Sunday, January 31, 2021

Suara dari Talisayan: Gempa Itu...

Sebuah gempa terjadi di wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Jumat (29/1/2021) pukul 00.42 WIB. Meski terasa "lembut"-- dengan kekuatan hanya 4,1 skala richter dan berada di kedalaman 10 km -- bagi saya itu cukup mengagetkan.

Siang harinya, khotib menyinggung fenomena itu dalam kotbah jumatnya di Masjid At Taqarrub RT 20 Air Hitam Samarinda. Ia juga menunjukkan keterkejutannya. Ia melihatnya -- seraya menyitir beberapa peristiwa besar lain di Tanah Air yang menyisakan duka -- sebagai teguran cum ujian.

Lain halnya saya. Saya kaget karena itu adalah gempa pertama yang terjadi di Berau.  Sebenarnya, pada 21 Desember 2015 silam pukul 01.47 WIB, BMKG Pusat di Jakarta juga pernah mencatat adanya gempa di bagian utaranya, Tarakan. Magnitudonya bahkan lebih besar, 6,1 SR. Tetapi, lagi-lagi, karena berada jauh di kedalaman laut 10 km, maka masyarakat menganggapnya angin lalu saja.

Dua fenomena itu, terlebih yang terjadi terakhir di Berau, seketika mengingatkan saya pada kebijakan dan berbagai pernyataan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak (2008-2013 dan 2013-2018). Saya kembali teringat dengan tekadnya yang menggebu untuk membangun PLTN Talisayan. Daerah ini terletak di selatan laut, sekitar 5 jam dari Tanjung Redeb, ibukota Berau.

Dulu, saya menulis catatan kecil berjudul "Suara dari Talisayan". Catatan itu memang terprovokasi oleh ambisi Awang Faroek untuk membangun PLTN. Caranya, sesuai rekomendasi ahli BATAN, dengan membangun pusat listrik tenaga nuklir. Awalnya akan dicoba 50 MW. Begitu studi kelayakan selesai, maka akan langsung ground breaking tahun 2017 dengan funding dari luar (China).  

Tahun-tahun berikutnya akan dikembangkan lagi hingga 1000 MW yang pada akhirnya akan diharapkan bisa mengatasi byar pet listrik di seantero provinsi. Niatnya mulia. Awang Faroek yang kini anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Nasdem ingin segera menyudahi kesulitan menahun yang dialami rakyatnya. 

Sampai pada posisi itu, orang masih banyak mengamini. Akan tetapi argumen utama yang disodorokan bahwa Talisayan, Berau dan secara umum Kaltim aman dari gempa sehingga aman untuk jadi lokasi PLTN seketika memicu kontroversi baru. Pegiat ligkungan dan masyarakat sipil lainnya bersatu untuk menolak rencana tersebut.


Berikut catatan kecil saya waktu itu yang dimuat di TribunKaltim.co, Rabu (14/10/2015): 

Suara dari Talisayan

Judul itu saya adopsi dari sebuah buku nonfiksi "Voice from Chernobyl"  karya jurnalis kawakan asal Belarus, Svetlana Alexievich (67). Aslinya ditulis dalam bahasa Rusia: Tchernobylskaia, Molitva.

Terbit kali pertama tahun 1997, berkat perestroika. Namun baru diketahui dunia delapan tahun kemudian, setelah dialihbahasakan oleh Keith Gessen.

Membaca kembali buku itu saya segera teringat Talisayan, sebuah kampung di pesisir timur Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang telah dipilih sebagai tempat pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Gubernur Awang Faroek Ishak merasa haqul yakin PLTN akan aman di sana karena jauh dari jalur gempa.

Loh, kok seakan-akan ancaman itu datang hanya dari bencana alam. Kita mungkin lupa bahwa kecelakaan di Reaktor Chernobyl Unit 4 lebih karena faktor manusia. Bukan bencana alam. Dalam Seminar Nasional Keselamatan Nuklir 2009 di ITB Bandung, terungkap adanya pelanggaran prosedur kerja, keahlian operator yang  kurang memadai, dan rendahnya budaya  keselamatan di lingkungan kerja.

