Wednesday, February 3, 2021

Menjadi Terhormat


"Ingin menjadi orang terhormat? Jadilah anggota Dewan Perwakilan Rakyat!"

BrE mungkin sembarang klaim ketika menuliskan cuitannya itu di akun Twitter-nya. Sekedar berseloroh. Ia memang senang bercanda. Kami kawan seangkatan di Taman Kanak-kanak di kampung. Lama tak bersua setelah kami berpisah pulau dan berbeda profesi. Terakhir kali bertemu dalam reuni. Tidak ada yang keliru dengan kicauannya. Sudah dua pariode ini ia menyandang label Yang Terhormat itu.

Suka tidak suka, memang inilah satu-satunya lembaga di negeri ini yang memberikan atribut "Yang Terhormat" bagi para anggotanya. Silakan cek, adakah pekerjaan atau bentuk pengabdian lain yang dapat pengakuan lugas setinggi itu? Gak ada! 

Profesi semulia guru saja tidak pernah disebut sebagai Yang Terhormat. Pun presiden. Orang nomor satu. Penguasa negeri ini. Presiden beserta para punggawanya harus berjuang lagi dengan sangat keras jika mau mendapat pengakuan itu. Mungkin akan dapat nanti, saat anumerta. Saat banyak orang merasa kehilangan. 

DPR sangat menghargai kerja keras para anggotanya. Mereka sangat mafhum. Bahwa tak mudah bagi para anggotanya bisa duduk di kursi itu. Mewakili suara rakyat. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara tuhan. Suara rakyatlah yang menentukan hitam putihnya panggung politik.

Bisa lolos saja sudah perjuangan besar. Berdarah-darah. Menguras keringat, pikiran, energi. Pun kadang tak sedikit harta yang dikorbankan. Karena itu tidak pernah mempermasalahkan siapa kamu. Apa pun warnamu. Mau putih, kuning, biru,  hijau, merah, bahkan hitam sekalipun akan diterima. Lets welcome. Kamu mendapat kepecayaan langsung dari rakyat. Dan itulah kerhormatan.

Bagi sebagian wakil rakyat, panggilan Yang Terhormat akan sangat penting. Guna menjaga martabat dan marwah sebagai pejabat negara, katanya.

Pernah kolega BrE marah besar. Masalahnya mungkin tedengar sepele bagi rakyat. Tapi tidak bagi para wakilnya. Suatu hari dalam rapat dengar pendapat dengan lembaga antirasuah. Suasana gerah dan kaku. Gegara tak satu pun dari lima pimpinan lembaga antirasuah itu yang memanggil dengan sebutan "Yang Terhormat".

"Saya menunggu dari tadi, tidak pernah terucap 'Anggota Dewan yang Terhormat'. Pak Presiden saja kalau ketemu, dia katakan 'yang terhormat.' Pak Kapolri mengatakan 'yang mulia. Tapi tak satu pun dari saudara-saudari yang mengucapkan itu!."

Apakah BrE orang semacam itu?

BrE mengaku duduk di sana bukan untuk mencari label kehormatan. Tanpa label itu, toh ia sudah serta selalu dihormati oleh keluarga, kolega, dan karyawannya. Kehormatan menurutnya akan melekat pada integritas seseorang. Ketika orang berharap label itu, mungkin ia akan mendapatkannya. Tetapi ingat, di balik setiap kehormatan macam itu mengintip kebinasaan.

Ia maju kembali sebagai anggota dewan, akunya karena dorongan rakyat. 

"Sebelumnya, dengan lima perusahaan yang saya miliki, paling banter aku cuma dapat menghidupi 200 karyawan. Anggaplah mereka punya tiga anaknya, maka hanya kepada 1000 orang itu saja saya mampu berbuat," dalih BrE.

"Akan berbeda kalau kita berada di dalam, bagian dari sistem. Kita tentu akan bisa berbuat lebih besar dan untuk lebih banyak orang dengan memperbaiki sistem," kata BrE lagi bersamaan dengan standing ovation

BrE menyampaikan itu saat didaulat bicara pada temu alumni lima angkatan TK Bunga Bangsa Tuban. Taman kanak-kanak ini terletak di kampung Arab, hanya sekitar 400 meter dari pendopo kabupaten. Sekolah kami memang sangat strategis. Memandang depan akan nampak alun-alun kota yang luas dengan pohon beringin rindang di tengahnya. 

