan kekonyolan kami di tengah pandemi. 

Air Hitam, 1 Muharram 1442 Hijriah 

#BelajarMenulis #MelawanPikun

Saturday, August 15, 2020

Menulis Itu Sulit Bagiku, Sangat


"WRITING isn't or shouldn't be. I wanna do it but you know this one drives a lot of people crazy, including me. Why is it so hard for me?"


Boom-nam tidak sedang bercanda. Matanya lurus menatap mentor kami, seorang jurnalis kawakan cum akademisi di Arizona.

Sore itu kami duduk melingkar di kursi lipat kuliah. Seperti biasa, "Mr K" -- begitu sejawat dan mahasiswa memanggilnya -- datang tepat waktu. Berada di antara kami dengan sejumlah buku. Dua buku ia taruh di kursi kosong sebelahnya. Satu persatu buku itu kami lahap. Di antara yang menurutku menarik adalah buku setebal 256 halaman terbitan Picador berjudul "Voice from Chernobyl" karya Svetlana Alexievich. Lainnya merupakan buku-buku normatif mengenai creative writing, getting news dan literrary journalism.

Pertanyaan di penghujung sesi itu mengusik perhatianku. Juga yang lain. Serempak kami mengarahkan pandangan kepadanya. Ia lelaki muda bermata sipit asal Thailand. Boom orang paling riang di antara kami. Selalu menyapa lebih dulu. Setidaknya dengan senyum. Doyan berceloteh banyak hal di sela kegiatan fellowship meski dengan aksen yang terdengar unik.  Sufiks "l" misalnya, terdengar ia ucapkan "n"atau "s" menjadi seperti "t". Kata "Central" terdengar "centrat", "must" berubah jadi "mat". 

Kami pun akhirnya memaklumi kalau ia masih sering keceplosan logat orang sebangsanya yang sulit mengucapkan beberapa akhiran huruf. Tidak apa. Yang penting kami mengerti. Toh aku sendiri dalam bertutur masih sering dipengaruhi bahasa ibu. "Jonglish" (Jowo English), orang bilang. Untungnya mereka jarang mendengar "kesalahanku" dalam pronunciation. Ya, semata karena aku paling pendiam. Tidak bicara kalau merasa tak perlu.

Berkemeja flannel dengan jeans berbahan ala Virginia cloth, ia terlihat western. Lebih western dari Mr K sendiri yang membungkus badannya dengan kemeja slimming berdasi warna maroon. Itulah Boom. Apa adanya. Begitu pun saat bertanya.

Jamak kami mendengar keluhan semacam itu. Aku pun sebenarnya mengalami kesulitan yang sama. Parahnya lagi hingga kini. Di ujung masa pengabdianku. Setelah hampir tiga dekade bekerja di dunia tulis menulis. Sekilas ini tampak naif. Ada wartawan, setia dengan pekerjaannya -- masih kesulitan menulis. Tak tahu mau menulis apa, dan sering bergulat pada kendala teknis bagaimana memulainya.

That's a fact!

Akan tetapi tak pernah aku menduga pertanyaan konyol itu akan terlontar di dalam ruang kelas ini. Di dalam negara yang suasana literarry journalism-nya sudah sangat berkembang, tempat yang jauhya lebih dari separuh keliling Bumi. Aku bersama 18 orang lainnya datang dari negara-negara berbeda di kawasan Asia-Pasifik. Budaya beda. Bahasa beda. Adab pun tak sama. Akan tetapi, kami disatukan oleh beberapa kesamaan: minat, usia muda, dan lagi senang-senangnya mencari pengalaman. Tentu sama-sama berminat untuk menulis. 

Bagi sebagian besar kami, kesulitan itu sudah terlewati. Ada banyak isu lain yang menurut kami lebih penting untuk dibahas. Seperti bagaimana menggali isu? Bagaimana mempertahankan plot narasi panjang tetap menarik? Atau bagaimana menempatkan diri di tengah isu keberagaman, kemiskinan, gender, kemanusiaan, election, dan energi?

Berungtungnya kami, Mr K orang yang friendly. Ia terbiasa menghadapi orang dengan beragam latar dan tingkat kesulitan. Ia tersenyum, dan dengan antusias menjawab pertanyaan Boom. Ia kupas lagi di balik lahirnya Hiroshima karya John Hersey dan sederet karya besar lain. Ia jadikan pertanyaan itu bahan diskusi tambahan menarik dengan melibatkan keaktifan kami semua.