Awang Faroek juga mengklaim masyarakat setempat sudah setuju.

"Mulai kepala desa, warga, sampai Bupati (Berau)-nya datang memberikan persetujuan," ujarnya. "Tinggal Pak Jokowi, jika Presiden setuju maka kita langsung mulai."

Sesimpel itu?

"Suara dari Talisayan" dan "Voice from Chernobyl" memiliki kesamaan. Sama-sama bicara nuklir. Yang satu tentang rencana akan membangun energi nuklir agar menjadi solusi bagi ketersediaan listrik di Kaltim yang selama ini byar-pet.

Sedang buku Alexie bercerita mengenai kengerian dan derita yang dialami warga setempat akibat meledaknya reaktor Chernobyl, 26 April 1986.

Memang sudah banyak tulisan yang mengulas Chernobyl. Yang menarik, Alexie menggunakan genre baru dalam penulisan jurnalisme -- lazim disebut sebagai jurnalisme sastra -- untuk merangkai fakta demi fakta berikut suara-suara para korban ledakan nuklir itu. Kita layaknya sedang menikmati sebuah nobel: ada tokoh, konflik, plot, dialog, dan klimaks.

Simaklah bagaimana piawainya Alexie mengawali bukunya mengenai kengerian bencana nuklir yang disebut-sebut paling parah dalam sejarah itu. Begitu menyentuh. Ia gunakan teknik sudut pandang orang pertama untuk menguras apa yang dirasakan para korban.

Narasinya ia mulai dari kerisauan seorang istri dari pasangan muda yang bingung dan panik mendengar ledakan keras dari mes pekerja pada pukul 01.23. Ia belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia makin cemas suaminya belum juga kembali setelah beberapa jam.

Suaminya seorang anggota regu pemadam, yang dini hari itu langsung meluncur ke sumber ledakan di reaktor 4 Chernobyl.

Satu jam berlalu tanpa kabar. Dua, tiga jam menunggu seperti setahun, hingga akhirnya kabar itu baru ia terima pukul 07.45. Suaminya telah dilarikan dan diisolasi di rumah sakit!

Dalam terjemahan bebas kurang lebih begini:

"Saya tidak tahu harus bicara mengenai apa -- tentang kematian atau sekitar cinta? Atau apakah mereka sama? Mana yang harus saya bicarakan? Kami pengantin baru. Kami masih selalu berjalan dengan berpegangan tangan, bahkan jika sekedar ke toko. Lalu saya akan mengatakan kepadanya: Aku mencintaimu..."

Sayang sekali, saya belum sempat menginjakkan kembali kaki ke Talisayan untuk menggali suara warga. Info nuklir macam apa yang sebenarnya disampaikan kepada warga Talisayan hingga dengan mudah menyetujui pembangunan PLTN di kampung mereka? Apakah warga sudah mendapat informasi yang berimbang?

Boleh jadi pandangan warga akan berbeda saat mereka membaca buku Alexie itu. Atau saat mereka membaca "Hiroshima" karya John Hersey, yang pertama kali terbit di The New Yorker pada Agustus 1946.

Masyarakat Talisayan mungkin juga belum sempat menyaksikan pameran foto bertajuk '25 Tahun Setelah Chernobyl: 'Dampak Berkelanjutan Petaka Nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan' yang pernah digelar di ITB Bandung, empat tahun lalu.

Sebuah foto menampilkan gambar gadis, Ainagul. Berumur enam tahun namun memiliki tubuh anak usia tiga tahun. Caption foto menyebut pertumbuhannya terhenti akibat zat radioaktif Chernobyl. Kedua orang tuanya malu akan kondisi Ainagul, mereka mengeluarkannya dari sekolah.

Gambar lainnya, dua janin dengan kepala saling menempel dengan kerusakan pada bagian tengah tubuh. 'Di kawasan terkontaminasi ini, radiasi telah mengakibatkan mutasi genetis dan berbagai cacat lahir. Ketakutan terhadap penyakit-penyakit bawaan telah mengakibatkan banyaknya aborsi di wilayah ini.''

