Sunday, January 31, 2021

Suara dari Talisayan: Gempa Itu...

Sebuah gempa terjadi di wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Jumat (29/1/2021) pukul 00.42 WIB. Meski terasa "lembut"-- dengan kekuatan hanya 4,1 skala richter dan berada di kedalaman 10 km -- bagi saya itu cukup mengagetkan.

Siang harinya, khotib menyinggung fenomena itu dalam kotbah jumatnya di Masjid At Taqarrub RT 20 Air Hitam Samarinda. Ia juga menunjukkan keterkejutannya. Ia melihatnya -- seraya menyitir beberapa peristiwa besar lain di Tanah Air yang menyisakan duka -- sebagai teguran cum ujian.

Lain halnya saya. Saya kaget karena itu adalah gempa pertama yang terjadi di Berau.  Sebenarnya, pada 21 Desember 2015 silam pukul 01.47 WIB, BMKG Pusat di Jakarta juga pernah mencatat adanya gempa di bagian utaranya, Tarakan. Magnitudonya bahkan lebih besar, 6,1 SR. Tetapi, lagi-lagi, karena berada jauh di kedalaman laut 10 km, maka masyarakat menganggapnya angin lalu saja.

Dua fenomena itu, terlebih yang terjadi terakhir di Berau, seketika mengingatkan saya pada kebijakan dan berbagai pernyataan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak (2008-2013 dan 2013-2018). Saya kembali teringat dengan tekadnya yang menggebu untuk membangun PLTN Talisayan. Daerah ini terletak di selatan laut, sekitar 5 jam dari Tanjung Redeb, ibukota Berau.

Dulu, saya menulis catatan kecil berjudul "Suara dari Talisayan". Catatan itu memang terprovokasi oleh ambisi Awang Faroek untuk membangun PLTN. Caranya, sesuai rekomendasi ahli BATAN, dengan membangun pusat listrik tenaga nuklir. Awalnya akan dicoba 50 MW. Begitu studi kelayakan selesai, maka akan langsung ground breaking tahun 2017 dengan funding dari luar (China).  

Tahun-tahun berikutnya akan dikembangkan lagi hingga 1000 MW yang pada akhirnya akan diharapkan bisa mengatasi byar pet listrik di seantero provinsi. Niatnya mulia. Awang Faroek yang kini anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Nasdem ingin segera menyudahi kesulitan menahun yang dialami rakyatnya. 

Sampai pada posisi itu, orang masih banyak mengamini. Akan tetapi argumen utama yang disodorokan bahwa Talisayan, Berau dan secara umum Kaltim aman dari gempa sehingga aman untuk jadi lokasi PLTN seketika memicu kontroversi baru. Pegiat ligkungan dan masyarakat sipil lainnya bersatu untuk menolak rencana tersebut.


Berikut catatan kecil saya waktu itu yang dimuat di TribunKaltim.co, Rabu (14/10/2015): 

Suara dari Talisayan

Judul itu saya adopsi dari sebuah buku nonfiksi "Voice from Chernobyl"  karya jurnalis kawakan asal Belarus, Svetlana Alexievich (67). Aslinya ditulis dalam bahasa Rusia: Tchernobylskaia, Molitva.

Terbit kali pertama tahun 1997, berkat perestroika. Namun baru diketahui dunia delapan tahun kemudian, setelah dialihbahasakan oleh Keith Gessen.

Membaca kembali buku itu saya segera teringat Talisayan, sebuah kampung di pesisir timur Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang telah dipilih sebagai tempat pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Gubernur Awang Faroek Ishak merasa haqul yakin PLTN akan aman di sana karena jauh dari jalur gempa.

Loh, kok seakan-akan ancaman itu datang hanya dari bencana alam. Kita mungkin lupa bahwa kecelakaan di Reaktor Chernobyl Unit 4 lebih karena faktor manusia. Bukan bencana alam. Dalam Seminar Nasional Keselamatan Nuklir 2009 di ITB Bandung, terungkap adanya pelanggaran prosedur kerja, keahlian operator yang  kurang memadai, dan rendahnya budaya  keselamatan di lingkungan kerja.

Awang Faroek juga mengklaim masyarakat setempat sudah setuju.

"Mulai kepala desa, warga, sampai Bupati (Berau)-nya datang memberikan persetujuan," ujarnya. "Tinggal Pak Jokowi, jika Presiden setuju maka kita langsung mulai."

Sesimpel itu?

"Suara dari Talisayan" dan "Voice from Chernobyl" memiliki kesamaan. Sama-sama bicara nuklir. Yang satu tentang rencana akan membangun energi nuklir agar menjadi solusi bagi ketersediaan listrik di Kaltim yang selama ini byar-pet.

Sedang buku Alexie bercerita mengenai kengerian dan derita yang dialami warga setempat akibat meledaknya reaktor Chernobyl, 26 April 1986.