"Masih juga merasa sulit? Put the butt in chair. Hands on keyboard. Press keys," selorohnya, mencoba meyakinkan.

Diajaknya kami membaca Hiroshima untuk membangun dan menjaga narasi panjang. Kami bahas cara Hersey menerapkan teknik "show, do not tell". Cara dia menggunakan alat-alat yang lazim dipakai dalam novel. Bagaimana ia menentukan point of view. Menggambarkan kecemasan warga Hiroshima sesaat sebelum bom dijatuhkan di kota mereka. 

Dan bagaimana ia menerjemahkan kengerian bom atom itu ke dalam bahasa masyarakat awam Amerika saat "little boy" dilepaskan bak mainan layang-layang raksasa seberat empat ton dari perut  B-29 Enola Gay. Gravitasinya menyedot kuat. Menghujam bumi. Hiroshima luluh lantak. Sebuah kengerian yang yang oleh militer dan pemerintah Amerika memang sengaja disamarkan.

"Pagi itu Pendeta Tanimoto bangun jam lima. Seperti biasa, ia sendirian di dalam gereja kecilnya. Sejak beberapa hari lalu, istri dan bayinya yang berusia satu tahun, diungsikan ke rumah seorang sejawat di Ushida. Tanimoto sudah yakin suatu waktu Hiroshima bakal dijatuhi atom. Dari semua kota penting di Jepang waktu itu, cuma dua yang belum disambangi 8-29 San alias Pesawat B-29: Kyoto dan Hiroshima.

Tanimoto hari itu sedang menolong Tuan Matsuo memindahkan barang-barang. Sirine yang menandai adanya pesawat mendekati Hiroshima nyaring terdengar. Kedua orang itu tak menggubris, mereka sudah terbiasa dengan bunyi itu. Mereka mendorong gerobak ke arah rumah Matsuo yang letaknya agak tinggi. Mereka kelelahan. Peluh berjatuhan dari tubuh keduanya. Gerobak berhasil masuk pekarangan.

Rumah ini galibnya rumah orang Jepang kebanyakan. Bangunannya memiliki kerangka dan dinding dari kayu. Fungsinya ialah menopang atap genting yang berat. Di seberangnya ada taman batu. Suara pesawat tidak terdengar. Sunyi saja yang terasa.

Tiba-tiba kilatan cahanya yang besar melintasi langit. Sinarnya bak cahaya matahari. Pendeta Tanimoto ingat benar kalau cahaya itu bergerak dari timur ke barat, dari kota menuju perbukitan. Insting yang membuat mereka bertindak pascaledakan. Matsuo berlari menaiki tangga. Ia meloncat ke dalam. Ia kubur dirinya di antara gulungan alas tidur."

Laporan panjang itu dimuat utuh dalam majalah mingguan The New Yorker, 31 Agustus 1946. Setahun setelah "little boy" dijatuhkan. Sekitar 30.000 kata. Benar-benar utuh dalam 68 halaman sampai-sampai editor eksekutif  The New Yorker harus merelakan menunda tulisan-tulisan lainnya.Ia membaginya dalam empat bab. Pertama, A Noiseless Flash. Kedua, The Fire. Ketiga, Details are being Investigated, dan keempat adalah Panic Grass and Fevefew.

Laporan itu seketika mengguncang dunia. Membuka semuaapa yang selama ini coba ditutupi dengan propaganda pemerintah mengenai keberhasilan bom atom mengakhiri Perang Dunia. Laporan mengenai penderitaan para korban akibat radiasi mulai meluas ke dunia internasional. Seorang jenderal bahkan mengatakan dengan sarkas kepada Kongres bahwa mati karena radiasi, pada kenyataannya, adalah “a very pleasant way to die.”

Seluruh kedai korn habis terjual. Albert Einstein yang semulaingin memborong seribu eksemplar majalah tersebut, harus gigit jari.Dalam dua hari,terbitan bekasnya saja melonjakjadi 18 dolar di pelelangan. Einstein adalah ilmuwan di balik lahirnya "little boy". Penemu teori relativitas itu amat meyakini bahwa pembuatan bom atom dengan menggunakan rumus ciptaannya E=MC2 mirip dengan menembak burung dalam gelap. Artinya, jumlah burung yang berhasil ditembak pasti sedikit. Akan tetapi, pertemuannya dengan Leo Szilard pada 1934 yang membawa gagasan soal chain reacton, oleh Einstein kemudian ia kawinkan dengan rumusnya. Hasilnya sebuah kekuatan raksasa nuklir.