Sebagai perbandingan, berulangkali dan bertahun-tahun pemerintah pernah melakukan sosialisasi kepada warga Jepara ketika akan membangun PLTN di semenanjung Muria. Hasilnya nihil. Sampai detik ini sikap mereka tetap sama: menolak!

Karena itu patutlah kita acungi jempol kepada gubernur dan timnya yang telah mampu meyakinkan warganya. Tentu jika klaim itu benar.

Pro-kontra adalah kelaziman dalam demokrasi. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan informasi yang terbuka, dan sejujur-jujurnya.

Saya tak bermaksud mengurangi apresiasi terhadap para ilmuwan nuklir yang menjadikan nuklir sebagai pilihan utama untuk mengatasi kebutuhan pasokan listrik.  Tetapi, kecelakaan Chernobyl membuat kita patut bertanya kembali: sudahkah kita benar-benar siap?

Mungkin bukan hanya sekedar soal alih-teknologinya. Bukan cuma mengenai insyinyur-insinyur nuklir yang telah menimba ilmu di mancanegara. Melainkan juga sumberdaya manusia nuklir yang kompeten secara keseluruhan. Disiplinnya, standar dan budaya keselamatannya.

Adanya penolakan dan sikap skeptis sebagian masyarakat terhadap PLTN haruslah dilihat sebagai filter supaya kita benar-benar siap, dengan belajar dari pengalaman dan kegagalan negeri-negeri maju.

Ya, memang ini bikin ribet. Tak apa. Adolf Hitler dengan kemampuan orasinya yang luar biasa pun barangkali tidak akan pernah merasa ribet mewujudkan mimpinya sebagai penguasa dunia. kalau saja tidak direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan kritis sebagian warganya sendiri.

Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Dan aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah, katanya. []





Saturday, January 23, 2021

Konyol

PERNAH aku berangan-angan konyol. Teramat konyol. Lebih parah derajatnya dari kebodohan.

Tampil keren di panggung pesta perpisahan sekolah. Menyabet stand mic lalu membawakan "Still Loving You". Suaraku merdu, kata teman sebangku. 

Tentu akan mampu menghipnotis seisi gedung. Guru, ratusan kawan, para adik kelas. Wakar hingga Bulek Minten, penjaga kantin yang suka bawel, pun rela berhimpit. Berdesak agar bisa mengintip dari balik lubang kunci yang sempit. Mungkin ia penasaran. Tak pernah mengira bahwa murid pendiam-hitam-dekil dengan tampang morat-marit plus ndeso yang dia bawelin saban hari ini ternyata seorang penyanyi. 

Beratus pasang tangan melambai-lambai. Kiri-kanan berirama.

"To win back your love again. I will be there. I will be there..." 

Wow! Amazing! Lihat, mereka bernyanyi. Kompak terikut arus suaraku. Mereka benar-benar tersihir. Mungkin serasa menyaksikan performance seorang Klaus Meine.  

Seorang gadis cantik tiba-tiba muncul. Perlahan menyibak kerumunan. Tersenyum manis. Spotlight tak berkedip. Terus mengiring setiap langkahnya. Seperti gak mau kehilangan momen langka. Ia tersenyum manis. Meng-close up wajahnya. Hidung mancung dengan alis melengkung tinggi. Matanya besar indah bak almond. 

Riuh rendah tepuk tangan makin bergema. Bersahutan dengan suitan-suitan panjang.

***

MALAM perpisahan pun tiba. Ratusan wajah meriung. Masing-masing tampil dan menebar senyum terbaiknya. Senyum pepsodent. 

Pak Lardi, guru olahraga paling kolot nan galak di sekolah pun seolah sengaja lupa karakter aslinya. Senyumnya mengembang. Ia tampak dandy. Apalagi dengan bu Marta di sampingnya. Entah bagaimana bermula. Bu Marta guru muda tercantik dan favorit di sekolah. Ia fresh graduate dari sebuah kampus besar di Jogja. Menggantikan guru bahasa Inggris lama yang memasuki masa pansiun. 

