'Sepuluh tahun dari sekarang, dua puluh tahun dari sekarang, kalian akan melihat: minyak akan menghancurkan kita … Minyak adalah kotoran Iblis".
— Juan Pablo PΓ©rez Alfonso, politikus Venezuela dan salah satu pendiri OPEC
MERAH itu menyolok. Sama seperti angka merah di rapor sekolah. Itulah yang terjadi pada Kaltim, fluktuatif sejak enam tahun terakhir. Maka, ketika Kepala Bank Indonesia Kaltim harus membuka angka-angka pertumbuhan ekonomi regional ke dalam sebuah peta warna, spektrumnya pun dengan mudah menjadi gamblang kentara.
Simak pula kabar paradoks dari kekayaan minyak yang dikelola Pemkab Kutai Kartanegara. Kejati Kaltim menersangkakan Dirut Perusda PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM) berinisial IR terkait pengelolaan hasil saham migas, Kamis (18/2/2021). Kukar diketahui telah menjadi bagian dari pengelola Blok Migas, menyusul didapatnya jatah saham participant intersest (PI) bersama Pemprov Kaltim 10 persen atas blok tersebut.
Blok itu sempat selama 50 tahun dikelola penuh oleh kelompok usaha besar migas dari Perancis, PT Total Indonesie yang kemudian dinasionalisasikan kepada BUMN PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Maka, sejak 2018 hingga 2020, PT MGRM berhak menerima dana bagi hasil pengelolaan Blok Mahakam dari PHM sebesar Rp 70 miliar. Sebagian dana itulah yang diduga dikorupsi, dengan menggunakannya untuk membangun tangki timbun di Cirebon, Balikpapan, serta Samboja (Kompas, 18/2/2021). Proses persidangannya kini masih berjalan.
Berbagai persoalan ini membuat saya makin dikejar oleh pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama didengungkan para pengamat ekonomi dunia: apakah industri tambang memang benar-benar sebuah kutukan? Saya ingin tidak mempercayai prediksi itu. Akan tetapi, berbagai kasus yang terjadi di negara-negara dan daerah kaya minyak di dunia menunjukkan indikasi ke arah itu.
Kasus dan ketimpangan yang terjadi di kabupaten terkaya di Indonesia -- dengan APBD pernah mencapai Rp 9,24 triliun pada tahun 2013 -- dan Kaltim, misalnya, makin menguatkan justifikasi teori "Dutch Disease" (Penyakit Belanda) dan "Resource Curse" (Kutukan Sumberdaya Alam).
"Is mining a curse?" tanya Roerick G Eggert, seorang praktisi ekonomi mineral dari Colorado School of Mines.
Riset sejumlah peneliti menunjukkan indikasi tidak ada korelasi antara kekayaan SDA dengan sebuah kemakmuran. Justru negara atau daerah-daerah dengan keberlimpahan SDA itu ternyata jadi kawasan paling awal terpuruk, lagi dalam.
Menariknya, dalam ekonomi terdapat sebuah fenomena ironis yang dikenal dengan istilah "kutukan sumber daya alam " yang menyatakan bahwa negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama yang tak terbarukan seperti minyak bumi dan hasil tambang, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibandingkan dengan negara yang terbatas sumberdaya alamnya.
Dalam peta yang diilustrasikan BI Kaltim tadi terlihat Provinsi Kaltim ternyata satu-satunya provinsi yang berwarna merah. Warna ini sangat mencolok. Artinya, daerah ini menjadi satu-satunya wilayah dengan pertumbuhan ekonomi minus saat itu. Paling jeblok se-Indonesia. Di dalam peta itu, Kaltim menjadi yang paling gampang dikenali karena daerah lainnya tampil dengan warna cerah seperti hijau (tumbuh 4-6 persen) dan biru (6-8 persen).
Tak ada yang berapor merah, kecuali Kaltim. Loh kok bisa? Bukankah Kaltim selama bertahun-tahun sejak dilakukan desentralisasi memiliki APBD cukup besar? Bukankah migas, mineral, hutan dan SDA lain yang dimilikinya telah menjadikannya sebagai daerah kaya?
Rupanya, kekayaan sumberdaya alam yang selama beberapa dekade itu menopang begitu tinggi pertumbuhan ekonominya tak lagi bertuah. Justru itulah yang membuatnya terpuruk. Bandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang tidak banyak memiliki kekayaan bahan tambang dan ekstraktif lainnya. Mereka ternyata malah mampu bertahan menghadapi badai global, melalui ekonomi kekuatan kerakyatan dan manufakturnya.
