Saturday, February 6, 2021

Dalam Diam Aku Berputar

JUDUL itu bukan kalimat Albert Einstein. Tapi saya menjadi tergelitik setelah tertarik membaca beberapa buku karyanya serta astrofisikawan lain, lalu menuliskan judul itu sebagai tesis tentang apa yang saya pahami.

Dulu, waktu di bangku sekolah, saya beranggapan profesor berambut jabrik dan wajah golliwog itu
hanya sebatas persamaan sederhana E=mc2. Ya, itu saja. 

Sejalan dengan ketertarikan saya terhadap jagad raya secara amatir, saya pun tergoda untuk mencari tahu lewat buku-buku fisika modern. Saya mencoba memahami, meski tergagap. Saya mengalami disleksia. Tapi masa bodoh. Tetap saja saya nekat membacanya. 

Saya pikir Tuhan memang sengaja menggunakan bahasa yang universal -- bahasa matematika -- untuk berkomunikasi dengan mahluk-Nya, agar kita mau berpikir.

Saya lalu mengenal teori relativitasnya, kendati cuma sebatas kulit ari. Yang bersama dengan mekanika kuantum menjadi dasar untuk bisa lebih memahami jalan pikiran sejumlah ilmuwan mengenai semesta. Termasuk jalan pikiran Stephen Hawking yang begitu terobsesi menemukan satu teori tunggal -- theory of everything guna menjelaskan semua fenemona yang terjadi di jaga raya -- yang membuatnya bahkan berpikir lebih radikal: "... dengan begitu kita akan tahu nalar Tuhan."

"If we discover a theory of everything... it would be the ultimate trimph of human reason - for then we would truly know the mind of God," tulisnya dalam buku "The Brief History of Time: From Big Bang to Black Hole".

Saya mencoba ikut memahami awal kelahirannya, proses tumbuh besar hingga bagaimana kematiannya kelak. Saya coba memahami diasporanya. Dari nol waktu (imaginary time, lebih tepatnya) yang dulu hanya sekumpulan partikel seukuran satu atom tunggal (subatomik) tapi dengan tingkat kerapatan, temperatur dan tekanan yang tak terhingga. 

Fenomena singularitas ini yang diyakini memunculkan big bang, yang dengan hentakannya yang sangat kuat membuat jagad raya ini terus berkembang begitu meluas. Dari kejadian itu lalu muncul ruang. Ada ruang, maka konsekwensinya muncul pula waktu. 

Pengukuran terakhir melalui metode Cosmic Microwave Background (CMB) atau mikro gelombang kosmik milik Badan Antariksa Eropa yang dirilis Live Science (17/7/2020) berjudul Oldest Surviving Light Reveals the Universe's True Age menyebut alam semesta ini telah berusia 13,77 miliar tahun plus minus 40 tahun tahun.

Einstein telah banyak menelorkan teori,hukum fisika dan pernyataan filosofis yang dijadikan rujukan banyak orang. Tapi, dari sekian banyak ungkapan filosofis itu, ada satu yang memaksa saya terjeda. Saya merasa perlu berdiam diri dulu sejenak. Merasakan harmoni atom dan molekul oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen dan berbagai molekul organik lainnya yang terus begerak setengah abad lebih dalam tubuh saya. Tanpa henti.

"Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving" Begitu pesan Einstein yang disalin oleh Walter Issacson dari bahasa aslinya. 

Ungkapan itu saya baca di buku "Einstein: His Life and Universe" yang ditulis Walter Isaacson. Dia menulis buku setebal 675 halaman itu dengan sangat memikat. Bahkan lebih memikat menurut saya ketimbang biografi untuk Steve Jobs. 

Risetnya terhadap ribuan sumber arsip yang telah berserak di sejumlah negara, termasuk terhadap arsip yang tidak di-publish, menunjukkan ketekunan dan kedalamannya. Sehingga ia mampu menyajikannya secara utuh, dalam perspektif yang lebih obyektif.

Penting sekali saya kira bahwa buku biografi mestinya memang tak cukup hanya berisi selebrasi atas pencapaian seseorang. Pada sosok yang sudah melegenda seperti Einstein, acapkali penulis mudah terjebak dan lupa bahwa sebesar apa pun sosok itu, dia adalah orang yang sama seperti kita: seseorang yang juga diwarnai dengan kisah tragedi.

Di atas ungkapannya itu, Issacson memasang gambar hitam putih Albert Einstein sedang mengendarai sepeda onthel. Ia tampak agak oleng mengendarainya. Mungkin akan segera jatuh ke kiri kalau saja ia tidak terus berusaha memancal pedal sepedanya.

Kalimat itu terlacak dalam surat yang ditujukan untuk anaknya, Eduard. Surat yang kini tersimpan di Universitas Hebrew (Ibrani), Jerusalem itu dikirim pada 5 Pebruari 1930. Saat itu, anak lelaki keduanya menderita skizofrenia, sejak usia muda. Sejumlah referensi menyebut gejala itu ia alami saat jatuh cinta kepada wanita yang lebih tua di universitasnya.

Eduard mewarisi kecerdasan ayahnya. Ia mempelajari ilmu kedokteran dan terobsesi menjadi psikiatri seperti Freud. Nilainya cumlaude di semua pelajaran. Namun siapa sangka bukannya mengobati pasien, malah ia sendiri yang perlu bantuan dan harus ditangani tim psikiater di sanatorium Burghozi, Zurich. Ada memang yang beranggapan Eduard hanya mengalami disleksia, seperti pernah dialami ayahnya saat kanak-kanak, toh ia tetap dirawat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya hingga matinya di klinik itu.