Aku termasuk yang paling demen melihatnya saat mangajar. Semua yang diucapkan jadi mudah nempel dalam ingatan. Gaya dan suaranya mendorong hormon epinefrin dalam kelenjar otakku. Mungkin ini yang dimaksud Freud sebagai sublimasi dasar. 

Pernah aku nekat berbaur di kelas sebelah, duduk di bangku deret belakang. Hanya agar aku bisa lebih paham belajar bahasa Inggris. Tapi, sejujurnya...ya jujur nih, aku cuma ingin lihat terus gaya bu Marta. Hahahaha (maaf ya Bu).  

Tapi tunggu dulu.

Satu dua jam berlalu. Sambutan telah usai. Beragam tarian hingga pantomim sudah pula tampil. Maka, tampilah band yang ditunggu-tuggu. Kelompok band itu seketika menggebrak panggug. Penonton bersorak histeris. Riuh. Membuncah bersama warna-warni lampu panggung yang berjingkrak-jingkrak tak henti.

Kok tanpa aku. Gak. Gak mungkin! Pasti ada yang salah! Sudah kusiapkan baret hitam kebanggaanku. Baret khas Klaus Meine. Lengkap dengan sunglasses.

Saat itulah baru aku mulai sadar. Itu bukan duniaku. Tidak ada sedikit pun mengalir DNA pemusik dalam keluargaku. Pernah memang muncul kabar burung bahwa salah satu mbah canggahku seorang sinden kondang di kampung. Namanya saja kabar burung, akan sangat tergantung pada mood si burung. Saat happy mungkin ia akan bawa kabar baik. Sebaliknya kalau lagi gundah, bisa saja informasinya ikut terdistorsi. 

Sudahlah. Aku pikir mungkin ini saatnya untuk membunuh angan-angan konyol ini. Menyudahi omong kosong ini. Ketika sebuah angan dituruti, ia bisa menjadi belut liar tidak terkendali. Akan ngawur jadinya. Apa namanya kalau bukan konyol. Nyanyi tak bisa. Tak satu pun alat musik dikuasai. Gitar, misalnya. Lalu mimpi mau jadi penyanyi. Jadi Klaus Meine. 

Lah wong baca do re mi saja fals. Sebut re yang terdengar sol. 

Dulu pamit ke budhe mau belajar gitar. Lalu sudah setahun ngelayap sana-sini. Dari satu guru ke guru lain. Dari gitar tetangga hingga ke gitar kawan di seberang desa, utara stasiun sepur. Lagu pun sudah banyak aku hafal. Lirik-liriknya kumengerti. Kuhayati. Dari "Win of Change" hingga "She's Gone". Dari pop hingga balada. Akan tetapi, mengiring satu lagu saja gak pernah bener. Akor mayor dan minor yang sudah terornamentasi degan harmoni, ambyar seketika.

Ini kan seperti cebol merindukan bulan. Seperti Petruk berharap jadi raja. Tapi aku bahagia pernah jadi konyol. Setidaknya aku tahu kebodohan dan keterbatasanku. Bisa mnenjadi penikmat "Still Loving You" ternyata jauh lebih nikmat dan simpel. 

Air Hitam, 23 Januari 2021

#WeekendStory #Tolol


Saturday, January 16, 2021

Saat Hawking Mencari Tuhan



"If we do discover a theory of everything... it would be the ultimate triumph of human reason - for then we would truly know the mind of God" - Stephen Hawking



SEBENARNYA
 tak mudah memahami buku A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Hole. Meski Stephen Hawking telah menghapus hampir semua rumus di dalamnya, kecuali menyisakan secuil persamaan terkondang sejagad, E=mc2 -- itu pun dengan sangat terpaksa, sebagaimana ia akui dalam esainya di The Wall Street Journal (6/9/2013) -- saya tetap gagap membacanya. 