Sebenarnya, bukan kali itu saja Kaltim mendapat rapor merah. Tahun sebelumnya juga pernah merah, meski ironinya pernah bertengger di puncak klasemen dengan pertumbuhan fantastis. Itulah zaman keemasannya saat harga migas dan mineral global dunia sedang baik-baiknya. Lalu bagaimana tahun 2017 dan seterusnya?
BI memroyeksikan, untuk setahun berikutnya akan ada tanda-tanda membaik. Tetapi masih belum akan benar-benar mampu keluar dari zona merah. Artinya, masih akan minus. Maka, ini benar-benar menjai hattrick bagi Kaltim.
***
GEJALA memburuknya ekonomi Kaltim sebenarnya sudah bisa terbaca sejak 2013. Saat itu, bersamaan dimulainya periode kedua kepemimpinan Gubernur Awang Faroek Ishak, Kaltim sudah mengalami tingkat pertumbuhan terendah se-Indonesia. Memang belum minus. Hanya 1,59 persen. Tapi angka itu jauh di bawah rerata nasional yang masih tumbuh 5,78 persen.
Tak sedikit provinsi lain yang tidak mengandalkan tambang, terbukti ekonominya masih mampu tumbuh enam persen seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali. Kalimantan Barat yang tambangnya tidak terlampau besar, juga masih mampu tumbuh lima-enam persen. Ketergantungan terhadap tambang inilah yang menjadi bumerang, dan sejauh itu belum dapat dihilangkan oleh Kaltim secara signifikan.
Di atas kertas, pemprov memang telah menyusun roadmap berbagai rencana aksi menuju hilirisasi industri dan pengembangan pertanian dalam upaya mengurangi ketergantungan dan menghilangkan kutukan SDA. Sayangnya, implementasinya sangat lamban. Alokasi dana untuk pengembangan pertanian modern kenyataannya selalu di bawah 2 persen.. Maka, gelombang PHK akan selalu menghantui ketika harga komoditi ekspor itu tiba-tiba goyang di pasar global.
Selama tahun itu saja sudah 12.000 orang pekerja dirumahkan. Angka pengangguran naik 7,5 persen. Masalah lebih terasa membelit karena pertanian dan hilirisasi industri belum kunjung siap menggantikan posisi migas dan tambang sebagai penggerak ekonomi. Orang lalu berharap kepada APBD. Tapi apa yang bisa banyak diharap kalau ruang fiskal makin sempit.
Transfer dana bagi hasil (DBH) sumberdaya alam -- sumber utama pendapatan Kaltim -- terus menyusut. Kini jadi lebih sulit mencari pilihan akibat kondisi pandemi Covid-19 yang sudah hampir dua tahun ini terjadi. Tak ada ahli yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Mutasi virus yang lebih mematikan malah bermunculan. Dan sejauh itu para epidemiolog masih belum bisa memutuskan apakah kita sudah saatnya "berdamai" saja dengan corona. Menjadikannya sebagai endemi.
Kalau pun pandemi segera akan berakhir, bagi Kaltim masih banyak PR yang harus diselesaikan guna mengejar ketertinggalannya selama ini. Rapor kini sudah berhasil diperbaiki, seiring dengan kembali naiknya harga batubara di pasaran global. Sejumlah perusahaan tambang yang dulu sempat tiarap kini boleh kembali bernafas lega. Akan tetapi, sikap elite politik yang masih lebih suka memilih cara mudah, berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan ekstraktif-eksploitatif jangka pendek, dikhawatirkan pada akhirnya hanya akan membuat Kaltim meghadapi masalah berulang. Pertumbuhan yang akhirnya menukik dan menyisakan problem lingkungan yang lebih serius.
Sikap pemerintah pusat yang kini mengambil alih semua perizinan dari pemerintah provinsi, berdasar UU Minerba No 3 Tahun 2020, dinilai sejumlah kalangan tidaklah memperbaiki keadaan. Justru hanya akan membuat daerah dirugikan dan menyisakan problem lingkungan di daerah, yang lebih sulit untuk berharap daerah akan bisa langsung mengatasinya.
***
MAKA, kota yang terlanjur menjadi ratusan lubang tambang akan terus begitu membiarkannya begitu. Tak tahu akan direkayasa menjadi apa agar bisa memiliki nilai lebih, tidak cuma jadi kubur bagi puluhan anak yang tenggelam.