Di seberang jalannya berdiri bangunan klenteng tua dengan pantai boom yang indah. Menoleh ke kiri akan melihat keramaian. Bus-bus pariwisata berjajar parkir di depan masjid jami. Mereka menurunkan rombongan para peziarah wali songo yang berjejal menuju makam Sunan Bonang, samping belakang masjid. Karena itu banyak pejabat, camat, petinggi, kamituwo, hingga modin yang menitipkan anak-anak mereka di sini. 

BrE yang dulu pendiam, kali ini terlihat berbeda. Pandai bertutur kata. Lantang suaranya menegaskan  kesiapannya mengabdikan diri untuk bangsa dan negara. Ingin terus memperjuangkan nasib wong cilik seperti kebanyakan warga kampung kami yang hidup pas-pasan. Pas itu artinya gak kurang gak lebih. Kalau ternyata masih gak pas, ya harus dipas-paskan. Sebab negara kadang terlalu jauh untuk melihat kesulitanmu saat gajimu terkikis inflasi tinggi yang terus membayangi.

Beruntung sebagian besar alumni telah menjadi orang-orang sukses. Setidaknya itu terlihat dari busana yang mereka kenakan dan jenis tunggangan yang dibawa. Meski ada segelintir yang harus puas dengan hanya menjadi sekuriti gudang, seperti Ngadiran. Itulah kehidupan. Di kelas, dulu ia paling jago. Suka bikin onar. Ada saja yang dibuatnya menangis setiap hari, setiap kali ia ikut bergabung main.

Ada kawan lainnya yang memilih nganvas barang, sopir angkot, dan menjadi tukang. Tukang apa saja. Ada tukang batu seperi Suraji. Sudah 30 tahun menekuni pekerjaannya. Namun keinginannya untuk memperbaiki rumah warisan yang berdinding gedhek belum juga kesampaian. Ada pula tukang arloji, tukang kayu, hingga tukang gigi. 

"Dokter gigi Sudarso, masih inget kan?" candanya kepada saya di sela jamuan. 

Ia enggan disebut tukang gigi. Kios kecil di pasar atom miliknya sengaja tidak bertuliskan "tukang gigi" melainkan "Ahli Gigi".

Sekitar 44 tahun tak bertemu selepas wisuda TK, Darso terlihat manglingi. Lebih gemuk. Lebih berlemak, apalagi dengan tinggi cuma 155 cm. Kepalanya nyaris licin. Selicin landasan pacu Bandara Kennedy di timur Amerika saat diselimuti butiran salju. 

Tapi satu yang tak berubah darinya adalah senyumnya: masih lebar dan menghanyutkan. Ia  memang ramah kepada siapa saja. Selalu memamerkan senyum pepsodent-nya. Saat kebanyakan kami dulu bergigi keropos, hitam dan tanggal sana-sini karena doyan ngemut permen, dialah satu-satunya anak yang masih bergigi lengkap. Rapi dan putih lagi. 

Di depan kelas dulu, ia menyatakan cita-citanya ingin menjadi dokter gigi. 

"Aku juga tak tahu pasti. Entah, apa karena salah dalam memilih cita-cita atau salah ambil jurusan. Tak tahulah. Tapi tak apa. Setidaknya saya masih mampu di jalur kegigian, membantu mereka yang perlu gigi palsu. Sebuah kehormatan masih bisa berguna," kata Darso saat kutanya apa yang terjadi dengan cita-citanya dulu.

"Ada diskon besar loh. Buat alumni seperti kamu apa sih yang gak bisa. Kebetulan ini masih ada heat curing acrylic tersisa," ajaknya sungguh-sungguh. "Diskon 60 persen. Bisa diangsur!"

Kami tertawa lepas. Kali pertama dalam hidup saya bisa tertawa selepas ini. Tanpa ragu. Benar-benar lepas. Di depan tukang gigi, saya pikir tak perlu malu-malu bahwa ada dua gigi garaham saya yang copot.***

Air Hitam, 3 Pebruari 2021

#YangTerhormat #ReuniTK #WakilRakyat #Integritas