Tapi, anehnya, saya menjadi seperti orang ketagihan kafein. Tergoda dan terus tergoda untuk membuka halaman berikutnya. Begitu melahap paragraf pembuka Our Picture of the Universe, dengan segera saya menjadi tak sabar menginjak bahasan Space and Time, begitu seterusnya. Saya terjebak dalam medan magnet yang begitu kuat. Tersedot. Menikmatinya tidak lagi sebagai buku fisika yang rumit, kering, gersang, dan njlimet. 

Ternyata saya tidak sendirian. Beberapa kawan jurnalis dan dosen juga mengaku merasakan kondisi yang saya alami. Seperti baca novel sains-misteri, kita dibuat penasaran. Dan setidaknya sudah ada 10 juta orang yang kepincut membacanya. Berasumsi buku-buku itu kemudian dipinjamkan ke kawan, mahasiswa dan para koleganya, maka mudah dibayangka belasan bahkan puluhan puluhan juta orang yang sudah melahapnya.

Hawking mampu menyederhanakannya dengan sangat apik. Ia bercerita bak seorang Dan Brown. Ia lontarkan banyak hipotesis dan tesis yang menggugah "ke-manusia-an" kita yang kecil -- tapi dengan hasrat yang sangat besar -- sebagai bagian dari kosmos, layaknya filsuf Aristoteles. Layaknya Kant. 

Tentu bukan semata karena kalimatnya yang memikat hingga buku itu menjadi laris manis. Terjual lebih dari 10 juta copy. Meski ada saja yang berkomentar, ah itu masih belum sberapa dibanding karya JK Rowling. Rowling dengan buku serialnya Harry Potter, hingga pada "Harry Potter and the Deathly Hallows" telah menembus penjualan 500 juta copy. 

Loh keduanya memang bukan untuk diperhadapkan. Tidak apple to apple

Suka tidak suka, Hawking telah membuat publik yang lebih luas tertarik mengenal alam semesta. Dulu, orang banyak alergi dengan dunia astronomi. Mengenalnya pun mungkin hanya setahun sekali. Saat mereka berada di ketinggian menara masjid atau di pantai. Berjam-jam meneropong horison dengan teleskopnya. Menghitung apakah waktu bulan Ramadhan telah tiba. 

Astronomi penuh dengan rumus. Dijejali angka-angka besar yang hanya bikin jebol kalkulator. Orang masih ogah membayangkan ada sebuah jarak mencapai 150 juta km, jarak Bumi-Matahari. Meski telah dikonversi lebih sederhana sebagai SA (Satuan Astronomi), tetap banyak orang bersikap sama. Melirik pun tidak. Jarak Bumi-Matahari dengan pembulatan 150 juta km, kemudian dijadikan pijakan ukuran 1 SA. Angka lebih eksak, sesuai perhitungan terakhir oleh google dengan menggunakan astronomi radio dan perhitungan orbit, 1 AU = 149.597.870.691 km. 
 
Toh Hawking tidak berkecil hati. Bahkan bangga. Selain karena sudah berhasil memecah rekor dunia penjualan terbanyak untuk buku sains, bukunya pun masuk dalam scene "Harry Potter and the Prisoner of Azkaban." Seorang penyihir di Leaky Cauldron (diperankan Ian Brown) terlihat lagi asyik membaca buku "A Brief History of Time" di tangan kirinya. Sementara jari kanannya menari-nari di atas sedotan cangkir coffe latte-nya. 

Penyihir itu mungkin tertarik akan menggunakannya suatu saat, dalam perjalanan menembus lorong waktu? Hahahahha....

Magnet utama dalam buku itu adalah kemampuan Hawking menyodorkan problem penciptaan alam semesta yang sejak ribuan tahun lalu sudah jadi pertanyaan banyak orang. Jadi bahan renungan filsuf dan ilmuwan. Diperdebatkan para penganut ateisme dan naturalis. 