Einstein menulis surat itu dalam bahasa Jerman. Aslinya berbunyi: "Beim Menschen ist es wie beim Velo, Nur wenn er fachrt, kann er bequem die Balamce halten". Barbara Wolff, petugas arsip di universitas tersebut, membantu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris yang jika diindonesiakan berarti: "Seperti orang bersepeda. Hanya dengan terus mengayuhlah seseorang dapat mempertahankan keseimbangannya dengan baik."

Tetapi yang kemudian muncul di buku Issacson, entah kenapa berubah menjadi kalimat lebih ringkas seperti yang saya nukil di awal. Ada sedikit perbedaan penerjemahan dari bahasa asli jika dibandingkan dengan versi Roger Highfield, editor sains di London Daily Telegraph. Highfield dalam biografi dengan subyek yang sama berjudul "The Private Lives of Albert Einstein" (1994) juga menggunakan kutipan itu dalam bukunya.

Namun ia lebih mengutamakan kata 'people', bukan 'life' seperti pada buku Issacson. Ungkapan dalam sepucuk surat Einstein itu sejatinya memang berisi nasihat tentang pekerjaan kepada Tete -- panggilan sayang ayahnya untuk Eduard. Ia sebut, obat terbaik bagi perasaan melankolis adalah dengan bekerja keras. Einstein berharap dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan akan membuat anaknya tidak terus-terusan tenggelam dalam dunia lain.

"Betapa bermanfaatnya pekerjaan bagimu. Bahkan seorang jenius seperti Schopenhaeur jadi tidak bermakna tanpa pekerjaan". 

Ia kemudian melanjutkan pesannya bahwa hidup itu seperti sebuah sepeda. Karena seseorang akan dapat menjaga keseimbangan hanya jika dia terus bergerak. Kata 'seseorang' dalam kalimat itu mengarah kepada 'people', sekali lagi bukan 'life' seperti ditulis Issacson. Tapi di buku yang saya nukil di awal, Issacson menerjemahkannya dari bahasa asli ke bahasa Inggris dengan mengubahnya menjadi: "Life islike riing a bicycle, to keep your balance, you must keep moving" - Hidup itu seperti mengendarai sepeda. Agar tetap seimbang, kamu harus tetap bergerak.

Versi Issacson menggunakan kata 'life' atau kehidupan sebagai subyek. Bukan 'people" (seseorang). Adanya dua versi kutipan ini terkadang membingungkan. Tetapi, apa pun itu, pesan Einstein menyentuh ke skala yang lebih luas. Bukan cuma terhadap seseorang. Melainkan pada seluruh atmosfer kehidupan jagad raya.

Tidakkan kita semua memang sejatinya sedang dan terus bergerak? Berputar!!! 

Bumi bersama planet lainnya berputar mengelilingi pusat tata surya, matahari. Tata surya bergerak dan berputar mengelilingi galaksi Bimasakti. Galaksi Bimasakti dan galaksi lainnya berotasi dan berevolusi terhadap black hole.

Dalam skala mikrokosmos pun begitu. Sebuah partikel kecil subatomik. Elektron misalnya sains telah membuktikan ia berputar-putar mengelilingi inti atom. Adanya medan elektromagnetik yang kuat dan berinteraksi sehingga menyebabkan gerakan elektron ditambah oleh tarikan dari inti atom, maka bakal menimbulkan gerakan berputar. 

Dan karena kita mengandung unsur atom dan molekul, maka saya dan Anda semua yang kelihatan diam, sejatinya sedang berputar. Berputar kemana? Mengikuti poros perputaran Bumi. Bumi kita tahu berputar pada poros dengan kecepatan 1600 km/jam. Jadi, meski kelihatan diam, tubuh kita sedang dan terus bergerak berputar dengan kecepatan minimal segitu. 

Sebagai gambaran, pesawat lebar Boeing 747 400 atau jombet jet yang biasa dipakai melayani penerbangan jarak jauh ke Amerika, hanya mampu terbang paling cepat 909 km (0,85 mach). Anda bisa bayangkan, betapa cepatnya tubuh kita selama ini telah bergerak.

Dan tidak satu pun mahluk di jaga raya ini yang bergerak lurus. Kita naik pesawat lurus menuju timur, terus dan terus.Ternyata kemudian kita akan kembali ke tempat yang sama. Kita terbang ke AS, mau lewat barat maupun timur tetap akan sampai tujuan juga. 

Tergantung maskapai apa yang akan kita pilih. Kalau naik maskapai Eropa kita akan diajak lewat barat. Jika kita naik maskapai Jepang, Korea, China, Australia atau China biasanya kita akan diajak lewat timur, menyeberangi samudra Pasifik. Artinya apa? Ini melojikkan bahwa Bumi itu memang bukan datar.   

Begitulah, dalam diam kita, manusia sejatinya terus berputar. Dan itulah keseimbangan. Karena itu penting bagi kita untuk terus bergerak. Sebab saat kita benar-benar "diam", maka itulah awal kejatuhan kita.

Air Hitam, 6 Pebruari 2021

#WeekendStory #StayAtHome #AlbertEinstein #DalamDiamManusiaBerputar #AlamSemesta