Saturday, January 23, 2021

Konyol

PERNAH aku berangan-angan konyol. Teramat konyol. Lebih parah derajatnya dari kebodohan.

Tampil keren di panggung pesta perpisahan sekolah. Menyabet stand mic lalu membawakan "Still Loving You". Suaraku merdu, kata teman sebangku. 

Tentu akan mampu menghipnotis seisi gedung. Guru, ratusan kawan, para adik kelas. Wakar hingga Bulek Minten, penjaga kantin yang suka bawel, pun rela berhimpit. Berdesak agar bisa mengintip dari balik lubang kunci yang sempit. Mungkin ia penasaran. Tak pernah mengira bahwa murid pendiam-hitam-dekil dengan tampang morat-marit plus ndeso yang dia bawelin saban hari ini ternyata seorang penyanyi. 

Beratus pasang tangan melambai-lambai. Kiri-kanan berirama.

"To win back your love again. I will be there. I will be there..." 

Wow! Amazing! Lihat, mereka bernyanyi. Kompak terikut arus suaraku. Mereka benar-benar tersihir. Mungkin serasa menyaksikan performance seorang Klaus Meine.  

Seorang gadis cantik tiba-tiba muncul. Perlahan menyibak kerumunan. Tersenyum manis. Spotlight tak berkedip. Terus mengiring setiap langkahnya. Seperti gak mau kehilangan momen langka. Ia tersenyum manis. Meng-close up wajahnya. Hidung mancung dengan alis melengkung tinggi. Matanya besar indah bak almond. 

Riuh rendah tepuk tangan makin bergema. Bersahutan dengan suitan-suitan panjang.

***

MALAM perpisahan pun tiba. Ratusan wajah meriung. Masing-masing tampil dan menebar senyum terbaiknya. Senyum pepsodent. 

Pak Lardi, guru olahraga paling kolot nan galak di sekolah pun seolah sengaja lupa karakter aslinya. Senyumnya mengembang. Ia tampak dandy. Apalagi dengan bu Marta di sampingnya. Entah bagaimana bermula. Bu Marta guru muda tercantik dan favorit di sekolah. Ia fresh graduate dari sebuah kampus besar di Jogja. Menggantikan guru bahasa Inggris lama yang memasuki masa pansiun. 

Aku termasuk yang paling demen melihatnya saat mangajar. Semua yang diucapkan jadi mudah nempel dalam ingatan. Gaya dan suaranya mendorong hormon epinefrin dalam kelenjar otakku. Mungkin ini yang dimaksud Freud sebagai sublimasi dasar. 

Pernah aku nekat berbaur di kelas sebelah, duduk di bangku deret belakang. Hanya agar aku bisa lebih paham belajar bahasa Inggris. Tapi, sejujurnya...ya jujur nih, aku cuma ingin lihat terus gaya bu Marta. Hahahaha (maaf ya Bu).  

Tapi tunggu dulu.

Satu dua jam berlalu. Sambutan telah usai. Beragam tarian hingga pantomim sudah pula tampil. Maka, tampilah band yang ditunggu-tuggu. Kelompok band itu seketika menggebrak panggug. Penonton bersorak histeris. Riuh. Membuncah bersama warna-warni lampu panggung yang berjingkrak-jingkrak tak henti.

Kok tanpa aku. Gak. Gak mungkin! Pasti ada yang salah! Sudah kusiapkan baret hitam kebanggaanku. Baret khas Klaus Meine. Lengkap dengan sunglasses.

Saat itulah baru aku mulai sadar. Itu bukan duniaku. Tidak ada sedikit pun mengalir DNA pemusik dalam keluargaku. Pernah memang muncul kabar burung bahwa salah satu mbah canggahku seorang sinden kondang di kampung. Namanya saja kabar burung, akan sangat tergantung pada mood si burung. Saat happy mungkin ia akan bawa kabar baik. Sebaliknya kalau lagi gundah, bisa saja informasinya ikut terdistorsi. 

Sudahlah. Aku pikir mungkin ini saatnya untuk membunuh angan-angan konyol ini. Menyudahi omong kosong ini. Ketika sebuah angan dituruti, ia bisa menjadi belut liar tidak terkendali. Akan ngawur jadinya. Apa namanya kalau bukan konyol. Nyanyi tak bisa. Tak satu pun alat musik dikuasai. Gitar, misalnya. Lalu mimpi mau jadi penyanyi. Jadi Klaus Meine. 

Lah wong baca do re mi saja fals. Sebut re yang terdengar sol. 

Dulu pamit ke budhe mau belajar gitar. Lalu sudah setahun ngelayap sana-sini. Dari satu guru ke guru lain. Dari gitar tetangga hingga ke gitar kawan di seberang desa, utara stasiun sepur. Lagu pun sudah banyak aku hafal. Lirik-liriknya kumengerti. Kuhayati. Dari "Win of Change" hingga "She's Gone". Dari pop hingga balada. Akan tetapi, mengiring satu lagu saja gak pernah bener. Akor mayor dan minor yang sudah terornamentasi degan harmoni, ambyar seketika.

Ini kan seperti cebol merindukan bulan. Seperti Petruk berharap jadi raja. Tapi aku bahagia pernah jadi konyol. Setidaknya aku tahu kebodohan dan keterbatasanku. Bisa mnenjadi penikmat "Still Loving You" ternyata jauh lebih nikmat dan simpel. 

Air Hitam, 23 Januari 2021

#WeekendStory #Tolol