Padahal, bukankah sebuah hal yang biasa kalau orang bertanya "Bagaimana alam terbentuk?","Berapa tahun usianya?", "Kapan kiamat akan terjadi?", "Dari mana jagar raya berasal?", "Bagaimana akan berakhir?", "Kapan mulai ada waktu?", dan seterusnya. Orang tua dan para guru dulu cenderung angkat bahu saat mendapat pertanyaan macam ini. Atau akan mengaitkannya dengan ajaran agama yang samar diingat dalam ayat-ayatnya. 

Beberapa yang lain merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan selesailah diskusi, bahkan sebelum dimulai.

Dan salah satu magnet itu adalah kalimat penutupnya yang ia tulis dalam buku itu yang saya kutip di atas. Kurang lebih artinya begini: "Jika kita mendapatkan jawaban atas teori segala hal (ToE), itulah kemenangan pamungkas pikiran manusia -- karena dengan begitu kita akan tahu nalar Tuhan.

Saya kemudian bertanya-tanya, apa sesunguhnya yang Hawking cari? Mencari ToE? Apakah teori yang ia maskud itu benar-benar ada? Atau sebenarnya ia sedang mencari sang kreator (Tuhan)? Lalu kenapa ia keukeuh tidak percaya Tuhan? Apakah ia telah mencampakkan Tuhan? Mengapa?

[bersambung]

Air Hitam, 16 Januari 2021
#WeekendStory
#StephenHawking
#BingBang
#ABriefHistoryOfTime

Wednesday, January 13, 2021

Membaca



TERUSLAH MEMBACA. KELAK KAMU AKAN MENYADARI BETAPA BODOHNYA KAMU

Air Hitam, 13/1/2021

#GerakanLiterasi #MembawaDanMenulis #ReadingLiteracy

Saturday, January 9, 2021

Ada Kaya Ada Miskin

ADA kaya. Ada miskin. 

"Ben, kamu mau jadi yang mana?" tanyaku begitu saja sambil nyeruput kopi yang baru disajikan barista di Starbuck Amplaz.

Pembicaraan kami terputus sesaat. Kami belum tuntas mengobrol soal data-data terbaru gini ratio World Bank yang ia sodorkan. Gap kaya miskin kian melebar. Kami juga singgung data terbaru Bloomberg Billioners Index yang dirilis pekan ini tentang konglomerat di tengah pandemi. Sebuah buku usang "How Rich Countries Got Rich...and Why Poor Countries Stay Poor" karya Erik S Reinert masih terjepit di genggamannya. 

Ia memintaku utuk menjadikan semua bahan itu sebagai data pembanding dalam seminar di kampus besok.  

Ben tidak langsung menjawab pertanyaanku. Matanya masih menatap lurus pada perempuan cantik di lobi hotel yang baru turun dari Lexus ES300-nya. Mengenakan denim dipadu kaos putih dan sepatu kets ia tersenyum ramah pada dua guest service. Sederhana, namun terlihat misterius dan rahasia. Siapa perempuan anggun itu? Putri Solo? Ah, bukan!

Mungkin Ben sekedar mengagumi kendaraan itu. Atau dua-duanya. Jarang-jarang dia begitu terpesona pada sesuatu.

Aku tahu Ben orangnya bijak. Pertanyaan itu tidak akan membuatnya terjebak untuk memilih satu di antara keduanya. Ia lebih suka berada di tengah-tengah saja. Dalam hal apa pun. Tak di atas. Tidak pula di bawah. 

Kami teman sepermainan sejak kecil. Satu sekolah di kampung. Malah sama-sama aktif di OSIS. Biasa kami memilih juara sekolah sebagai ketua. Mau tidak mau harus mau. Dan ia mau, dengan syarat aku bersedia jadi sekretaris. Duet maut, kata kawan-kawan. Kami baru berpisah ketika ia harus melanjutkan pendidikan di sebuah kampus terbesar di Jogya. 

"Aku pengin seperti Om Dani, jadi wartawan. Enak bisa keluar negeri gratis," kataya saat itu di sebuah stamplat bis antarkota, tempat terakhir aku mengantarnya.