Lesley MM Blume dalam buku terbarunya: “Fallout: The Hiroshima Cover-Up dan Reporter Who Revealed It" menyebut kisah Hersey merupaka peringatan pertama yang benar-benar efektif dan diperhatikan dunia internasional tentang ancaman eksistensial yang ditimbulkan senjata nuklir terhadap peradaban.

"Sejak itu, telah membantu memotivasi generasi aktivis dan pemimpin untuk bekerja mencegah perang nuklir, yang kemungkinan akan mengakhiri eksperimen singkat manusia di bumi."

Menurut Mr K, walaupun Hiroshima dikategirikan ke dalam laporan literary journalism -- dan menjadi tonggak untuk bagaimana melakukan liputan secara memikat dan mendalam -- kenyataannya Hersey tak banyak menggunakan alat-alat sastra. Cenderung sebagai laporan kronologis yang panjang saja tapi tetap memikat. Yang menarik adalah kemampuan Hersey mewawancarai beberapa tokoh (enam orang korban yang masih hidup) guna menggambarkan kengerian bom atom.

Tim panelis jurnalis dan kritikus menempatkannya di peringkat pertama dalam daftar 100 karya jurnalisme teratas abad 20, dua slot di atas laporan Bob Woddward dan Carl Bernstein mengenai skandal korupsi-politik "Watergate" di Washington Post yang membuat copotnya jabatan Presiden Richard M Nixon 1972-1973. 

Dalam artikel berjudul "The US hid Hiroshima Human Suffering. Then John Hersey Went to Japan" di Washington Post, Michael S Rosenwald menyebut Hersey menulis laporan itu saat masih muda, 32 tahun. Dia baru saja memenangkan Pulitzer (1945) untuk novel mengenai pendidikan AS di sebuah pedesaan kecil di Italia "A Bell for Adano"(1944). 

Kami juga diajak melihat peta persoalan lebih utuh. Ia suruh kami membaca "Escaping the Rosurce Course" untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya alam di negara-negara berkembang. Kenapa negara-negara kaya sumberdaya alam di Afrika seperti Kongo, Angola, dan Sudan terus diguncang perang saudara. Nigeria menderita wabah korupsi. Sebaliknya, negara-negara yang minim sumberdaya alam dan sama melaratya sepertiGhana dan Burkina Faso jutru bisa hidup damai dan mampu menerapkan pemerintahan demokrasi. 

Diingatkan kami akan fenomena "Dutch Disease" yang bukan tidak mungkin bisa berulang di negara-negara kami. Istilah ini diperkenalkan majalah The Economist pada tahun 1977 untuk menggambarkan melemahnya sektor manufaktur di Belanda, setelah ditemukan cadangan gas di Slochteren, Provinsi Groningen tahun 1959. Lebih dari 300 miliar meter kubik. Terbesar di Eropa, dan kedua di dunia saat itu. Tapi yang kemudian terjadi adalah boomingnya sektor ekstraktif di ujung utara negeri itu ternyata berakibat pada rontoknya sektor lain seperti pertanian dan manufaktur.

Buku itu disunting Joseph E Stligish dkk, guru besar Colombia University New York. Ia pernah meraih Nobel Prize atas kajiannya tentang analisis pasar yang memiliki informasi asimetris. Salah satu bukunya yang terkenal, Globalization and Its Discontens telah terjual lebih dari 1 juta buku di seluruh dunia.

(Bersambung ....)

Air Hitam, 15 Agustus 2020

Tuesday, August 4, 2020

Aritmatika Cinta

CINTA bukan matematika, meski ia bisa ditumbuhkan secara matematis. Bahwa sesuatu yang digelotorkan lebih besar dan terus menerus pada akhirnya akan menimbulkan gaya tarik. Ini selaras  dengan artmatika dasar yang mendukung sesuatu yang lebih besar.

Air Hitam, 4 Agustus 2020

#MisteriCinta