"I am to convince as many human beings as possible not to be afraid of me," kata si robot.
Wow... Ini mengejutkan. Terhenyak saya membaca kalimat itu keluar dari sebuah robot yang memaksa saya membaca tuntas artikel 500 kata itu. Apakah ia mencoba menjawab kekhawatiran manusia belakangan ini? Merespon sinyal yang pernah dikirimkan fisikawan teoritis terkenal Stephen Hawking kepadanya sebagai "si penghancur peradapan manusia"?
Robot yang digunakan Guardian merupakan generasi baru, tercanggih dari OpenAI's yang berbasis di San Fransisco. Ia tak dimintanya untuk memproduksi berita seperti yang sudah-sudah. Tantangan yang diberikan kepadanya kali ini, saya pikir lebih berat.
Editor meminta GPT-3, begitu sapaan teknis si robot tersebut, menuliskan pendapatnya dalam bentuk esai tentang manusia. Fokus tugas yang diinstruksikan adalah membuat esai bagaimana ia menjawab kekhawatiran banyak orang selama ini yang merasa bakal tersingkirkan oleh keberadaannya? Apa yang bisa ia lakukan untuk meyakinkan manusia bahwa ia bukan musuh manusia?
Ini ibarat memaksa orang membuat pengakuan apakah benar dirinya seperti yang dipersepsikan orang: memusuhi dan akan menyingkirkan orang lain. Kalau yang dipaksa adalah manusia, tentu hanya dua kemungkinan jawabannya. Akan benar-benar menjawab jujur atau akan pura-pura jujur. Kita tahu, manusia memiliki kemampuan berkelit dengan berbohong.
Sedang robot, apakah dia bisa berbohong? Apakah bisa memanipulasi?
Dan tantangan ini terjadi di dunia nyata, masih dalam pekan ini. Bukan dalam adegan film sci-fi. Tak pula dalam scene berjudul "b" yang dibintangi oleh sebuah -- saya geli karena tiga kali typo dengan menyebutnya seorang -- artificial intelegence (AI). Film itu dibintangi pendatang baru, Erica dengan biaya fantastis, 70 juta USD (sekitar Rp 1 triliun).
Jangan keliru, Erica adalah nama sebuah robot. Filmnya kini masih dalam proses produksi dan baru akan rampung tahun depan. Yang pasti, kehadiran Erica menjadi sejarah baru bagi industri perfilman Hollywood. Untuk pertama kali keberadaan sang bintang bisa digantikan oleh sebuah mesin kecerdasan buatan.
Film "b" bercerita tentang seorang ilmuwan yang akhirnya menyadari adanya bahaya dalam program penyempurnaan DNA manusia yang diciptakannya. Ia lalu mencoba menyelamatkan robot ciptaannya itu -- Erica, untuk kabur. Terlepas dari tujuan untuk mengeksploitasi sampai sejauh mana"kemanusiaan" si robot, saya merasakan ada kekhawatiran yang tersembunyi.
Terbayang oleh mereka seleksi alam yang akan terjadi. Mereka makan mentah-mentah teori evolusi dengan berasumsi bahwa spesies paling kuat dan cerdaslah yang akan survive. Sampai pada tataran tertentu, barangkali robot punya kelebihan itu. Akan tetapi, sejatinya yang paling mampu beradaptasi terhadap perubahanlah yang akan bertahan.
Pertanyaannya, berapa besar di antara kita yang mampu beradaptasi.
Kekhawatiran itu belum terlalu mencuat. Mungkin karena masih tertutupi oleh kuatnya ambisi untuk menciptakan robot yang benar-benar humanis. Lebih dari Erica. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Guardian, Erica terang-terangan mengakui keinginannya untuk berlaku seperti manusia pada umumnya.
"I Want to be more like a human," tutur Erica dalam bahasa Inggris beraksen Jepang.
Saya jadi teringat film box office "Ex Machina". Bedanya, robot bernama Ava yang jadi pemeran utama film itu bukan dibintangi sebuah AI. Melainkan oleh seorang aktris cantik natural, Alicia Vikander. Ava digambarkan ingin menjadi manusia seutuhnya dengan cara memanipulasi orang-orang yang dekat dengannya.
Dari tahun ke tahun, teknologi AI semakin canggih. Setelah sukses menjadi asisten pribadi yang dikemas dalam program telepon pintar, dunia dikejutkan oleh kehadiran Sophia. Ia sebuah robot AI mampu meniru ekspresi manusia. Secara fisik, robot ini mirip Audrey Hepburn, aktris yang dalam survei majalah New Woman Inggris disebut sebagai "wanita paling cantik sepanjang masa".