Bahwa lubang-lubang itu telah menghasilkan orang-orang kaya baru benar adanya. Tapi hanya segelintir. Selebihnya adalah bonus kerusakan lingkungan. Jejak kekayaan semacam inikah yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita?
Mis-manajemen oleh penyelenggara negara atau daerah semacam itu, di kalangan ekonom, dikenal sebagai Dutch Disease. Terminologi ini kali pertama diperkenalkan oleh majalah ekonomi berpengaruh, The Economist pada tahun 1977 ketika industri manufaktur (pertanian) di Belanda hancur setelah negeri itu menemukan cadangan gas alam dalam jumlah besar di Laut Utara tahun 1959.
Ternyata, bukan kesejahteraan yang didapat warga Belanda. Justru kemelaratan. Istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan kondisi perekonomian suatu wilayah setelah tidak memiliki lagi sumber kekayaan alam yang dieksploitasi.
Buku "Escaping The Resource Curse" makin membuka mata kita betapa selama ini kita telah menyia-nyiakan momentum emas. Lihat saja. Sudah mengalami tiga periode keemasan pun -- periode banjir kap, bonanza minyak, dan batubara -- Kaltim belum juga mampu menghasilkan apa-apa, Nyaris tak ada jejak kemakmuran yang tertinggal.
Istilah resource curse kali pertama dikenalkan oleh Richard M. Authy pada 1993 dalam disertasinya "Sustaining Development in Mineral Economies: The Resources Curse. Ini secara luas digunakan untuk menjelaskan kegagalan negara-negara kaya sumber alam dalam mengambil manfaat dari berkah kekayaan yang mereka miliki. Sebaliknya, banyak negara kaya sumber alam yang lebih miskin dan lebih menderita dibanding negara-negara yang kurang beruntung mendapat kelimpahan yang sama. Gambaran ini terpampang jelas di Afrika. Kongo, Angola dan Sudan diguncang perang saudara.
Sedangkan Nigeria menderita akibat wabah korupsi. Lain hal dengan negara-negara yang minim sumber alam dan sama melaratnya seperti Burkina Faso dan Ghana, bisa hidup damai dengan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi.
Ini memang sebuah paradoksal. Paradoks keberlimpahan.
Ah, jangan-jangan kita pun sudah mulai tertular Wabah Belanda itu. Mungkin selama ini kita tak mau belajar dari sejarah. Sedikit berbeda dengan di Belanda, dimana penemuan gas alam di Laut Utara negeri itu telah mengakibatkan memburuknya kinerja sektor manufaktur, di Kaltim yang yang terjadi adalah mulai tergerusnya sektor pertanian. Sawah-sawah hancur oleh eskavator batubara, hingga ketergantungan terhadap beras dan pangan lainnya dari provinsi lain pun semakin melebar. Tapi intinya sama, hilangnya kekuatan ekonomi yang rill dan berkelanjutan untuk menopang suatu daerah atau negara.
Mungkin masih akan ada harapan sekali lagi. Setidaknya itu harapan kita. Ya, hanya sekali bagi Kaltim. Setelah tiga peluang lalu tak diraih, kini dengan akan dipindahnya ibu kota negara (IKN) RI dari Jakarta ke Kaltim, bisa jadi sekaligus menjadi peluang baru bagi daerah ini untuk berkelit dari Kutukan SDA. Mengobati penyakit wabah Belanda yang menjangkitinya.
Awal yang bagus bahwa Gubernur Kaltim Isran Noor sudah mengambil langkah berani dengan menyatakan kesiapan masyarakat Kaltim sebagai IKN baru. Lokasi IKN itu diusulkannya bernama "Sepaku Nagara" karena terletak di kawasan Sepaku (PPU) dan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Isran juga meyakini dengan dipindahnya IKN, akan membuat Kaltim bisa lebih mudah mengejar ketertinggalannya selama ini. Daerah-daerah lain di Indonesia terutama kawasan tengah dan timur juga akan bisa lebih terpacu.
Ia meyakini pula Kaltim akan mampu mencapai pertumbuhan 7 persen. Selaras itu, ia meminta 59 persen dana APBN sebaiknya dikelola oleh daerah. Desentralisasi yang digulirkan selama ini ia nilai belum memenuhi rasa keadilan. Daerah memang diberikan kewenangan oleh pusat. Tapi sebagian besar dananya ternyata masih digandoli. Oleh karena desentralisasi tak membuahkan percepatan pembangunan seperti ekpektasi di awal.[]
Air Hitam, 12 Juli 2021