Memang sudah banyak tulisan yang mengulas Chernobyl. Yang menarik, Alexie menggunakan genre baru dalam penulisan jurnalisme -- lazim disebut sebagai jurnalisme sastra -- untuk merangkai fakta demi fakta berikut suara-suara para korban ledakan nuklir itu. Kita layaknya sedang menikmati sebuah nobel: ada tokoh, konflik, plot, dialog, dan klimaks.

Simaklah bagaimana piawainya Alexie mengawali bukunya mengenai kengerian bencana nuklir yang disebut-sebut paling parah dalam sejarah itu. Begitu menyentuh. Ia gunakan teknik sudut pandang orang pertama untuk menguras apa yang dirasakan para korban.

Narasinya ia mulai dari kerisauan seorang istri dari pasangan muda yang bingung dan panik mendengar ledakan keras dari mes pekerja pada pukul 01.23. Ia belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia makin cemas suaminya belum juga kembali setelah beberapa jam.

Suaminya seorang anggota regu pemadam, yang dini hari itu langsung meluncur ke sumber ledakan di reaktor 4 Chernobyl.

Satu jam berlalu tanpa kabar. Dua, tiga jam menunggu seperti setahun, hingga akhirnya kabar itu baru ia terima pukul 07.45. Suaminya telah dilarikan dan diisolasi di rumah sakit!

Dalam terjemahan bebas kurang lebih begini:

"Saya tidak tahu harus bicara mengenai apa -- tentang kematian atau sekitar cinta? Atau apakah mereka sama? Mana yang harus saya bicarakan? Kami pengantin baru. Kami masih selalu berjalan dengan berpegangan tangan, bahkan jika sekedar ke toko. Lalu saya akan mengatakan kepadanya: Aku mencintaimu..."

Sayang sekali, saya belum sempat menginjakkan kembali kaki ke Talisayan untuk menggali suara warga. Info nuklir macam apa yang sebenarnya disampaikan kepada warga Talisayan hingga dengan mudah menyetujui pembangunan PLTN di kampung mereka? Apakah warga sudah mendapat informasi yang berimbang?

Boleh jadi pandangan warga akan berbeda saat mereka membaca buku Alexie itu. Atau saat mereka membaca "Hiroshima" karya John Hersey, yang pertama kali terbit di The New Yorker pada Agustus 1946.

Masyarakat Talisayan mungkin juga belum sempat menyaksikan pameran foto bertajuk '25 Tahun Setelah Chernobyl: 'Dampak Berkelanjutan Petaka Nuklir di Rusia, Ukraina, Belarusia, dan Kazakhstan' yang pernah digelar di ITB Bandung, empat tahun lalu.

Sebuah foto menampilkan gambar gadis, Ainagul. Berumur enam tahun namun memiliki tubuh anak usia tiga tahun. Caption foto menyebut pertumbuhannya terhenti akibat zat radioaktif Chernobyl. Kedua orang tuanya malu akan kondisi Ainagul, mereka mengeluarkannya dari sekolah.

Gambar lainnya, dua janin dengan kepala saling menempel dengan kerusakan pada bagian tengah tubuh. 'Di kawasan terkontaminasi ini, radiasi telah mengakibatkan mutasi genetis dan berbagai cacat lahir. Ketakutan terhadap penyakit-penyakit bawaan telah mengakibatkan banyaknya aborsi di wilayah ini.''

Sebagai perbandingan, berulangkali dan bertahun-tahun pemerintah pernah melakukan sosialisasi kepada warga Jepara ketika akan membangun PLTN di semenanjung Muria. Hasilnya nihil. Sampai detik ini sikap mereka tetap sama: menolak!

Karena itu patutlah kita acungi jempol kepada gubernur dan timnya yang telah mampu meyakinkan warganya. Tentu jika klaim itu benar.

Pro-kontra adalah kelaziman dalam demokrasi. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan informasi yang terbuka, dan sejujur-jujurnya.

Saya tak bermaksud mengurangi apresiasi terhadap para ilmuwan nuklir yang menjadikan nuklir sebagai pilihan utama untuk mengatasi kebutuhan pasokan listrik.  Tetapi, kecelakaan Chernobyl membuat kita patut bertanya kembali: sudahkah kita benar-benar siap?

Mungkin bukan hanya sekedar soal alih-teknologinya. Bukan cuma mengenai insyinyur-insinyur nuklir yang telah menimba ilmu di mancanegara. Melainkan juga sumberdaya manusia nuklir yang kompeten secara keseluruhan. Disiplinnya, standar dan budaya keselamatannya.

Adanya penolakan dan sikap skeptis sebagian masyarakat terhadap PLTN haruslah dilihat sebagai filter supaya kita benar-benar siap, dengan belajar dari pengalaman dan kegagalan negeri-negeri maju.

Ya, memang ini bikin ribet. Tak apa. Adolf Hitler dengan kemampuan orasinya yang luar biasa pun barangkali tidak akan pernah merasa ribet mewujudkan mimpinya sebagai penguasa dunia. kalau saja tidak direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan kritis sebagian warganya sendiri.

Alangkah beruntungnya penguasa bila rakyatnya tidak bisa berpikir. Dan aku tidak perlu berpikir karena aku adalah pegawai pemerintah, katanya. []