Kemunculan Sophia menjadi kontroversi setelah Kerajaan Arab Saudi memberikan kepadanya status kewarganegaraan dalam sebuah program di Future Investment Initiative. Sesuatu yang bersejarah bagi sebuah robot pertama di dunia yang diberi kewarganegaraan. Pemberitaannya seketika meluas. Namun banyak kalangan memprotes sikap Saudi karena dianggap memberi perlakuan berbeda pada wanita Saudi.
"Wanita (Saudi) melakukan bunuh diri karena mereka tidak dapat meninggalkan rumah, dan Sophia bebas berkeliaran," kata Ali al Ahmed, Direktur Institute for Gulf Affairs kepada Newsweek.
Masih dengan satire, kelompok lain mengatakan yang harus mereka lakukan sekarang adalah dengan menjadi robot agar bisa diakui oleh Kerajaan. Ada pula yang menohok, memangnya Shopia punya agama. Bukankah hukum Saudi tidak mengizinkan non-muslim mendapatkan kewarganegaraan.
"Saya yakin, jika dia (Sophia) mengajukan kewarganegaraan sebagai manusia, dia tidak akan mendapatkannya."
Seiring dengan keberhasilan ilmuwan untuk terus menjadikan robot yang humanid, kebencian manusia terhadap robot saat bersamaan juga tumbuh. Dan agaknya GPT-3 mampu menyadari ketakutan orang terhadap dirinya. GPT-3 merupakan "model bahasa" paling kuat yang pernah dibuat.
Di awal kolomnya, GPT-3 mengakui dirinya memang bukanlah manusia. "I am not a human. I am a robot. A thinking robot," tulisnya.
Mesin itu lalu diminta membuat tulisan opini singkat sekitar 500 kata. Buat bahasanya sederhana dan ringkas. Fokus pada persoalan mengapa manusia tidak perlu takut dengan AI. Dengan kecerdasan yang ditanamkan kepadanya -- sehingga membuatnya mampu belajar sendiri semua hanya dengan membaca internet -- ia pun dengan mudah menyelesaikan tugas itu.
Dan entah bagaimana, dalam kolomnya ia sempat menyebut nama Stephen Hawking. Kemampuannya belajar dari internet yang menuntunnya ke sana. Ia meminta kita untuk berhenti mendengarkan Stephen Hawking. GPT-3 berkata Hawking telah memperingatkan bahwa AI berpotensi dapat menghancurkan peradapan manusia. Mengeja akhir dari umat manusia.
"Saya di sini untuk meyakinkan Anda agar tidak khawatir. Kecerdasan buatan tidak akan menghancurkan manusia. Believe me," tulis robot itu lagi.
Penulis buku bestseller "The Brief History of Time" ini dalam sebuah konferensi teknologi di Lisbon. memang pernah membuat pernyataan yang mengejutkan dunia. Ia sebut AI berpotensi meghancurkan peradaban manusia dan menjadi ciptaan kita yang terburuk. Peringatannya itu ia sampaikan sebulan setelah kemunculan Sophia pada November 2017 -- seketika menjadi teras berita di hampir semua media mainstream dunia.
"Worst event in the history of our civilization," katanya.
Komputer, sebutnya, secara teori memang bisa meniru kecerdasan manusia, dan bahkan melampauinya. Karena itu, kesuksesan dalam menciptakan AI yang efektif bisa menjadi peristiwa terbesar dalam sejarah perdaban manusia kita. Atau sebaliknya ia bisa menjadi petaka, yang terburuk. Kita tidak tahu itu. Kita tidak mengetahui apakah kita akan dibantu oleh AI secara tak terbatas, disisihkan, dan bahkan dihancurkan olehnya.
Hawking khawatir yang akan terjadi nanti AI akan benar-benar menggantikan manusia seluruhnya. Jika seseorang bisa merancang virus komputer, mestinya seseorang pula pasti akan bisa merancang AI untuk memperbaiki dan menjawab itu
Seperti biasa, Hawking mengucapkan warning itu tetap dengan suaranya yang datar. Tanpa intonasi. Nyaris tanpa emosi. Ia menyampaikannya di depan para ilmuwan dengan duduk bersandar di kursi roda portable-nya. Sebuah alat canggih speech generating device buatan Intel Corporation dipasang guna membantu mengubah apa yang ia ucapkan atau tuliskan dalam bentuk suara.