Om Dani adalah wartawan harian besar ibukota. Ia adik dari ayahnya. Sering kali Ben dapat oleh-oleh buku dari negara-negara yang dikunjunginya. Tapi lebih sering kartu pos, bergambar ikon kota-kota di Asia-Eropa. "Lagi di Kinderdijk - Belanda. Terus belajar yang rajin!" Tulisan tangan itu menandai kartu pos yang dikirimnya. Ben mrengut. Mukanya berubah jadi jutek. Ia paling sebel kalau dikirimi hanya kartu pos.

Tentu saja aku gak percaya. Tak pernah menganggapnya serius. Tak pernah melihatnya menulis. Bikin sekedar coretan tangan pun tidak. Satu saja yang masuk akal bagiku. Ia gemar membaca. Tapi overall masih tetap gak nyambung antara kuliah dan cita-citnya. Ingin jadi wartawan kok kuliah di Fisika. Blas, gak nyambung!

Dulu, saat sekolah di kampung, kami memang demen dengan pelajaran Ilmu Bumi dan Antariksa. Kami terprovokasi oleh guru kami yang fun. Tidak pernah memaksa muridnya untuk mencatat. Sudah tentu itu amat menyenangkan bagi beberapa kawan yang malas. Pergi ke sekolah tanpa beban. Datang hanya dengan satu buku tulis untuk semua pelajaran, dilipat pula dalam saku belakang. 

Namun dengan peraga sistem tata surya yang sederhana, guru itu mampu membius dan mengajak kami berimajinasi menunggangi sang cahaya. Bak seorang Einstein naik kuda terbang, buraq yang melesat pesat menembus ruang waktu. Kami berselancar keluar Bumi. Dari planet ke planet. Keluar sistem tata surya. Menembus awan Oort. Berkelit menghindari komet-komet beku. Gelap. Namun kami merasakan keberadaannya, gaya gravitasinya. Lalu melanglang lebih jauh, mengitari Bima Sakti. Menuju galaksi antah berantah yang kami tak tahu di mana.
 
Saat yang lain guru membawa kami bersenang-senang di luar kelas. Ia ajak kami menjadi layaknya seorang Erathosthenes cilik. Mengukur besaran sudut yang dibentuk antara panjang tongkat yang kami tancap di lapangan sekolah dengan garis khayal yang menghubungkan puncak tongkat dengan puncak bayangan. Lalu kami memakainya untuk mengukur diameter dan keliling Bumi. 

Guru kami juga rajin memantik diskusi-diskusi hangat di dalam kelas. Kadang menyisakan pertanyaan-pertanyaan awam seperti di mana posisi kita di dalam spektrum jagad yang begitu luas? Kenapa ketika melihat Venus kita melihatnya seperti bintang terang? 

Mungkin karena itu Ben sempat mendaftar astronomi di Bandung. Tapi gagal. Sethun berikutya ia lari ke Jogja. "Agar aku tak perlu khawatir tak bisa makan. Di sini ada gudeg Bulek Sosro, buka tiap hari," tuturnya beralasan. 

Masih ingin jadi wartawan seperti om kamu itu? "Pastilah!". Tapi, yang diambil Fisika. Ini yang membuatku tak percaya bahwa ia serius.

"Ssst... jangan bilang siapa-siapa. Aku ambil prodi ini karena di sini sithik saingane," katanya, sekitar tiga dekade lalu. "Kalau mau cari saingan sedikit, sepi peminat, ambil Sastra Jawa beres," balasku sengit.

***

ITULAH Ben. Ia mengalir begitu saja. Tak pernah mau peduli apakah jalan yang dilaluinya itu akan selaras atau tidak dengan cita-cita yang akan diraihnya. Sering terasa konyol.   

"Ben?!" Tanyaku lagi, mengingatkan akan pertanyaanku yang belum dijawabnya.

"Ah, cukuplah. Yang penting cukup," akhirnya ia menjawab, bersamaan dengan hilangnya bayangan perempuan itu di balik lobi hotel.

"Cukup gimana?"

