Wednesday, May 27, 2020

Menjadi Orang Jawa


Ingin juga aku menjadi orang Jawa. Sekali saja. Setahun sekali. Terbenam di dlm riuh mudik.

"Tahulah ikam, Presiden tuh pusing ngurusi ikam2 ini. Tiap tahun minta  pulang. Pulang. Mudik saja yg ada di otak kalian. Bukankah lebih baik kalau pitis yg tak sedikit itu ikam tabung saja biar lakas nanti beisi rumah sendiri, iya kalo," kata acil Nain, tetangga petak sebelah menasihatiku.

Acil memang begitu. Bukan acil Nain namanya kalau tidak bermamai. Setiap pagi. Di kedai La Joni. Sambil nyeruput kopi. Tapi tekadku sudah bulat. Tak bisa lagi dibuat kotak.

Aku rela.
Tak apa harus bermandi peluh. Berjejal di lautan tubuh. Jangan kau tanya gimana bau yang terhirup.

Tak apa mendaki2 tangga Tidar. Terus merangsek. Pantang mundur. Sesekali sikut kanan. Sikut kiri.
Tidur pun kudu belipat kaki di depan kamar mandi.

Tak apa berhimpit di lorong-lorong tirus para calo. Mengular di antara roda gila truk hingga pick up. Dari satu setamplat ke setamplat lain.

Aku mencoba duduk tenang dalam oplet. Tapi ayam-ayam kampung di sekelilingku tak mau tenang. Mereka pasang muka garang. Masam. Mungkin marah karena tak rela berbagi tempat denganku. Jengkel karena kian terjepit.
Berkokok kini kian menjadi. Seakan tak mau henti memakiku. Mengolokku!

"Peduli amat," batinku.

Yang penting pak sopir membolehkanku nebeng ke kampung. Tersisa cuma seperak di kantong celana. Tak apa. Tas kecilku telah berpindah tangan.

"Copet! Copeeet. Tolonggg!"

Tapi teriakan keras -- terkeras dalam hidupku -- seperti tertelan oleh angin segara. Memantul di antara gendang kupingku sendiri. Tak satu pun orang bergerak mengejar.

Aku rela...
Akhirnya kubisa pulang. Kebahagiaan ini tiada tara. Sulit kulukiskan dengan kata2.

Air Hitam, 25 Juni 2018