"Ya, cukup. Kamu tahu kan, aku gak akan mengumbar nafsu untuk jadi orang kaya. Tidak juga jatuh miskin. Artinya, cukup saat dihadapkan pada kondisi darurat yang kadang menuntutmu memecah celengan."

"Cukup, saat keluarga sakit dan perlu biaya berobat. Cukup untuk membantu tetangga atau orang lain yang kesulitan. Cukup untuk nyangoni keluarga yang datang dari jauh ke rumah. Cukup untuk nonton film apik. Cukup untuk ajak piknik keluarga saat libur tahunan. Cukuplah kalau itu bisa membuat bisa makan sehari-hari. Syukur pula kalau bisa nraktir teman, sekali-kali. Nraktir kamu, ya seperti sekarang ini," sambungnya lagi.

Ia nyerocos seperti sepur sedang langsir yang takut kehabisan solar.

"Cukup ini. Cukup itu. Cukup...cukup...cukup...Loh kok banyak sekali "cukup"nya. Lalu kapan kamu baru akan merasa cukup?" tanyaku.

"Hahahahaha... saat itulah aku cukup. Beda tipis saja dengan berke-CUKUP-an." 

Ben terkekeh lebar dan panjang. Berubah menakutkan. Aku tak melihat lagi Ben yang dulu. Kawan bersama main bentik. Pernah sepenanggungan saat disiram air oleh Mbah Rahmi yang marah gara-gara ketahuan nyolong mangga gadung miliknya.  

Kehidupan kata orang memang sulit ditebak. Kamu ingin kaya, eh tahunya miskin. Ingin biasa-biasa saja, sederhana, tahunya malah tajir melintir. Lalu kamu mulai diundang sana-sini. Semua orang ingin berguru. Ucapanmu yang dulu tak bermakna apa-apa, tiba-tiba dianggap bertuah. Banyak orang ingin tahu prinsip apa yang kamu pegang dan membuatmu sukses. Kamu pun jadi seleb. Pundi-pundi uang mengalir seiring dengan ketenaranmu yang terus menanjak.

Kamu mengalahkan Novanto dan Riza Chalid yang masih bermimpi. Tentu saja kamu telah belajar dari kebodohan keduanya. Bahkan kamu pun masih ingat kata per kata  yang mereka ucapkan. Kamu masih terus putar rekamannya agar kelak tidak terjerumus di lubang yang sama.

"Jadi Freeport jalan,bapak itu bisa terus happy, kita ikut-ikutan bikin apa. Kumpul-kumpul. Gua agak ada bos, nggak usah gedek-gedek. Ngapain gak happy. Kumpul-kumpul. Kita golf. Gitu, kita beli private jet yang bagus, representatif. Untuk kumpul-kumpul paling 1 juta dolar," kata Riza dalam rekaman itu kepada Novanto.

"Buat kita tak ada yang rakus. Ini mutual benefit, konsepnya mutual benefit. Barangnya kita semua. Kita semua kerja. Freeport 51 kasih kita lokal, support financing. Ya, Pak?," lanjut Riza. Novanto membalas, kalau Freeport berani menjamin,semua urusan akan berjalan lancar, termasuk soal pinjaman dari Bank.

Dan Riza pun dengan entengnya berkata bahwa ia yakin Freeport akan mendapat dukungan penuh dari Presiden Jokowi. Ia menyebut,"Kalau sampai Jokowi nekat nyetop, jatuh dia."

Itulah kesalahan fatal keduanya. "Mereka tak pernah merasa cukup dengan apa yang dimiliki, ingin kaya semua." Kata Ben tiba-tiba. Beberapa saat lamanya tadi aku lihat ia tenggelam dalam kebahagiaan dan tawa sebagai orang berke-cukup-an. Syukurlah, rupanya ia masih bersamaku. Ia masih seorang Ben yang kukenal dulu.

***

KEBAYANG gak kalau semua penduduk Bumi ini kaya?

[Bersambung]

Air Hitam, 9 Januari 2021

#TheUntoldStory #BenNamaku #WeekendStory #BabVII